DUA tahun yan lalu, serombongan petani RRT mengebor air di
daerah Lin Tung, di propinsi Shensi di lembah sungai Kuning. Tak
tersangka-sangka, mereka menemukan sebuah terowongan yang padat
berisi patung-patung keramik kuda dan prajurit, berukuran
seperti dalam kehidupan sebenarnya. Memang mentakjubkan. Para
ahli arkeologi RRT yang menggali sebagian tempat itu telah
menemukan 6.000 patung ---prajurit bersenjata, pelayan istana
dan kuda penarik kereta - teratur dalam formasi tempur.
Diketahui bahwa harta purbakala itu, yang ditemukan di dekat
ibukota kuno Sian, adalah hasil ciptaan dari 2000 tahun yang
silam. Kaisar pertama, Chin Shih Huang, konon 38 tahun lamanya
membangun istana di bawah tanah itu-- tempat dia dikuburkan
dengan menggunakan 700.000 pekerja paksa.
Penguasa RRT tak banyak mewartakan penemuan itu, yang agaknya
terpenting di dunia setelah penggalian arkeologi di tahun 1922,
ketika para ahli mengeluarkan makam raja Mesir kuno Tutankhamun.
Tapi pekan lalu dikabarhan seorang tamu dibawa ke sana juga:
Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Singapura, yang tengah
mengadakan kunjungan ke RRT. Adakan ini untuk mnunjukkan kepada
Lee kehebatan tanah leluhurnya"-nya?
Yang jelas, Lee yang kakek, bapak dan dirinya sendiri dilahirkan
di Singaura, dan baru belajar bahasa Mandarin di tahun 1954,
tentu sulit untuk mengakui Tiongkok sebagai "tanah leluhur"
dengan rasa tenang. Ia kini memimpin sebuah negeri, yang sering
diejek sebagai 'Cina Ke-3" (setelah Taiwan), tapi bertekad benar
untuk jadi negeri yang terdiri dari banyak ras dan punya
identitas sendiri -- meskipun mayoritas penduduknya adalah orang
Tionghua perantauan. Dalam pidato jamuan makan di Peking Lee
menyebutkan "cara hidup Singapura yang tersendiri". Katanya
pula: "Sejarah membawa orang Tionghwa, Melayu dan India
bersama-sama diSingapura... Dari sudut peta bumi, masa depan kami
akan lebih dekat berkaitan dengan tetangga-tetangga kami di Asia
Tenggara".
Tak Sabar
Rombongan Lee nampaknya dimaksudkan untuk memberi kesan
Singapura itu. 17 anggotanya terdiri dari orang Tionghwa Melayu
dan India (di antaranya tentuiah Menteri Luar Negeri
Rajaratnam). Wartawan yang dibawa, 10 orang, terdiri dari orang
Melayu dan Tionghwa pula. Dan bila waktu di Jakarta dalam
pertemuan dengan Presiden Soeharto Lee berbicara bahasa Melayu,
di RRT Lee terus-menerus berbahasa Inggeris. Ada yang mengejek
bahwa Lee dengan berkunjung ke RRT, merupakan 'si anak hilang
yang kembali". Tapi jelas orang Singapura ini membuktikan bahwa
ia bukan "si anak hilang". Dan baginya ke Tiongkok bukanlah
jalan kembali. Ia dengan keras, bahkan dinilai sewenang-wenang,
membungkam keturunan Tionghwa Singapura yang bersimpati kepada
Peking. Ia kini pun tetap menandaskan bahwa Singapura-lah negeri
ASEAN yang akan terakhir mengadakan hubungan diplomatik resmi
dengan RRT. Maksudnya: menunggu Indonesia.
Hanya mungkin Lee tak begitu sabar lagi menunggu terus,
sementara Kelu, Mao nampaknya tak bakal hidup lama. Ia tentunya
tak ingin ke Peking tanpa bertemu dengan orang pertama RRT itu.
Indonesia sendiri, seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Adam
Malik, memandang pemulihan kembali hubungannya dengan RRT "hanya
soal waktu". Cuma, waktu itu nampaknya panjang sekali, mengingat
ucapan ini sudah cukup lama diulang-ulangi. Di Jakarta orang
masih mencurigai RRT, dan keterlibatan Peking dalam peristiwa 30
September 1965 selalu diingat-ingat. Tak jelas apakah ini akan
berubah setelah pemilu nanti. Dalam dokumen CIA yang kemudian
disiarkan, disebutkan bahwa RRT ternyata tak terlibat Gestapu.
Tapi, tentu saja, yang mengeluarkan surat tanda
tak-terlibat-Gestapu di Indonesia ini bukan CIA....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini