AWAN duka, sampai akhir pekan silam, masih menyelimuti Kairo. Wanita-wanita berpakaian hitam menghamburkan ratap begitu jenazah korban operasi pembajakan pesawat Egypt Air tiba di ibu kota Mesir, Sabtu siang lalu. Dari 59 korban, di antara 92 penumpang, lebih dari separuh warga negara Mesir. Melihat korban yang jatuh, sulit untuk menilai keberhasilan pasukan komando Mesir mengakhiri drama pembajakan di bandar udara Luqa Valletta, Malta, itu. Belum pernah operasi pembebasan pesawat, dilihat dari jumlah korban, seburuk ini. Padahal, "Pasukan komando kami sangat terlatih," kata Usamah Al Bas, sekretaris kepresidenan Mesir. Mengapa pasukan antiteroris Mesir ini, yang direkrut dari kesatuan elite tentara dan polisi, gagal menghindari jatuhnya banyak korban? Menurut seorang anggota pasukan antiteroris Indonesia yang membebaskan pesawat Garuda dari tangan pembajak di Bangkok (lihat: Cara Kopassandha Membebaskan Woyla), cara kerja pasukan komando Mesir kali ini "tergolong kasar". Dalam operasi penyerbuan di Malta pasukan komando Mesir menggunakan satuan penyerbu berkekuatan 26 orang. Gara-gara cara kerja mereka agak sembrono, kehadiran mereka dengan mudah diketahui para pembajak - yang segera menyambut dengan lemparan granat dan muntahan peluru. Korban berjatuhan, sebagian besar penumpang. "Mereka menembaki kami seperti membantai anjing," kata seorang penumpang keturunan Israel yang selamat. Kemungkinan peluru nyasar dari penyerbu juga tak tertutup, kendati mereka mengaku hanya menembakkan tujuh peluru. Menurut anggota pasukan pembebasan Woyla yang tak mau disebut namanya itu, komando Mesir kelihatan kurang menguasai situasi lapangan. Ia menduga, pasukan antiteroris Mesir tidak tahu persis posisi pembajak di pesawat. "Operasi pembebasan ini memang minta korban yang besar, tapi itu membuktikan bahwa Mesir tak main-main dengan pembajak," kata juru bicara pemerintah. Dan Mesir juga tidak menyembunyikan keberangannya terhadap Libya, yang sudah 13 tahun menjadi seteru. Tanpa tedeng aling-aling Presiden Husni Mubarak menuduh Libya berada di belakang peristiwa pembajakan berdarah itu. Menurut Mubarak, operasi dikendalikan gembong pembajak, yang berasal dari kelompok sempalan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dari kamar 401 Hotel Grand, Tripoli. Surat kabar The Observer terbitan London menyangsikan tuduhan Mubarak itu. Menurut harian tersebut, boleh jadi orang yang dimaksud adalah Muhsin Abu Maizar, tamu undangan pemerintah Libya yang menginap di kamar 403. Sebab, kamar 401 ditinggalli oleh pengacara Senegal. Siapakah gembong yang dimaksud Mubarak? Menurut beberapa kalangan, tokoh tersebut adalah Abu Nidal, sahabat karib Yasser Arafat ketika ia masih berjuang di bawah bendera PLO. Adalah Abu Nidal yang mengusir Arafat dari Yordania setelah pecah dengan PLO. TIDAK salah memang bila Abu Nidal memalingkan muka ke Tripoli. Bayangkan, setiap tahun, Qadhafi menghamburkan US$ 100 juta untuk menggalang kekuatan terornya. "Saat ini, ada sekitar tujuh ribu taruna teroris internasional dari 40 organisasi teror yang berasal dari 13 negara," tulis Ahmad Jalal Izudin dalam disertasi doktornya yang diajukan di Universitas Kairo belum lama berselang. Melihat gelagatnya, memang tidak sedikit kemungkinan Qadhafi menggunakan Abu Nidal untuk mencoreng muka Mubarak. Tahun lalu saja, aparat keamanan Mesir berhasil mematahkan upaya pembunuhan bekas Perdana Menteri Libya Bakoush, yang sekarang hidup dalam pengasingan di Mesir. Sebelum itu, ada dugaan kuat bahwa Libya mendalangi pemasangan ranjau-ranjau di Laut Merah, yang sempat merusakkan beberapa kapal dari dan ke Mesir. Belajar dari pengalaman-pengalaman dengan Libya itu, sejak pekan lalu, Mesir menyiagakan pasukannya di sepanjang perbatasan dengan negeri Qadhafi itu. Bahkan pesawat-pesawat tempur mereka sesekali terlihat mengadakan manuver. Sementara itu, wartawan TEMPO Praginanto dari Amman, Yordania, melaporkan, sebuah kapal Uni Soviet telah menurunkan sejumlah peluru kendali, yang berjarak tembak sejauh 320 km, di pelabuhan Misrafah Libya, Ahad lalu. Selama ini, Soviet belum pernah terlibat dalam penyediaan senjata berat secara langsung. Tapi, Mubarak tak cemas. "Kami sebenarnya tidak ingin berperang. Kalaupun kami melakukannya, itu semata-mata untuk mencapai perdamaian," katanya. James R. Lapian Laporan Praginanto (Amman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini