Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Teknologi Ramah yang Membikin Marah

Pemerintah DKI berniat menerapkan teknologi ramah lingkungan pada tempat pembuangan sampah akhir baru di Bojong. Mengapa warga berkukuh menentangnya?

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebulan terakhir, warga Desa Bojong punya kegiatan baru. Sehari-hari bekerja sebagai penggali pasir, kini mereka mendadak giat sebagai aktivis penyelamat lingkungan. Walau masih aktivis karbitan, aksi mereka tergolong bernyali. Dari ramai-ramai berdemo ke DPRD DKI, mengusir pejabat, sampai mengumpulkan cap jempol darah. Apa yang membikin para penggali pasir dari Bojong, Kecamatan Kalapa Nunggal, Bogor, ini marah besar dan masih terus berdemo hingga pekan silam?

Sampahlah yang menjadi pangkal soal. Akhir tahun 2003, kontrak kerja pemerintah DKI Jakarta dengan tempat pembuangan akhir Bantar Gebang, Bekasi, bakal berakhir. Maka Gubernur DKI Sutiyoso dan para aparatnya segera memutar otak mencari tempat penampungan baru. Bojong pun dilirik dan ditaksir. Untuk melaksanakan proyek ini, pemerintah DKI mencoba menggandeng PT Wira Gulfindo Sarana. Rencananya, proyek ini dilaksanakan mulai akhir tahun 2003.

Untuk menampung 6.500 ton sampah Jakarta, Wira Gulfindo memanfaatkan teknologi aman lingkungan asal Swedia. Pihak DKI disilakan menyiapkan ongkos lelah pengolahan sampah sebesar Rp 53 ribu per ton. Untuk tahap awal, Wira akan mengolah 1.500-2.000 ton sampah per hari. Untuk keperluan pengolahan, sebuah pabrik dibangun di Bojong. Eh, saat bangunan pabrik hampir rampung, warga di desa itu merontak, marah, bak macan yang kaget dari tidur lelap. Mereka berkukuh menolak kampungnya dijadikan tong sampah orang Jakarta.

Penduduk Bojong khawatir rencana itu bakal mencemari lingkungan mereka, menebarkan bau busuk yang menyengat. Mereka takut cairan limbah sampah (licit) meracuni sumur berikut seabrek penyakit kulit dan pernapasan. Tentangan ini tidak membuat pemerintah DKI mundur. Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan, Irzal Djamal, pun menguarkan janji. Katanya, dengan teknologi Swedia ini, lingkungan sekitar stasiun sampah akan tetap bersih dari pencemaran udara ataupun pencemaran air. Kata Irzal lagi, ini berkat penggunaan teknologi dan metode pengolahan sampah terpadu.

Bagaimana membuktikan janji itu bukan angin surga belaka? Menurut Irzal, pemerintah DKI akan membiakkan ikan di danau bekas galian pasir yang berimpitan dengan lokasi pengolahan sampah. "Jika ikannya pada mati, itu tanda pencemaran. Jika tidak, artinya aman," ujarnya.

Menurut proposal, kawasan Bojong akan menjadi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), bukan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Di sana akan diterapkan sistem daur ulang, kompos, dan pembakaran. Sisa sampah yang tak terolah akan diamankan teknologi bala press. Begini cara kerjanya: truk menuangkan sampah dari Jakarta ke bak penampungan di gudang tertutup, lalu mesin memisahkan sampah basah organik dari sampah kering non-organik.

Sampah organik diolah menjadi kompos. Sampah non-organik masuk ke konveyor (ban berjalan). Saat ban bergerak, pekerja memilah sampah berharga untuk didaur ulang. Sampah yang bisa terbakar masuk ke mesin pembakar bertemperatur tinggi (incinerator). Sisa yang tak mungkin diolah baru masuk ke mesin bala press.

Nah, mesin bala press akan memadatkan dan mengemas sampah dalam bentuk bal-bal bulat. Bal sampah dibungkus plastik film berwarna putih yang tahan lama, kedap udara, dan tak tembus air. Bulatan berdiameter 1,2 meter itu lalu ditimbun dan ditutup tanah. Dalam waktu 25 tahun, bukit sampah bisa ditanami dan dimanfaatkan sebagai hutan buatan atau arena perkemahan.

Peneliti masalah sampah dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sri Bebassarie, berpendapat bahwa teknologi bala press terbilang maju. Bala press lebih mutakhir dari sanitary landfill—penimbunan sampah dengan lapisan tanah—seperti di Bantar Gebang. Bala press juga menambal kelemahan cara pembakaran. Negara maju seperti Swedia, Swiss, Jerman, dan Prancis telah mamakai teknologi ini.

Jika konsepnya berjalan ajek, menurut Sri, masalah lingkungan tak bakal muncul. Bau sampah bisa saja ada, tapi tak menyebar luas. Sebab, semua proses berlangsung secara tertutup. Pengiriman sampah saja, misalnya, bakal memakai mobil kapsul tertutup rapat. Jadi, warga, menurut Sri, tak perlu merisaukan pencemaran air karena septic tank bakal menampung licit sampah yang tercecer.

Itu bukan berarti teknologi bala press ini sempurna. Kekurangannya, teknologi ini memerlukan lahan luas untuk menimbun bal-bal sampahnya. Sri menghitung, bala press hanya langkah darurat untuk jangka pendek, 4 sampai 5 tahun. Untuk jangka panjang, pemerintah harus mengubah pola: mengurangi sampah dari sumbernya, baru mengolah sisanya. "Tidak membuang semuanya ke TPA," ujar Sri.

Pertanyaannya: jika teknologinya ramah, mengapa warga merontak? Sri curiga, masalah muncul akibat minimnya penjelasan kepada penduduk setempat. "Komunikasi dengan warga masih buruk. Perlu bantuan konsultan profesional," kata lulusan Institut Teknologi Bandung yang sudah 23 tahun menggeluti sampah ini.

Pengakuan warga mengukuhkan kecurigaan Sri. Kepada TEMPO, sebagian penduduk Rawa Jeler—kampung terdekat dari lokasi TPA—misalnya, mengaku tak pernah dilibatkan. Pernah ada aparat yang meminta tanda tangan warga dengan iming-iming uang Rp 100 ribu. Tapi warga hanya dimintai pesetujuan pembangunan pabrik, bukan tempat membuang sampah. Setelah ribut-ribut, ada aparat dan wakil pengusaha yang memberikan penjelasan. Tapi penjelasan itu bersifat desakan ketimbang meminta persetujuan. "Suka tidak suka, kita diminta terima. Itu mah jual dedet (jual paksa—Red.)," ujar Junaedi, warga yang ikut berunjuk rasa ke DPRD DKI belum lama ini.

Alhasil, karena kurang siasat dalam memberikan informasi, teknologi ramah lingkungan itu diterima dengan amarah di Bojong.

Jajang Jamaludin


Proses Pengepresan BALA

Teknologi utama pemrosesan sampah dengan cara ini adalah mesin yang berfungsi memadatkan dan membentuk sampah menjadi bola (bal). BALA adalah nama perusahaan Swedia, yang pabriknya berlokasi di Nossebro, dekat Gothenburg. Perusahaan ini berpengalaman 15 tahun dalam merancang dan membuat sistem untuk menangani, menyimpan, dan membuang sampah padat.

  1. Material dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola sampah sampai dicapai tekanan penuh.

  2. Untuk mempertahankan bentuk bola yang ada, jaring atau plastik film dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola.

  3. Ruang pembentukan bola terbuka dan bola sampah yang ada dipindahkan ke unit pembungkusan.

  4. Sementara bola sampah dibungkus, lengan pembentuk bola kembali ke posisi awal, siap untuk menjalankan proses baru.

  5. Bola-bola yang dibungkus kini dimasukkan ke konveyor. Seluruh proses berakhir dalam 2-3 menit dan sepenuhnya dijalankan komputer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus