Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Australia-Indonesia: Tukar Pikiran..

Pada seminar ketiga Australia-Indonesia di Brisbane, Indonesia merasa dipojokkan oleh Australia. Sebaiknya tukar pikiran dengan akal sehat lebih baik dari pada tukar menukar racun.(kl)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROFESOR Nancy Viviani dari Universitas Griffith benar. Pada seminar ketiga Australia-Indonesia di Brisbane pertengahan Juli yang lalu, ia berkomentar secara pribadi, "Mungkin tak ada dua bangsa seperti Australia dan Indonesia yang begitu sadar diri tentang identitas dan peranannya di kawasan (Asia Pasifik) ini." Seminar ketiga Australia-Indonesia itu diselenggarakan sebagai kelanjutan seminar pertama (Oktober 1979, Canberra) dan kedua (Desember 1982, Bali). Tak terelak bahwa banyak masalah yang diulang dalam bentuk atau nada yang sedikit berbeda. Dua seminar sebelum di Brisbane Juli 1984 ini diselenggarakan Pada masa pemerintahan Malcolm Fraser. Kali ini bukan saja diselenggarakan pada masa Bob Hawke sebagai perdana menteri, tetapi juga hanya sepekan setelah konperensi nasional Partai Buruh Australia (ALP) yang a.l. mempersoalkan integrasi Timor Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Maka, apabila pada waktu seminar Canberra tahun 1979 pihak Australi agak kesal dianggap sepele oleh Indonesia (bagaikan usus buntu, diperhatikan hanya kalau sedang sakit), di Brisbane kali ini terasa kejengkelan peserta Australia agak meningkat. Beberapa tokoh ALP yang hadir sebenarnya ingin pengertian peserta Indonesia bahwa kasus Timor Timur disidangkan dalam konperensi nasional ALP hanyalah bagian dari pertarungan politik intern dalam tubuh ALP. Buat apa terlalu mempersoalkan kalau Bob Hawke (dari sayap kanan) dan Bill Hayden (golongan tengah) akhirnya akan tetap mengakui menyatunya Timor Timur dalam pangkuan Indonesia? Sebagian peserta Indonesia menjelaskan bahwa persoalan buat kita bukanlah masalah mengerti atau tidak mengerti sistem politik Australia dan kebudayaan politiknya yang lugas dan terbuka. Yang lebih dirasakan oleh para peserta Indonesia sebagai hal yang memojokkan adalah diulanginya berkali-kali (seperti di Canberra tahun 1979 dan di Bali tahun 1982) bahwa "pers Australia tidak bisa dibungkam". Dalam kalimat itu tersimpul dua penilaian yang kurang dikemukakan secara terus terang. Pertama, bahwa pers Australia "lebih baik" daripada pers Indonesia. Kedua, masyarakat politik Australia "lebih matang" daripada masyarakat politik Indonesia. Jawaban yang disampaikan kembali kepada pihak Australia, sejauh yang dapat dirangkum, adalah kurang lebih: Pers Australia terang lebih bebas, tetapi apakah lebih bebas itu menghasilkan pers yang "baik", adalah suatu penilaian sepihak. Kalau disebutkan sistem politik Australia lebih matang, kita terima sebagai penilaian sepihak. Kalau misalnya tokoh ALP dari golongan kiri mempersoalkan keadaan di Indonesia (apakah Timor Timur, hak-hak asasi, penampungan pengungsi) dan berita tentang gugatan itu disiarkan sebagai bukti kebebasan pers dan kematangan politik, maka hal itu wajar sejauh menyangkut masyarakat Australia. Bagi kita di Indonesia, kebebasan (yang akhir-akhir ini diajukan sebagai salah satu kebutuhan dasar) membawa akibat terhadap nyawa orang. Siaran pers yang terlalu terbuka, pemberitaan tentang Fretilin yang mengganggu keamanan, dan laporan tentang pengiriman makanan untuk pengungsi bukanlah sekadar latihan penggunaan kebebasan pers. Ia menyangkut hubungan peka antarpejabat di lapangan, sinkronisasi usaha membantu prajurit mengatasi masalah keamanan yang diperlukan guna melancarkan usaha-usaha perbaikan aparatur pembangunan. Singkatnya, kami di Indonesia mengimbau kawan-kawan di Australia agar memahami bahwa bagi kami persoalan-persoalan pelik sekitar Timor Timur bukan sekadar salah satu agenda konperensi nasional ALP, yang setelah itu tokoh-tokoh partai bisa berkumpul di bar dan enak-enak, minum bir. Bagi kami Timor Timur bukanlah sekadar bagian dari usaha membuktikan diri sebagai pers yang "bebas" atau masyarakat politik yang "matang". Pemberitaan yang.salah atau tendensius di Australia bisa dipersoalkan sebagai perkara hukum di antara orang-orang yang sama-sama cukupan. Hal yang demikian tidak berlaku di lapangan Timor Timur ataupun di kancah politik orang-orang Jakarta. Entah seberapa jauh kawan-kawan dari Australia itu memahami situasi yang kita hadapi. Bagaimanapun juga, akibat-akibat perdebatan tentang Timor Timur itu akhirnya dikembalikan pada identitas Australia sebagai negeri orang Eropa yang kebetulan berada di Pasifik Barat Daya. Di sini giliran orang Indonesia ramai-ramai mencoba membantai kawan-kawan Australia. "Australia harus menentukan identitasnya dahulu, mau jadi orang Asia Pasifik atau tetap orang Inggris yang ada di seberang lautan". Nada seperti itu, kalau dikaji dengan telitl, sesungguhnya juga mengandung unsur rasialisme terbalik. Ada asumsi seakan-akan kalau orang Australia jadi orang berkulit sawo matang atau cokelat, maka persoalan hubungan Australia- Indonesia akan beres. Masuk akal, tetapi tidak benar dan salah kalau terlalu diyakini. Saya teringat akan ucapan Bung Karno, "Asians must solve their own problems in their own way, the Asian way." Tapi bagaimana kahu cara Asia itu bunuh-bunuhan? Maka, benarlah ucapan Soedjati Djiwandono dalam seminar Brisbane itu bahwa orang Indonesia janganlah terlalu menuntut orang Australia jadi orang (Asia) Pasifik, apa pun definisi dan perumusan arti itu. Terimalah bangsa Australia sebagai bangsa kulit putih yang bagian terbesar mewarisi kebudayaan politik parlementer gaya Westminster, dengan selera dan pola konsumsi yang berorientasi pada Eropa dan Amerika Utara. Buat apa memaksa-maksa orang Australia menjadi "orang Asia" ? Adakah jaminan hubungan itu pasti lebih baik jika kawan-kawan Australia menjadi lebih Asia daripada Eropa-Ingris? Lagi pula, orang Australia mengharapkan perhatian antara tetangga dilakukan secara dua arah. Di Australia sudah banyak pusat studi tentang Asia Tenggara dan Indonesia: Australian National University di Canberra, Monash University di Clayton, dan Griffith University di Brisbane. Bagaimana dengan Studi Australia di Asia Tenggara dan di Indonesia khususnya? Sudah waktunya orang Australia menghentikan atau mengurangi Indonesian bashing (memukul-mukul Indonesia tentang pers kita yang "bungkam", tentang kasus hak-hak asasi yang terlalu didramatisasikan, tentang Timor Timur sebagai bukti barsa Indonesia tak sanggup menjalankan pemerintahn daerah yang baik). Kita pun patut menghentikan Australian bashing, mencari-cari kesalahan tentang perlakuan terhadap aborigin (tema favorit di mana-mana), tentang identitas Australia yang "bener, dan lain sebagainya. Singkatnya, tukar pikiran akal sehat, bukan tukar-menukar racun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus