Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dwifungsi? yang penting bermutu

Aparat peradilan akan menertibkan pengacara yang merangkap pegawai negeri. masalah di fakultas-fakultas hukum negeri yang banyak dosennya merangkap jadi pengacara .khawatir dosen bermutu tak mau mengajar lagi.(hk)

3 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JADI dosen sekaligus pengacara memang enak: dapat uang dari sana-sini dan ilmu pengetahuan pun berkembang. Tetapi status yang enak itu kini disorot, dianggap melanggar ketentuan, khususnya bagi mereka yang berstatus pegawai negeri. Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara, Indroharto, belum lama ini memberi aba-aba akan menertibkan pengacara-pengacara yang berdwifungsi itu. Dan, "Kami juga akan melaksanakan penertiban itu dalam waktu dekat," ujar Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan, Hartomo. Sebelumnya, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soekirno, sudah lebih dulu memberi isyarat akan mengusut pengacara-pengacara yang merangkap dosen di wilayahnya. Sementara itu, di Jakarta, Pengacara Mulya Lubis, yang berstatus dosen hukum dagang di FH UI, dipanggil Menteri Kehakiman dan diberi tahu: instansi itu tidak akan membiarkan lagi "dosen-dosen pengacara" beroperasi. Tapi bukan hanya aparat peradilan yang bersikap demikian. Para pengacara sendiri juga ingin profesi mereka bersih dari dosen - khususnya yang pegawai negeri. Wadah tunggal advokat, Ikadin, misalnya, pagi-pagi menggariskan bahwa para anggotanya bukan yang berstatus pegawai negeri. "Advokat itu 'kan profesi bebas, sementara pegawai negeri terikat disiplin. Kalau seorang pegawai negeri menjadi advokat, akan terlibat konflik dalam dirinya, antara ingin bebas dan . . .," kata Ketua Umum Ikadin, Harjono Tjitrosoebono. Karena garis organisasi tidak menerima pegawai negeri menjadi anggota itu pula, seperti dikatakan Ketua DPP Ikadin Hakim Simamora, ia terpaksa memerintahkan pemilihan pengurus cabang Ikadin di Medan diulang. Sebab, dalam pemilihan pertama, Maret lalu, Syaiful Jalil Hasibuan terpilih sebagai ketua, padahal statusnya dosen dan pegawai negeri. Sementara itu, seorang calon ketua cabang di Palembang pagi-pagi sudah mundur, karena menyadari statusnya. Tentu bukan hanya Mulya Lubis atau Syaiful Hasibuan yang berdwifungsi. Di Jakarta, misalnya, Mulya menyebut sejumlah rekannya. Bahkan Dekan FH UI Boy MardJono, katanya, mempunyai kantor pengacara atau sekurang-kurangnya konsultan hukum. Kecuali itu, nama-nama beken lainnya, seperti Prof. Sudargo Gautama, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dan kini Prof. Oemar Senoadji pun pernah tercatat sebagai pengacara dan sekaligus guru besar yang berstatus pegawai negeri. "Sekurangnya 60% di antara dosen USU Medan berpraktek pengacara," ujar Rektor USU, Medan, A.P. Parlindungan. Dwifungsi yang sudah berjalan puluhan tahun itu pula yang kini hendak dipangkas. Dasarnya ternyata sebuah surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Sukadji Ranuwihardjo, tertanggal 18 Juni 1984. Di situ disebutkan larangan bagi dosen-dosen yang berpangkat IV A ke atas untuk menjadi pengacara dan keharusan minta izin atasan bagi dosen yang berpangkat III D ke bawah untuk berpraktek. "Ketika itu ada pengarahan dari Almarhum Pak Nugroho Notosusanto. Sebab, banyak pengacara pegawai negeri, ketika membela perkara, menyerang pemerintah," kata sebuah sumber TEMPO di Departemen P dan K. Tapi surat edaran itu tidak dipatuhi - juga ketika Nugroho masih hidup. Banyak dosen yang masih tetap berstatus pengacara, walau ada juga yang memilih mengudurkan diri dari salah satu jabatan rangkap itu. Tiba-tiba kini aba-aba penertiban datang dari aparat peradilan dan bukan dari aparat pendidikan yang memiliki dosen-dosen itu. Aba-aba itu kini yang menjadi persoalan ramai di fakultas-fakultas hukum negeri di berbagai kota. Prof. Padmo Wahyono, misalnya, menganggap ketentuan itu tidak tepat dan diskriminatif. "Kalau alasannya mengganggu jam pelajaran, mengapa para ekonom, arsitek, akuntan, atau dokter yang dosen dan berpraktek swasta tidak dipersoalkan?" katanya. Seharusnya, menurut Padmo, para hakim agung yang juga dosen berbicara dalam hal ini. "Di sana 'kan juga banyak dosen - bisa ditanyakan apa ada hambatan antara tugas akademis dan penyelenggaraan pengadilan," ujar Padmo. Hampir semua guru besar yang dihubungi TEMPO menyatakan bahwa dosen-dosen yang merangkap pengacara itu mutunya lebih tinggi dari dosen yang hanya memberi kuliah. "Mereka itu tidak hanya berteori, di awang-awang. di depan mahasiswa. Tapi juga bisa memberikan contoh-contoh yang kongkret dari kasus yang ditanganinya," ujar Sri Soemantri, Dekan Fakultas Hukum Unpad. Oemar Senoadji malah menganggap rekan-rekannya yang tidak pernah berpraktek itu hanya bermain-main dengan teori saja. "Saya pernah melihat dosen yang begitu - lucu," katanya, pensiunan pegawai negeri, yang membuka kantor pengacara selain tetap menjadi guru besar pada FH UI. Memang siapa, sih, yang mau hanya terima gaji Rp 200 ribu sebagai dosen, sementara di luar ada kesempatan lain ? Bila ketentuan itu dijalankan, boleh jadi, akan mengakibatkan banyak dosen bermutu yang memilih keluar dari pegawai negeri. "Penertiban itu terlalu dini dilaksanakan - fakultas hukum bisa tutup akibat itu," ujar Parlindungan. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Beberapa dosen yang merangkap pengacara, ternyata, memang memilih menjadi swasta daripada dosen. Sebagai contoh boleh disebut: Mulya Lubis di Jakarta dan Syaiful Jalil Hasibuan di Medan. "Saya mencintai profesi advokat - lagi pula saya tidak bisa hidup dengan gaji Rp 200 ribu itu," ujar Syaiful Jalil Hasibuan. Sedangkan Mulya Lubis mengaku telah mengajukan permohonan pengunduran diri dari FH UI, tapi belum mendapat jawaban sampai kini. "Seharusnya pemerintah mempertimbangkan dengan matang baik-buruknya penertiban itu," kata Mulya. Karni Ilyas Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus