Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tak terdengar kabarnya selama beberapa bulan, gagasan mengontrol Mahkamah Agung muncul lagi. Pengusungnya masih sama: Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi yang membidangi urusan hukum itu kini menyiapkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung.
Pekan lalu, Wakil Ketua Komisi Hukum Nasir Djamil mengungkapkan komisinya punya target Undang-Undang Mahkamah Agung bisa disahkan pada akhir tahun ini. Undang-undang itu akan menggantikan Undang-Undang Mahkamah Agung, yang sudah tiga kali direvisi.
Senada dengan para politikus lain di Komisi Hukum, Nasir menjelaskan, RUU Mahkamah Agung dirancang untuk mempercepat pembenahan lembaga kehakiman seperti yang tertuang dalam cetak biru reformasi Mahkamah Agung. "Agar lembaga yudikatif makin berwibawa," kata Nasir.
Namun, berbeda dengan penjelasan Nasir dan kawan-kawan, kalangan pengkaji dan penganjur kemandirian pengadilan justru melihat rancangan itu sebagai ancaman. "Independensi peradilan dalam bahaya," kata Fajri Nursyamsi, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik Indonesia. "Ancaman intervensi politik atas pengadilan sangat nyata," kata Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil.
Para aktivis menunjuk sejumlah persoalan dalam rancangan itu, antara lain pengawasan DPR atas Mahkamah Agung, larangan Mahkamah membuat putusan yang bertentangan dengan kehendak mayoritas masyarakat, dan ancaman pidana bagi hakim. "Beberapa poin itu masih diperdebatkan. Tapi drafnya belum berubah," kata Nasir.
Usul mengagetkan itu bukan datang dari orang biasa. Dalam rapat internal Komisi III DPR pada akhir Januari lalu, Ketua Komisi III Benny K. Harman tiba-tiba mengusulkan perlunya pembentukan panitia kerja untuk membahas putusan Mahkamah Agung.
Untuk meyakinkan koleganya, Benny mengajukan sejumlah alasan. Misalnya, Benny merujuk pada banyaknya putusan Mahkamah yang berkekuatan hukum tetap (in kracht), tapi tak kunjung dijalankan. Ada pula praktek peninjauan kembali atas putusÂan MA yang dilakukan berkali-kali. Padahal, sebagai upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali semestinya hanya dilakukan sekali. Benny pun menyebutkan panitia kerja akan mengkaji putusan Mahkamah yang menyalahi hukum acara pidana.
Alhasil, meski Benny sempat diberondong berbagai pertanyaan, semua anggota Komisi Hukum bulat mendukung gagasan itu. Penolakan justru datang dari luar gedung parlemen. Mahkamah Agung, aktivis, dan akademisi kala itu lantang menolak gagasan Benny. Menurut mereka, manuver Benny dan kawan-kawan jelas merupakan intervensi atas peradilan, yang semestinya mandiri. Karena penolakan begitu keras, penggagas dan pendukung panitia kerja itu pun tiarap. "Panja itu sudah kami bubarkan," kata Nasir Djamil.
Rupanya, politikus Senayan terus mencari peluang. Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung yang mulai dibahas pada April lalu pun menjadi pintu masuk bagi mereka. Bagian awal rancangan itu, seperti dijelaskan Nasir, memang memperkuat dasar hukum berbagai pembenahan yang berlangsung di Mahkamah Agung. Sebut saja pembagian sistem kamar perkara dan hakimnya serta pembatasan perkara yang bisa naik kasasi. Dengan berbagai catatan, banyak pihak menyambut baik pengaturan kedua hal itu. Tapi ancaman justru menyelinap di bagian akhir draf setebal 11 bab dan 103 pasal itu.
Pasal 94 ayat 2, misalnya, menyebutkan DPR mengawasi penyimpangan atas undang-undang oleh Mahkamah Agung. Ayat berikutnya menerangkan, hasil pengawasan DPR akan disampaikan kepada pimpinan Mahkamah Agung dan lembaga tinggi negara. Dalam melakukan pengawasan, DPR akan secara rutin berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Selebihnya, tak ada batasan dalam hal apa saja DPR akan mengawasi Mahkamah. Bagian penjelasan rancangan ini malah menyebut pasal 94 "cukup jelas". Nah, tidak jelasnya batasan "pengawasan" itu segera memicu kecurigaan.
Fajri Nursyamsi curiga pasal itu sengaja dibuat kabur agar DPR punya jalan mengontrol perkara di Mahkamah Agung. Bila pasal itu lolos tanpa pembatasan, politikus partai bakal leluasa mempertanyakan putusan-putusan Mahkamah Agung. Bila DPR sampai mengawasi proses yudisial, "Itu jelas salah dan berlebihan," kata Fajri.
Lebih jauh lagi, pasal 97 rancangan itu mencantumkan sejumlah larangan bagi hakim agung. Misalnya, hakim dilarang membuat putusan yang bisa memicu kerusuhan dan huru-hara. Mahkamah juga dilarang membuat putusan yang tak bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan adat istiadat dan kebiasaan di masyarakat.
Selain aroma intervensinya sangat menyengat, menurut Fajri, pasal ini sangat berbahaya. Di satu sisi, pasal ini bisa mendorong hakim agung membuat putusan populer alias mencocokkan dengan suara mayoritas. Di sisi lain, pasal ini bisa merangsang pihak yang beperkara mengerahkan massa untuk mempengaruhi putusan hakim. "Prinsip keadilan dan hak kaum minoritas bisa terancam," ujar Fajri.
Lagi pula, bila telah mematuhi asas keadilan, hakim tak perlu menghitung apakah putusannya bisa memicu huru-hara atau tidak. Kalaupun putusan itu akhirnya membuat banyak orang marah lalu mengacau, itu di luar tanggung jawab hakim. "Itu urusan aparat keamanan," kata Arsil.
Hal lain yang tak kalah kontroversial adalah ancaman hukuman pidana bagi hakim. Pasal 98 menyebutkan, hakim yang melanggar larangan undang-undang baru ini bisa dipenjara 10 tahun dan didenda Rp 10 miliar. Di samping menegaskan keinginan DPR mengintervensi, menurut Arsil, ancaman pidana ini juga bertentangan dengan prinsip yang berlaku universal.
Di negara-negara yang peradilannya mandiri, menurut Arsil, hakim bebas memutus perkara tanpa dihantui kemungkinan dihukum karena salah membuat putusÂan. Kalaupun ada putusan yang keliru, perbaikannya bukan dengan menghukum si hakim. Para pihak bisa menempuh upaya hukum, dari banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.
Lain ceritanya bila hakim menerima suap ketika memutus perkara. Si hakim tentu saja harus dihukum. Tapi, dalam kasus seperti itu, undang-undang antikorupsi yang berfungsi. Hakim dihukum karena menerima suap, "Bukan karena salah memutus," ujar Fajri.
Juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, mengatakan Mahkamah sudah menolak pasal-pasal bermasalah itu melalui pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena itu, Djoko meminta DPR tak mencari-cari celah untuk mengendalikan lembaga peradilan. Tugas utama DPR, kata dia, mengawasi pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Adapun lembaga yudikatif berfungsi menjadi katup penekan, untuk mencegah legislatif dan eksekutif melanggar hukum. Jadi, "Jangan membuat kacau sistem ketatanegaraan."
Jajang Jamaludin
Pasal-pasal Kelewat Batas
BAB VII
Pengawasan DPR
Pasal 94
(2) DPR RI juga melakukan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan Mahkamah Agung.
(3) Hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI diteruskan kepada pimpinan Mahkamah Agung serta lembaga tinggi negara.
(4) Dalam melakukan tugas pengawasan, DPR RI secara periodik selalu melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung.
BAB VIII
Larangan
Pasal 97
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dilarang:
b. Membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara;
c. Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun-temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan.
BAB IX
Ketentuan Pidana
Pasal 98
Hakim dalam melaksanakan tugas profesi yang melanggar ketentuan dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
Sumber: RUU Mahkamah Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo