Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari kota seribu kehancuran

Rombongan tim perdamaian teluk yang terakhir meninggalkan baghdad mengatakan bahwa tempat permukiman penduduk sipil hancur terkena bom dari sekutu. baghdad mungkin kini disebut kota seribu kehancuran.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TAK ada yang betah tinggal di Baghdad, kecuali Peter Arnett," kata pegawai Hotel Al Rashid yang telah dua pekan jadi pengungsi di Amman. Sejak dua pekan lalu, bom-bom makin sering berjatuhan di Baghdad. Pegawai hotel itu akhirnya memutuskan untuk mengungsi karena ia tahu benar di hotel tempat dia bekerja persediaan air sudah tak ada, juga listrik dan gas. Ternyata, bukan hanya di Hotel Al Rashid. Menurut jawaban para pengungsi yang sampai akhir pekan lalu masih terus mengalir dari Baghdad, Kota Abu Nawas ini kini bagaikan kota mati. Malam gelap karena tak ada aliran listrik. Air minum susah diperoleh. Sekali dalam tiga hari ada pembagian air dan gas -- dan belum tentu semua penghuni kota yang sebelum perang berpenduduk empat juta ini kebagian. Seorang Sudan bernama Jemis Mut, pegawai Hotel Babylonia di Baghdad, menceritakan yang dilakukannya sebelum ia lari ke Amman, pada wartawan Asian Wall Street Journal. Karena begitu haus, akhirnya ia keluar dari hotel, menuju Sungai Tigris. Di pinggir sungai tempat sebagian warga Baghdad mencuci, mandi, dan melakukan keperluan lain-lainnya itu, ia jongkok, membungkukkan badannya, dan langsung menyeruput air sungai. "Saya haus sekali," tuturnya. "Untuk mempertahankan hidup, saya harus mempertaruhkan hidup saya." Setelah Irak ternyata bisa mengirimkan Scud-nya ke Israel dan Saudi, Sekutu memang mengintensifkan pengebomannya. "Hampir sepanjang malam saya mendengar jet terbang rendah," tutur Lee Jones, dosen di North-eastern University, Boston, anggota Tim Perdamaian Teluk yang baru tiba dari Baghdad di Amman pertengahan pekan lalu. Rekannya, Gerrit van Dernend, insinyur pertanian dari Negeri Belanda, menambahkan, pesawat-pesawat itu mengebomi sekitar Baghdad. Bagaimana ia tahu? "Selalu, setelah terdengar ledakan, lalu saya lihat asap hitam mengepul," kata Van Dernend, melaporkan yang ia lihat dari kamar hotelnya di lantai ke-7. Dari pihak Sekutu, serangan bom itu disasarkan pada konsentrasi militer dan perlengkapannya. Oleh pihak Irak kemudian, ada pernyataan tak semua bom mengenai sasaran. Banyak yang meleset ke tempat permukiman sipil. Dan perang informasi yang paling sengit terjadi pekan lalu, setelah Amerika menyatakan telah mengebom pabrik senjata kimia Irak di Baghdad. Soalnya, kemudian disiarkan di televisi Amerika CNN, pabrik tersebut bukan pabrik kimia, tapi pabrik susu untuk anak-anak. Gambar yang disiarkan CNN memang gambar sebuah pabrik yang tampak sebagai pabrik susu yang hancur. Tak jelas siapa yang benar, tapi sejak itu Irak menyatakan Amerika dan sekutunya telah mengebomi permukiman sipil. Sampai awal pekan ini, menurut Radio Baghdad, sudah sekitar 300 orang sipil jadi korban bom Sekutu, dan sekitar 400 luka-luka dan dirawat di rumah-rumah sakit. Sebelum pergi ke Amman, rombongan anggota Tim Perdamaian Teluk terakhir dibawa berkeliling Baghdad dengan bis oleh pemerintah Irak. Mereka -- orang-orang yang sedih karena merasa gagal mencegah perang meletus -- meski tahu ini sebagian dari propaganda Irak, kaget juga melihat suasana kota. "Ini tak ada pilihan lain karena kami tak boleh pergi sendiri," kata Lee Jones, dosen itu. "Dan saya melihat di satu daerah rumah-rumah rakyat hancur total, konon, karena rudal." Jones sempat mengobrol dengan penduduk. Mereka marah, bukan pada rakyat Amerika, tapi pemerintah. "Mengapa kami yang dibom, bukan Kuwait?" kata Jones menirukan orang yang marah itu. Lalu rombongan para pencinta perdamaian itu dibawa ke sebuah rumah sakit. Di Rumah Sakit Yarmouk itu hanya ada 20 pasien, di antaranya empat anak di bawah 10 tahun, yang dirawat sebagai korban pengeboman. Kok sedikit? Seorang penjaga rumah sakit itu mengatakan, sejak perang pecah, korban yang tewas ratusan. Ia tak menyebutkan apakah yang tewas itu tentara atau sipil. Seorang anggota Tim Perdamaian dari India, Dokter Karen Khariun, melihat obat-obatan di Yarmouk cukup lengkap. "Cuma rumah sakit terlihat kurang bersih, mungkin karena kekurangan air," kata dokter wanita itu. Para anggota Tim Perdamaian ini pun akhirnya dibawa ke pabrik susu yang dibom oleh Sekutu karena diklaim sebagai pabrik senjata kimia itu. "Saya lihat sendiri bekas-bekas kaleng susu berserakan, dan tak jauh dari kompleks memang ada tempat pemerasan sapi," tutur Lee Jones. Dosen Amerika itu tentu saja tak begitu saja percaya pada yang dilihatnya. Namun, ia tak tahu bagaimana menguji kebenaran. Ia, seperti juga rekan-rekannya, malah jadi bingung: pihak mana yang benar. Memang, sebagian besar Baghdad masih utuh. Tapi kota memang sepi, mungkin warga kota bersembunyi di perlindungan bawah tanah. Di pompa-pompa bensin mobil antre. Di pasar buah-buahan, sayuran, dan daging masih dijual. Tapi harganya, dibandingkan ketika rombongan ini pertama kali tiba di Baghdad, seminggu sebelum perang, lima kali lipat. Sejumlah pengungsi mengatakan pada Asian Wall Street Journal, "hidup terasa tak mungkin." Seorang insinyur mesin berkebangsaan Sudan bercerita, karena saluran listrik dan air mati, bila malam terasa begitu dingin. "Dan toilet tak jalan," katanya. Sampai pekan lalu ia belum tahu apakah ada penyakit berjangkit. Namun, ia memperkirakan, bila keadaan seperti yang ia tinggalkan tak juga bertambah baik, wabah "bakal datang". Baghdad mungkin kini disebut kota seribu kehancuran. Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus