RUMAH batu merah di Jalan Gerhard Hauptman di Wedel, Jerman Barat, malam itu diguncang gelak tawa. Karl Heinz Rust beserta istrinya, Monika, dan anak bungsunya, Ingo, baru saja mendengar berita 6esar. Ada penerbangan gila seorang pilot muda Jerman menerobos masuk Moskow, dan berhasil. Sebagaimana reaksi jutaan orang lain di dunia, kcluarga kecil ini merasa berita itu lucu. Tapi geli berubah menjadi kekhawatiran. Baik Karl maupun Monika sama sekali tak menduga bahwa Mathias, anak sulung merekalah, yang telah melakukan penerbangan spektakuler itu. "Mulanya saya mengira terjadi kekeliruan identifikasi," kata Karl, sang ayah. Si Mathias, 19 tahun, di kalangan keluarga dan rekan dekatnya terkenal pendiam dan pemalu. Juga ia tak luar biasa. Ia gila terbang memang, tapi itu pun lumrah saja. Kehidupan Mathias termasuk lurus. Setamat SMA, anak yang gemar musik klasik dan buku-buku tentang astronomi ini langsung magang kerja di sebuah perusahaan perbankan. Tapl keluar setahun kemudian, karena merasa penerbangan adalah panggilan jiwanya. Mathias kenal dunia penerbangan sejak Karl, sang ayah yang insinyur itu, mencoba menerbangkan sebuah pesawat ringan. Si sulung ini langsung keranjingan. Musim gugur 1985, pada usia 17 tahun, ia mulai belajar terbang. "Penerbang termuda yang pernah saya latih," kata Siegfried Heise, pelatihnya. Sifatnya yang tenang, penalarannya yang tajam, serta kesungguhan hatinya membuat pemuda ini beroleh izin terbang, setahun kemudian, setelah lulus ujian untuk izin penerbangan pribadi pada Aero Club Hamburg, dengan prestasi 40 jam terbang. Klub ini mengutip biaya murah. Mulai dari tukang batu sampai dokter tercatat sebagai anggota. Selain bekerja sebagai pembantu pengolahan data pada suatu perusahaan, Mathias juga bekerja sambilan sebagai pilot amatir. Semua penghasilannya habis untuk hobi terbang. Biaya izin terbang sebesar 10.000 DM (sekitar Rp 9.000.000) dibayar orangtuanya. Si anak memang ingin jadi pilot di perusahaan penerbangan komersial. Sadar bahwa penglihatannya tak memungkinkan ia ke sana, pemuda berkaca mata ini kemudian ingin jadi instruktur penerbangan pesawat pribadi. Untuk itu diperlukan praktek terbang 150 jam. Mungkin karena itulah, sejak memperoleh izin terbang Agustus tahun lalu, si sulung yang menjadi kebanggaan keluarga ini, banyak sekali terbang solo. "Antara 50 dan 60 jam penerbangan," ujar Heise. Pelatih ini geleng-geleng kepala. Mungkin karena sibuk terbang, Mathias tak banyak bergaul. Tidak juga dengan sesama rekan penerbang di klub Hamburg itu. "Yang ada dalam pikirannya terbang melulu," kata Monika Rust, sang bu. Semua yang mengenal Mathias sepakat: ia anak tertib dan aman. Di rumah tak pernah ribut dengan adik lelakinya, Ingo Rust, 15 tahuri. Mereka bahkan tidur dalam satu kamar, dan secara bergantian menggunakan sebuah komputer pribadi. Di dunia penerbangan, Mathias juga berkelakuan baik. Konon, pemuda manis ini mengerti segala sesuatu dengan cepat dan persiapan penerbangannya selalu rapi. "Ujiannya telah ditempuh tanpa kekeliruan sama sekali," puji Heise, yang mengakui Mathias termasuk salah seorang murid teladannya. Tapi kini, pujian bukan hanya dilontarkan Heise. Mayoritas penduduk Jerman Barat sekarang bahkan melambungkannya sebagai pahlawan. "Akan saya beri bintang merah pada ekor pesawat Cessna Marhias, segera setelah kembali dari Rusia nanti," kata Werner Schultz, seorang pelatih di Aero Club Hamburg, dengan bangga. Tapi mengapa Mathias yang tak cenderung nyentrik itu tiba-tiba saja membuat kejutan? "Si pembuat geger Kremlin" memang sebelumnya tak menunjukkan tanda-tanda istimewa. Kepada orangtuanya Mathias meminta izin pertengahan Mei lalu, untuk melakukan penerbangan panjangnya yang pertama ke Skandinavia. Izin diberikan berikut sebagian besar ongkos penerbangan. Kepada klub dan rekan-rekan penerbang, ia yun mengutarakan niatnya yang memerlukan 25 jam penerbangan dan menyebut Stockholm, ibu kota Swedia, sebagai tujuan akhir. Hanya saja, menyimpang dari kebiasaannya, Mathias tidak membicarakan rincian rute penerbangannya dengan penerbang klub yang lebih senior. Ia juga tidak meminta nasihat dalam hal pengadaan peta-petanya. Karena itu, oleh sesama rekan, persiapan Mathias dinilai "kurang layak". Belakangan baru diketahui, dua bulan sebelum penerbangan yang menggegerkan itu, ia telah memesan peta dan perlengkapan navigasi pada sebuah perusahaan di Frankfurt seharga 25 DM. Pihak penjual tak merasa curiga, karena "banyak orang selama ini mendapatkan izin terbang ke wilayah Soviet," kata manajer perusahaan peta Eissen Schidt. Karena itulah, banyak orang menduga penerbangan Mathias ke Lapangan Merah di Moskow itu telah direncanakan sebelumnya. Apalagi menurut Monika, ibunya, sang anak bukanlah tipe orang yang melakukan sesuatu dengan spontan: Mathias selalu bertindak menurut sebuah rancangan. Toh sejauh ini, banyak hal yang sebetulnya belum terungkap. Juga motivasi dan sikap Mathias yang nekat untuk ambil risiko ke Soviet itu masih membingungkan. Kedua orangtuanya pun ikut tercengang. "Saya tak bisa memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Soalnya, selama ini Mathias bukanlah seorang pemberani yang senang mencari petualangan," uJar Karl Rust. Penjelasan lengkap diharapkan dari siapa lagi kalau bukan Mathias yang kini masih mendekam di penjara militer Lefortovo di Moskow. Entah kapan ia bisa bebas. Namun, hak penyiaran cerita petualangan Mathias, oleh sang ayah telah dijual pada majalah Jerman, Stertz. Apa mungkin komersialisasi seperti ini juga sudah diperhitungkan Mathias: mengeruk ketenaran sekaligus sejumlah besar mark? Tapi sejumlah masalah sudah menanti Mathias sekembalinya ia nanti - entah kapan - dari Uni Soviet. Kegemaran terbangnya tak bisa tersalurkan lagi. Juga cita-citanya untuk jadi instruktur terbang mungkin akan terlepas dari genggaman. Sebab, izin terbang Mathias kini tengah dipertimbangkan untuk dicabut. "Secara hukum, pelanggaran wilayah udara secara sengaja, otomatis menyebabkan dicabutnya izin terbang sang penerbang," kata Helmut Grass, wakil presiden Aero Club Hamburg. Selain itu, Mathias juga harus membayar biaya sewa kelebihan terbangnya, termasuk ongkos pengembalian pesawat ke Jerman Barat yang diperkirakan menelan biaya 25.000 DM, atau seperempat harga sebuah pesawat Cesna 172 baru. Apalagi bila Kremlin memutuskan untuk menahan pesawat yang bersejarah itu, pastilah Mathias kewalahan membayar ganti rugi. Belum lagi bila ia dihukum. Faride Sendjaja, Laporan kantor-antor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini