Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garry Kasparov melangkah mantap meninggalkan ruang sidang Pengadilan Distrik Khamovnichesky, Moskow, Rusia, pada Jumat siang dua pekan lalu. Mengenakan kemeja dan celana panjang warna gelap dibalut jas krem, ia menyapa orang-orang yang menghampirinya, dengan ramah.
Bibirnya tak henti-henti mengumbar senyum. Maklum, beberapa menit sebelumnya, hakim membebaskan grand master catur itu dari dakwaan berunjuk rasa secara ilegal. Pengadilan menyatakan empat polisi yang menjadi saksi tak dapat membuktikan Kasparov ikut ambil bagian dalam demonstrasi itu. "Ini hari yang sangat bersejarah karena untuk pertama kalinya pengadilan menolak bukti-bukti dari polisi," ujar aktivis demokrasi Rusia itu.
Namun pria 49 tahun ini belum benar-benar bebas dari jerat hukum. Satu perkara serius masih menghadangnya. Ia dituduh menggigit polisi ketika ditangkap saat melakukan protes di Pengadilan Distrik Khamovnichesky pada 17 Agustus lalu.
Kala itu, Kasparov hadir di persidangan untuk mendukung tiga perempuan anggota grup band Pussy Riot yang sedang diadili. Ia diancam hukuman lima tahun penjara jika terbukti menyerang polisi.
Kasparov mundur dari dunia catur pada 10 Maret 2005. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk menulis dan terjun ke kancah politik. Ia lalu mendirikan gerakan sosial Front Sipil Bersatu, dengan tujuan memelihara demokrasi dalam pemilihan umum Rusia. Kasparov kemudian bergabung sebagai anggota The Other Russia, sebuah koalisi oposisi yang menentang pemerintahan Presiden Vladimir Putin.
Kasparov bukan satu-satunya penentang pemerintah yang diberangus aparat keamanan. Sebelumnya, pengadilan yang sama menghukum tiga perempuan anggota Pussy Riot—Nadezhda Tolokonnikova, 22 tahun, Maria Alyokhina (24), dan Yekaterina Samutsevich (30)—masing-masing dua tahun penjara.
Ketiganya dinyatakan bersalah melakukan holiganisme karena menggelar aksi protes atas pencalonan kembali Vladimir Putin sebagai presiden di Katedral Kristus Sang Juru Selamat, Moskow, pada 21 Februari lalu.
Hari itu lima anggota Pussy Riot memasuki gereja, membuka pakaian musim dingin, dan melepaskan balaclava—penutup kepala yang biasa dipakai ketika main ski di salju. Mereka kemudian beranjak menuju altar dan selama sekitar setengah menit melompat-lompat sambil menendang dan memukul ke udara sebelum akhirnya digelandang keluar oleh petugas keamanan.
Malamnya, mereka memasukkan rekaman aksi itu ke klip video bertajuk Bunda Kudus, Usirlah Putin!. Nasib mereka pun berakhir di meja hijau. Polisi hanya bisa menahan tiga orang, dua lainnya sudah kabur ke luar negeri.
Dalam persidangan yang dimulai akhir Juli lalu—ketika Putin sudah duduk di kursi kepresidenan—Pussy Riot menyatakan aksi itu merupakan sebuah pernyataan politik. Namun jaksa mengatakan band itu berupaya menghasut kebencian terhadap Gereja Ortodoks.
Pussy Riot adalah kelompok musik punk rock beranggotakan belasan perempuan yang didirikan pada Agustus tahun lalu. Dalam penampilannya, mereka kerap mengkritik pemerintah. Pussy Riot sering tampil di tempat umum, seperti stasiun kereta api Moskow, di atas atap bus, dan Lobnoye Mesto di Lapangan Merah.
Komisioner Hak Asasi Manusia Rusia Vladimir Lukin mengatakan hukuman untuk para perempuan pemain band itu berlebihan. Apalagi dua di antaranya memiliki anak yang masih bayi. Lukin menilai aksi Pussy Riot itu hanya pelanggaran ringan. "Bukan tindak kriminal," ujarnya. Ia akan mengajukan permohonan keberatan bila pengadilan banding mengukuhkan vonis itu.
Hukuman berat itu, menurut pengamat politik Dmitry Oreshkin, merupakan sinyal bahwa Kremlin tak menoleransi perbedaan pendapat. "Ini putusan mengerikan. Konsekuensinya serius bagi citra Putin," ujar anggota Dewan Kepresidenan untuk HAM dan Masyarakat Sipil ini seperti dikutip Yahoo! News.
Petr Verzilov, suami Nadezhda Tolokonnikova, mengatakan pihaknya tak menyangka reaksi publik begitu besar. Tadinya aksi mereka termotivasi oleh sikap pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks, Kirill I, yang secara terang-terangan mendorong Putin mencalonkan diri lagi sebagai presiden. "Jadi, para perempuan itu berpikir mereka juga bebas mengekspresikan pandangan politiknya di dalam gereja," ujar Verzilov. Ia tak menyangka ganjarannya adalah penjara.
Kecaman pun muncul dari komunitas internasional, termasuk sejumlah musikus, seperti Madonna, Paul McCartney, dan Sting. Madonna mengecam hukuman dua tahun penjara itu terlalu keras dan tak manusiawi, terlepas dari lokasi dan cara mereka berekspresi. "Saya minta semua yang mencintai kebebasan mengutuk hukuman tak adil ini," ujarnya seperti dilansir Rolling Stone.
Namun Kremlin membantah telah membatasi kebebasan berekspresi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich, mengatakan kasus Pussy Riot bukanlah isu pertunjukan seni. "Lawan-lawan kami mengabaikan fakta bahwa tindakan grup punk itu menghina jutaan penganut Ortodoks sekaligus keyakinan lain, yang mematuhi nilai-nilai moral tradisional," ujarnya seperti dikutip Ria Novosti, Rabu dua pekan lalu.
Soal kebebasan ekspresi berkesenian, ia mencontohkan Kelompok Gerilya Seni Voina, yang mendapat penghargaan dari negara. Ini adalah kelompok seni radikal yang mengadakan pertunjukan dan protes di jalanan. Salah satunya melukis di kolom-kolom jembatan sepanjang 65 meter di dekat gedung Badan Keamanan Federal di St Petersburg tahun lalu. "Jadi, klaim penindasan terhadap kebebasan ekspresi seni sepenuhnya tak berdasar," katanya.
Pemerintahan Putin tampaknya memang bersikap keras terhadap oposisi. Untuk mempersempit ruang gerak lawan-lawan politiknya, Putin meloloskan undang-undang tentang unjuk rasa baru pada Juni lalu, yang lebih ketat.
Peraturan baru itu menaikkan denda maksimum bagi peserta unjuk rasa tanpa izin. Dalam undang-undang lama, denda maksimumnya 2.000 rubel atau sekitar Rp 594 ribu per orang. Sedangkan dalam aturan baru, dendanya meroket menjadi 300 ribu rubel atau setara dengan Rp 89 juta per orang.
Pengadilan tak henti menghukum para pengkritik pemerintah Putin. Dalam kasus unjuk rasa besar-besaran anti-Putin pada 6 Mei 2012 atau sehari sebelum Putin diambil sumpahnya, lebih dari 400 orang ditangkap dan lusinan di antaranya dijebloskan ke bui.
Salah satunya Maria Baronova, 28 tahun. Polisi menuduhnya memprovokasi kerusuhan massa dan ia diancam hukuman dua tahun penjara. Untuk membungkamnya, polisi mengobrak-abrik rumah aktivis hak asasi manusia ini. Polisi mengambil foto keluarga, laptop, buku, dan sejumlah pita putih yang menjadi simbol gerakan protes terhadap Putin.
Bahkan polisi mengambil seperangkat ultrasonografi yang ia gunakan saat mengandung putranya enam tahun silam. "Saya bertanya kepada mereka, 'Apakah kalian pikir anak saya merencanakan kerusuhan?'" ujar Baronova pada Ahad dua pekan lalu.
Ketika kembali ke tampuk kekuasaan, Putin merangkul sekutu-sekutu lamanya ke dalam kabinet. Ia merekrut bekas kepala kepolisian Moskow, Vladimir A. Kolokoltsev, sebagai menteri dalam negeri. Sejumlah pengamat menilai pengangkatan Kolokoltsev itu sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas unjuk rasa di jalanan Moskow. Naiknya Kolokoltsev juga menjadi sinyal bagi kelompok oposisi bahwa perbedaan pendapat tidak akan ditoleransi.
Putin juga mempertahankan Menteri Luar Negeri Sergey V. Lavrov, Menteri Pertahanan Anatoly E. Serdyukov, dan Wakil Pertama Perdana Menteri Igor I. Shuvalov. Ia mengangkat guru politiknya, Vladislav Y. Surkov, sebagai kepala staf Perdana Menteri Dmitry Medvedev. "Surkov adalah seorang teknokrat politik yang kompeten, sehingga dia akan membuat bosnya tetap berkuasa," ujar Sergei A. Karaganov, Dekan Fakultas Hubungan Internasional Sekolah Tinggi Ekonomi di Moskow.
Sapto Yunus (Reuters, Interfax, Ria Novosti, The Moscow Times, The Guardian, The Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo