SEORANG penulis ikut meliput Irak pascaperang. Malang, ia tertangkap Pengawal Republik, Senin pekan lalu, dua hari setelah pemberontakan di Irak marak. Ia sempat menyaksikan pertempuran antar-oposisi dan tentara Irak, ketika ia dibawa dari Basra ke Baghdad. Chris Hedges, dari New York Times Service, penulis itu, lalu menceritakan pengalamannya setelah dibebaskan Jumat pekan lalu, dan tiba Amman, Yordania, Sabtu pekan lalu. Laporan berikut disarikan dari International Herald Tribune. MESKI kami sudah membuktikan sebagai tamu di Irak, dan kami adalah orang Yugoslavia, kami ditangkap juga. Selama tiga hari, dengan kawalan ketat kami dibawa dari kota di selatan Irak, dekat Basra, menuju Baghdad. Pasukan Pengawal Republik, dengan seragam hijau yang compang-camping, membungkuk dekat tembok, sambil melihat ke atap. Sebuah tembakan gencar dari AK-47 terdengar di antara hujan yang turun. Peluru-peluru bertebaran ke lumpur setebal mata kaki dan sebagian melenting di dinding semen. Keraguan terdengar di antara pasukan yang diperintahkan merebut kota itu kembali. "Syiah?" tanya seorang Pengawal Republik pada temannya. "Atau tentara pembelot?" Keraguan itu mencerminkan betapa kacau pasukan yang ditarik, atau dipaksa keluar oleh Sekutu dari Kuwait. Pertempuran di desa 100 km di utara Basra itu terjadi pada Selasa pekan lalu, di jalan menuju Baghdad. Orang-orang Syiah melawan sekitar 4 kompi Pengawal Republik yang jumlah keseluruhannya sekitar 600 tentara. Sejumlah desa antara Basra dan Baghdad (sekitar 450 km jaraknya) dikuasai pemberontak. Kantor-kantor polisi dibakar, komandannya dibunuh. Kota-kota besar di selatan -- Basra, Najaf, dan Karbala -- jadi medan pertempuran. Pemberontak menguasai kota-kota yang porak-poranda itu, sambil meningkatkan perlawanan. Di daerah Basra utara, peluru berdesingan di jalan-jalan. Pengawal Republik terlihat tiarap sambil memasang magasin baru di senapannya. Ada yang terpeleset dan jatuh di lumpur. Mereka memaki-maki hujan dan pertempuran. Para sopir yang tiba-tiba tahu di situ berlangsung pertempuran langsung menginjak rem, dan melakukan putar balik. Tank T-72 bikinan Soviet dan truk bersenapan mesin pelan-pelan memasuki daerah pertempuran. Para penembak rupanya mulai kacau. Suara tembakan tersebar tak keruan. Sebuah tembok tanah liat berantakan karena sebuah ledakan. Deretan rumah itu menjadi mirip bangunan kuno yang tak utuh lagi. Tiba-tiba kapten dalam konvoi ini berteriak, "Kami tak akan maju lebih jauh lagi. Kami tak tahu ada apa di sini dan di depan sana." Guyuran hujan dan sapuan angin menggoyang pemandangan yang tarasa rata. "Kami tak bisa melihat apa pun," teriak Mayor Assam, yang bajunya basah dan tangan kanannya terbebat. "Kami baru saja menembak, sekadar memberi tahu bahwa kami tak tidur dan agar mereka pergi." Mayor itu lalu membuka sekaleng kacang polong, dan membagikannya kepada prajurit-prajurit sekitar dia. Dia lalu mem- buka sekaleng buah persik, dan tiap serdadu kebagian dua sendok penuh. Hanya dari makanan kaleng yang mereka bawa dari Kuwait itulah, mereka makan sepanjang hari itu. Esoknya, kekacauan semakin nyata. Sebatalyon pasukan Pengawal Republik ini, tanpa bisa melakukan komunikasi dan tak berani menebak apa yang ada di depan, bergerak mundur. Lewat lumpur, pelan-pelan bergerak balik ke selatan, ke Basra, melewati bangkai binatang dan mayat-mayat manusia korban berton-ton bom Sekutu yang dihibahkan selama Perang Teluk. Selusin orang berseragam yang tak keruan -- tanpa senjata, bertelanjang kaki, dibayangi ketakutan dan kelaparan -- berdiri di dekat genangan air. Kepala mereka berkerudung selimut basah, lalu mereka menggunakan tangan untuk menyedu genangan air itu, dan meminumnya. Di hari berikutnya, akhirnya saya diterbangkan ke Baghdad dengan helikopter, untuk diserahkan pada Palang Merah Internasional. Dari heli itulah, tampaknya, kerusuhan terjadi di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini