SETELAH drama pembajakan pesawat Boeing 737 Air France berlalu minggu lampau, presiden Iran Ali Khamenei menuduh Prancis memberikan tempat bagi kaum teroris. Di hadapan ribuan jemaah salat Jumat di Universitas Teheran, Khamenei berkata, "Bagaimana bisa mereka mencela tuntutan pemuda-pemuda kita sementara mereka sendiri akrab dan membantu teroris." Khotbah Khamenei itu, tulis wartawan TEMPO, Syu'bah Asa dan Sjafiq Basri, dari Teheran, berisikan kecaman terhadap terorisme dan pemerintah Prancis yang menerima para pelakunya. Sementara itu, beberapa surat kabar Prancis menuduh pemerintah Iran berada di belakang pembajakan pesawat yang membawa 58 penumpmg itu. Drama pembajakan 48 jam ini berakhir di pelabuhan udara Mehrabad, Teheran, tanpa korban manusia. Tapi sebelum menyerah kepada pemerintah Iran Kamis pekan lampau, tiga pembajak berusia 20-22 tahun dan menamakan dirinya Organisasi Islam untuk Pembebasan al-Quds (Yerusalem), meledakkan kokpit pesawat, setelah terlebih dahulu menyampaikan maklumat yang diawali dengan ayat suci Alquran. Isi maklumat: mengajak golongan tertindas (mustadhafiin) Muslim sedunia untuk berbicara, meskipun media dikuasai zionisme internasional yang tak pernah memberikan kesempatan. Lewat maklumat itu mereka menyebutkan bertanggung jawab untuk mengecam perbuatan terkutuk Prancis di Libanon Aljazair, Chad, Iran, dan bagian dunia Islam lainnya Boeing 737 Air Franc itu mulai dikuasai ketiga pembajak 22 menit setelah tinggal-landas dari bandar udara Frankfurt, Jermar Barat, dalam penerbangan menuju Paris, Selasa pekan lalu. Setelah itu pesawat singgah berturut-turut di Jenewa Beirut, dan Siprus sebelum mendarat Kamis pagi di Teheran. Pemerintah Iran mulanya menolak kehadiran mereka. Tapi, "Kami membiarkan mereka mendarat karena pembajak mengancam akan meledakkan pesawat itu jika tidak diizinkan turun," kata seorang pejabat Iran. Tuntutan ketiga pemuda berbahasa Arab itu adalah agar lima kawannya dibebaskan dari penjara Prancis. Empat dari lima narapidana itu dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Prancis karena terlibat dalam usaha pembunuhan - yang gagal, 1980 - terhadap Shapour Bakhtiar, PM terakhir rezim Syah Reza Pahlevi. Seorang lagi diganjar hukuman penjara 20 tahun. Pemerintah Prancis tak menggubris tuntutan itu. Para pembajak bersama 40 penumpang duduk di landasan menyaksikan ledakan di kokpit Boeing 737 yang dikepung sekitar 20 Pasdaran. Setelah itu mereka menyerah. Oleh pemerintah Iran para penumpang yang baru saja disandera dibawa ke Hotel Istiqlal. Sebelum ini, para pembajak sudah membebaskan 15 penumpang wanita dan anak-anak, termasuk mereka yang sakit. Seorang dari enam awak pesawat meloloskan diri ketika singgah di Siprus. Dari pembajak, petugas keamanan Iran menyita tiga bren Yuzi buatan Israel, tiga pistol Colt, dan beberapa granat tangan. Jumat lalu, semua penumpang diterbangkan ke Paris. Pemerintah Prancis menyatakan terima kasihnya kepada menlu Jerman Barat Hans-Dietrich Genscher dan beberapa tokoh negara lain yang memberikan bantuan dalam menyelesaikan kasus ini. Tapi Paris tak mengirimkan ucapan serupa itu ke Teheran. Menurut beberapa sumber di Paris, Aljazair, Yugoslavia, dan sekjen PBB Javier Perez de Cuellar turut menekan Iran agar menyelesaikan pembajakan itu secara damai. Hubungan Prancis-Iran, setelah Paris menjual senjata kepada Irak, belakangan ini agak buruk. Ia juga diperuncing oleh kebijaksanaan Prancis memberikan izin tinggal bagi beberapa tokoh penentang Ayatullah Khomeini. Putri Ashraf, saudara kembar Almarhum Syah Iran Reza Pahlevi, sekarang menetap di negeri itu. Pendukung monarki konstitusional Shapour Bakhtiar, bekas presiden Iran Bani-Sadr, dan pemimpin golongan kiri Mujahiddin, Massoud Rajavi, kini pun menetap di sana. Prancis memang dikenal sebagai negeri yang memberikan tempat bagi para pelarian politik. Dulu, Ayatullah Khomeini, waktu diusir Syah Iran, setelah meninggalkan Irak menetap di Prancis. Hubungan Teheran-Paris juga diwarnai protes Iran setelah pesawat mereka dibajak ke Prancis oleh penentang Imam Khomeini, Juni lalu. Dan kini, ketika hubungan kedua negara begitu buruk, dari Paris tersiar pula kabar yang bersumber dari Bani-Sadr tentang sakit kerasnya Ayatullah Khomeini. Konon, di saat sang imam yang kini berusia 84 tahun itu dikhawatirkan akan meninggal dunia, dua pemimpin berpengaruh di Teheran - Ali Khameini dan pemimpin parlemen Ali Akbar Hashemi Rafsanjani - bersepakat menyingkirkan perbedaan pandangan politik mereka, dan akan menegakkan kerja sama. Menurut Bani-Sadr, kedua orang itu setuju mengangkat Ayatullah Hossein Ali Montazeri sebagai pengganti Khomeini, seandainya pemimpin revolusi Iran itu berpulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini