Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerbang rumah itu terbuka separuh. Di balik gerbang, menanti satu taksi yang mesinnya masih menderu. "Saya disuruh mengantar ke rumah sakit," kata Hadi, sopir taksi itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengatakan seorang pria yang mencegat taksinya tak kunjung keluar dari rumah mewah di kompleks Darmo Hill A-33, Surabaya, itu. Hadi tampak gelisah. Sudah setengah jam si empunya rumah tak kunjung muncul.
Tempo pun masuk ke teras rumah, lalu mengetuk pintu sambil mengucap salam. Seorang perempuan berkacamata muncul di balik pintu. Dia Wiji Astuti, istri Mohammad Santoso, 67 tahun. Air muka Wiji mendadak sendu saat Tempo menyampaikan ingin menemui suaminya. Santoso adalah Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, periode 2002-2007.
Perempuan separuh baya ini menyeka sudut matanya dengan punggung tangan. "Mohon pengertiannya, penyakit Bapak kambuh. Ini mau dibawa ke rumah sakit," ujarnya dengan nada terputus-putus. Santoso, kata dia, dua hari sebelumnya menjalani pemeriksaan jantung di sebuah rumah sakit di Gubeng, Surabaya. Keesokan harinya, dada suaminya kembali sesak.
Wiji tak melarang Tempo menunggu Santoso di rumahnya. Tapi, hingga seperempat jam berlalu, pensiunan kolonel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat itu tak juga menampakkan batang hidungnya. Yang kembali keluar malah Wiji. Kali ini, dia mendatangi sopir taksi sambil menyerahkan uang Rp 25 ribu. Taksi itu pun pergi. "Itu ongkos tunggu si sopir," kata Wiji. Ia kembali masuk ke rumah dan menutup semua pintu.
Santoso dikabarkan sakit jantung setelah mendengar Kejaksaan Negeri menerima salinan putusan Mahkamah Agung, Selasa pekan lalu. Mahkamah mengabulkan kasasi Kejaksaan. Dalam putusannya, hakim agung menyatakan Santoso terbukti mengorupsi uang dinas kepala daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2007 Bojonegoro. Jumlahnya sekitar Rp 6 miliar. Santoso pun dihukum enam tahun penjara dan harus mengganti kerugian negara Rp 3,4 miliar. "Bapak kaget," ujar Agus, tangan kanan Santoso, kepada Tempo.
Penasihat Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrat Bojonegoro ini seharusnya tak perlu mendadak kaget. Toh, hakim agung sudah memutus perkara ini pada Juli lalu. Lagi pula, sejak Pengadilan Negeri Bojonegoro memutus dia bersalah pada 2009, jaksa tak mengirim dia ke penjara. Bahkan, setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan, jaksa masih mengulur-ulur penahanan Santoso. Alasannya, "Alamat dan identitas dia kan jelas, sehingga mudah ditemukan," kata Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro Tugas Utoto kepada Tempo.
Di luar dugaan Santoso, Mahkamah Agung memang menghukum dia lebih berat. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Bojonegoro hanya menghukum Santoso dua tahun penjara dan denda Rp 300 juta serta kewajiban mengganti uang negara Rp 3,55 miliar. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jawa Timur memvonis Santoso tiga tahun penjara. Adapun denda dan ganti rugi untuk negara tak bertambah.
Dalam kasus korupsi keuangan daerah ini, Santoso tak sendiri. Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Bojonegoro Muhammad Zaenuri pun terseret. Ia sudah lebih dulu disidangkan dan divonis empat tahun penjara. Namun perlakuan jaksa berbeda. Santoso hanya beberapa kali diperiksa. Itu pun ia langsung pulang setelah pemeriksaan. Sedangkan Zaenuri, begitu divonis, langsung meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro.
Di samping kasus yang sudah divonis Mahkamah Agung, masih ada kasus yang menunggu Santoso. Pria yang kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Bojonegoro pada pemilihan kepala daerah 2012 ini diduga terlibat korupsi Blok Cepu senilai Rp 3,8 miliar. Selain dia, mantan Sekretaris Daerah Bojonegoro Bambang Santoso diduga terlibat.
Pada kasus terakhir, Mohammad Santoso hanya dua kali diperiksa penyidik, yaitu pada Februari dan Maret 2012. Padahal, pada tahun sebelumnya, penyidik sudah menetapkan dia sebagai tersangka. Politikus yang gagal ketika mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini selalu beralasan sakit setiap kali dipanggil jaksa. Sejak kasus Blok Cepu diusut pada 2008, Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro sudah berganti empat kali. Tapi, hingga kini, ujung kasus Blok Cepu masih samar-samar.
Kejaksaan sebenarnya sudah mengetahui putusan kasasi atas Santoso lewat situs resmi Mahkamah Agung pada Juli lalu. Namun Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bojonegoro Nusirwan Sahrul waktu itu mengatakan timnya belum bisa menahan Santoso. Alasannya, salinan kasasi belum sampai ke tangan mereka. "Ini penting untuk syarat administrasi," ujarnya.
Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan alasan Kejaksaan mengulur-ulur penahanan para terpidana sangat tidak masuk akal. Soalnya, ada surat edaran Jaksa Agung yang menyebutkan jaksa bisa menahan terpidana tanpa harus menunggu salinan lengkap putusan Mahkamah Agung. Jaksa cukup berbekal petikan putusan alias ekstrak vonis. Nah, dalam kasus Santoso, ekstrak vonisnya sudah diumumkan Mahkamah Agung. "Salinan putusan bisa belakangan," kata Djoko.
Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro Tugas Utoto menampik disebut lembek terhadap Santoso. "Pasti kami eksekusi," ujarnya. Ia pun menjamin kasus Blok Cepu yang lama mangkrak akan dituntaskan. "Catat, ya, kasus Blok Cepu ini akan saya selesaikan," katanya.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Sujatmiko (Bojonegoro), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo