TAK cuma di Soviet komunisme kini luntur. Juga di Hungaria. Rabu pekan lalu sekiar 75 ribu orang tumpah ke jalan-jalan Budapest, ibu kota Hungaria. Mereka membawa bendera nasional dan poster-poster bertuliskan "Hak asasi lebih penting daripada ideologi", dan "Negeri sipil bukan negeri polisi". Awalnya adalah niat untuk sekadal memperingati hari revolusi kemerdekaan Hungaria dari jajahan Austria yang ke-141. Sejak 1970-an, pawai peringatan semacam ini memang selalu diwarnai protes terhadap komunisme. Puncaknya pawai tiga tahun lalu, yang berakhir dengan diporak-porandakannya pawai oleh polisi antihuru-hara dengan brutal. Tapi pekan lalu demonstrasi berjalan tanpa insiden. Bahkan aksi ini mendapat restu penguasa: di antara ribuan manusia itu tampak para pemimpin Partai Buruh Sosialis Hungaria, partai pemerintah. Itu sebabnya bila sebuah pernyataan 12 tuntutan sempat dibacakan di depan Museum Nasional, antara lain: tuntutan disahkannya 23 Oktober sebagai hari nasional Hungaria -- tanggal itu merupakan awal pergolakan rakyat Hungaria menentang pendudukan Soviet. Dan dubes AS di Budapest, Mark Palmer, sempat nonton demonstrasi itu dengan santai. Komentarnya: "Tak percuma Presiden Bush menyuruh saya ke sini." Hungaria, di antara negeri-negeri Eropa Timur, memang sudah sejak dipimpin Janos Kadar berwarna agak lain. Di negeri ini sudah lama warganya boleh mendengarkan siaran dan membaca media Barat. Selain itu, Hungaria-lah negeri sosialis pertama yang diizinkan oleh Soviet mengelola sendiri sistem ekonominya. Pengganti Kadar, Karoly Grosz, yang memimpin Hungaria sejak Mei tahun lalu, melangkah lebih jauh. Belum lama lalu di negeri komunis ini disahkan sistem multipartai. Di luar partai pemerintah kini berdiri sejumlah partai independen, terbesar Partai Forum Demokrasi. Tak pelak lagi, itu semua bermula dari politik luar negeri Soviet yang tak lagi berambisi jual resep tunggal kepada Eropa Timur. Gorbachev bahkan meminta negeri-negeri Eropa Timur untuk menemukan sistem politik dan ekonominya sendiri. Hungaria, yang pendapatan per kapitanya US$ 4.180 -- sekitar 8 kali lebih besar daripada di Indonesia -- kini memang berada di depan, di antara negeri-negeri Eropa Timur. Grosz tak cuma mengesahkan sistem multipartai. Ia juga menjanjikan kebebasan pers dan pemilihan anggota parlemen yang terbuka, tahun depan. Di bidang ekonomi, sebuah langkah sulit dibayangkan bisa terjadi di negeri komunis tahun 1970-an ke belakang diumumkan oleh Grosz belum lama lalu. Yakni, partai-partai politik, usaha dagang, dan surat-surat kabar boleh menerima subsidi dari luar negeri, ini tak bisa lain daripada berakhirnya nonopoli partai. Di bidang pemerintahan, sebagai konsekuensi adanya multipartai, kekuasaan Sekjen Partai Buruh Sosialis akan dikendurkan. Nantinya presiden akan benar-benar berfungsi seperti dalam sebuah negara republik, bukan sekadar simbol. Dan bila kini di masyarakat disebut-sebut nama Imre Pozsgay -- anggota Politbiro yang komunis tulen tapi berpandangan demokratis -- sebagai calon presiden, bukannya Grosz, itu juga mencerminkan kebebasan memilih. Pozsgay inilah yang keras mendesak agar orang-orang konservatif segera angkat kaki dari kursi pemerintahan. Benarkah? "Seandainya rambut saya tahu pikiran saya, saya akan memotong rambut itu," ujarnya, mengelak menjawab secara langsung dengan mengutip kata-kata adnmiral Inggris terkenal, Nelson, yang mengalahkan Napoleon. Di Hungaria tampaknya orang menyukai Shakespeare. Kata seorang pejahat pemerintah, "Kalau kami menemukan sistem yang cocok sistem itu lalu kami namakan sosialisme." Apalah artinya sebuah nama yang penting cocok.Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini