KETIKA menteri perhubungan sebuah negara bagian India itu memerintahkan stafnya agar memasang telepon di sal bedah Rumah Sakit Institut Ilmu Kedokteran, maksudnya supaya ia setiap saat bisa memperoleh kabar tentang keadaan istrinya yang dirawat di situ. Tiba-tiba terpikir oleh Pak Menteri, jangan-jangan para dokter tak memberi izin pemasangan itu dikarenakan bunyi dering telepon bisa mengganggu pasien. Coba, bagaimana kalau seorang penderita sakit jantung yang sudah gawat, yang sedang menunggu giliran dioperasi di situ, tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi "kriiing ...". Ah, itu gampang, demikian mungkin pikir suami yang setia ini. Maka, suatu hari belum lama ini para dokter di situ kaget, kok di kamar bedah ada telepon baru. Sebelum terpikir bagaimana harus bersikap terhadap si telepon, terbacalah pengumuman ini oleh mereka: para dokter bisa menggunakan telepon ini gratis, kapan saja diperlukan. Singkat cerita, para dokter memang tak keberatan dengan adanya telepon. Apalagi setelah tahu, seorang menteri perhubungan sendirilah yang menyuruh memasang alat pembicaraan jarak jauh itu. Namun, kegembiraan Pak Menteri tak berusia lama. Sebelum istrinya dibolehkan kembali pulang ke rumah, ia memerintahkan mencabut itu telepon. Itu bukan karena telepon membawa korban pasien yang jantungan. Bukan. Melainkan karena kocek Pak Menteri yang lalu "jantungan" -- rekening yang harus dibayar oleh Pak Menteri untuk telepon itu lebih besar daripada gajinya. Rupanya, para dokter di bagian tersebut lalu menjadi lebih sering memegang tangkai telepon ketimbang menggunakan perangkat medisnya. Celakanya, mereka tak cuma melakukan pembicaraan lokal, tapi juga interlokal, bahkan internasional. Tak dijelaskan oleh majalah India Today isi pembicaraan telepon para dokter, juga tak jelas siapa pula yang mereka telepon. Juga tak ada berita apakah istri Pak Menteri sudah sembuh atau belum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini