RUDAL Scud Irak yang jatuh di Tel Aviv memang tak banyak membawa korban, menurut pihak Israel. Namun, ketakutan yang dis- ebarkan rudal itu pada penduduk memang nyata. Koresponden TEMPO Taufik Rahzen, Jumat pekan lalu, masuk Israel dari Yordania -- setelah 10 hari tinggal di Amman sejak meninggalkan Baghdad 22 Januari lalu bersama rombongan Tim Perdamaian Teluk yang antara lain beranggotakan tiga pemuda Indonesia -- termasuk Taufik. Berikut catatan Taufik dari Israel: PERBATASAN Israel-Yordania kini dijaga ketat. Empat puluh keluarga Palestina dari Tepi Barat yang kebetulan berada di Yordania sebelum perang pecah tak bisa kembali. Mereka terhalau balik ke Yordania. "Dua belas hari kami menunggu di perbatasan ini, tapi hanya empat orang wanita tua yang diizinkan kembali. Kami tak tahu harus ke mana," kata Fayez Al Asymar, salah seorang dari mereka. Pemeriksaan Israel sangat ketat. Hampir dua jam saya diperiksa, hampir-hampir ditelanjangi, helai demi helai baju diteliti. Jericho, kota tertua itu, seperti kota mati. Kata Mahmud, sopir kami, sejak perang pecah semua daerah pendudukan dikenai jam malam dan dijaga ketat. Warga setempat hanya diberi kesempatan dua jam -- jadi, tepatnya jam malam dan siang -- untuk keluar rumah. Masjidil Aqsa dikepung penjagaan. Khotbah Jumat, 1 Februari itu, tentang imam mahdi dan zaman pencerahan. Di tengah gerimis, jemaah yang di luar meneriakkan yel-yel mendukung intifadah dan Saddam Hussein. Ahid Zubair, orang Palestina dari Qalqiya, berkata, "Kami tak takut pada bom-bom yang getarannya sampai kemari. Sekaranglah saat pembebasan Palestina." Lalu Ahid, yang dengan bangga mengatakan bahwa ia tak perlu membawa masker gas karena tak takut mati, bercerita bagaimana orang-orang Palestina kini kesulitan makanan dan kebutuhan hidup sehari-hari setelah jam malam dikenakan. Tak seorang pun bisa bekerja. Ahad, 3 Februari. Biasanya setelah hari sabat, orang bergerombol di mana-mana. Namun, hari ini sepi di mana-mana. "Ini menjengkelkan," kata Dan Levin, orang Israel. "Orang sudah dihantui ketakutan. Yang mati karena bom cuma satu dua orang, yang ketakutan seribu." Ia lalu menengok ke saya: "Kamu tahu, banyak orang Tel Aviv mengungsi ke Yerusalem bila malam datang, mereka tidur di sini. Siang besok baru mereka balik." Mungkin Yerusalem, 55 km dari Tel Aviv, ibu kota Israel, memang aman, setelah sekali atau dua ada Scud yang mampir. Ahad kemarin, di Yerusalem Timur, saya mendengar sirena tanda bahaya berbunyi. Orang-orang berlarian masuk rumah. Katanya itu sirene kedua selama ini. Namun, tak ada apa pun. Malamnya, sekitar setengah dua dini hari, kembali sirene bergaung. Juga, tak ada apa-apa. Di televisi, malam itu saya lihat upacara dari satu kelompok sekte. Upacara aneh: mencabut nyawa Saddam. Mengelilingi meja pemujaan sambil bersenandung dalam bahasa Ibrani, mereka membakar potret Saddam Hussein. Sementara itu, penahanan Prof. Nuseibeh, yang dituduh membocorkan lokasi tempat jatuhnya Scud, jadi pembicaraan di mana- mana. Ini penahanan politik, kata seseorang, tindakan untuk membungkam suara Palestina yang sebenarnya sudah setengah bisu. Minggu malam saya ke Tel Aviv. Orang-orang bicara tentang Scud yang mendarat di Samaria, 15 km dari Tel Aviv. Mereka, warga Tel Aviv itu, marah pada wali kotanya, Shlomo Lahat, karena wali kota itu ikut mengungsi ke luar kota, setelah ia menganjurkan agar warga Tel Aviv mengungsi saja bila serangan tiba. "Saya tak akan memilih dia lagi," kata Dedi Zucker. "Seharusnya ia berdiri di garis depan, mempertahankan kami." Rasanya, pendapat umum di Tel Aviv menghendaki Israel membalas kiriman Scud Irak. "Tak ada alasan untuk tidak menyerang Irak," kata Uriel Lynn, anggota partai kanan Likud yang kini berkuasa, dan ketua komite hukum di Knesset, parlemen Israel itu. "Kami tak menyerang bukan untuk mempertahankan keseimbangan di Timur Tengah. Bagaimanapun perang sekarang pada hakikatnya bukan perang untuk membela Israel, tapi mempertahankan Arab Saudi dan kepentingan Sekutu di Timur Tengah." Arus pengungsi ke Yerusalem datang dari Tel Aviv dan Haifa. Malam itu, menurut sopir yang membawa saya, arus itu lebih padat daripada biasanya. Tiap orang saya lihat membawa topeng gas. "Sebenarnya, tak ada tempat pelarian untuk kecemasan kami," kata Tamar Ghosen, dalam perjalanannya mengungsi. Radio pemerintah berada di udara selama 24 jam sehari-semalam. Televisi selalu menyiarkan berita perang diselingi petunjuk memakai masker gas. Dan, tentu saja, acara mengejek Saddam dalam bentuk nyanyian dan pantomim. Seorang psikiater, Yehuda Oppenheim, mengatakan pada saya, jumlah bunuh diri berkurang, bahkan tak lagi terdengar. Namun, orang mati karena serangan jantung mendadak bertambah karena bunyi sirene atau melihat kepanikan. Yang menarik, terjadi saling bantu antara orang Yahudi dan Palestina. "Kami sekarang satu perahu," kata orang Palestina bernama Akid Bashir, warga Baka Al Gharbiya. "Keluarga kami menerima orang Yahudi di rumahnya untuk memberi perlindungan." Itu dilakukan bukan tanpa rasa takut. Takut reaksi kelompok radikal, baik dari pihak Israel maupun Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini