Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Vladimir Putin mengusulkan sejumlah perubahan Konstitusi Rusia.
Sebagian kewenangan Presiden Rusia akan dialihkan ke parlemen.
Spekulasi paling kuat: Putin mungkin maju lagi sebagai kandidat perdana menteri.
PIDATO-PIDATO kenegaraan Presiden Rusia Vladimir Putin biasanya berupa ringkasan kejadian tahun lalu dan prediksi pada tahun mendatang dalam berbagai bidang. Namun, di luar dugaan, yang disampaikan Putin pada Rabu, 15 Januari lalu, justru usul sejumlah reformasi terhadap konstitusi yang berdampak penting terhadap sistem politik negara berpenduduk 244 juta jiwa tersebut. Media Russia, Meduza, menyebutkan pengumuman ini mengejutkan dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain isinya, dampak pengumuman itu tak kalah mengejutkan. Beberapa jam kemudian, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mundur dari jabatannya untuk memberikan jalan bagi rencana perubahan itu. Putin lantas menyodorkan pejabat pajak yang kurang dikenal, Mikhail Mishustin, sebagai pengganti. Adapun Medvedev ditetapkan sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, lembaga yang bertugas memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai keamanan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah mengejutkan politikus 67 tahun itu mengguncang politik Rusia dan memicu spekulasi seputar motif perubahan konstitusi tersebut. Berkembang sejumlah skenario yang mungkin bisa terjadi dan sebagian besar berpandangan bahwa itu cara Putin untuk tetap punya peran politik besar setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir pada 2024 karena tak dibolehkan maju lagi oleh Konstitusi Federasi Rusia saat ini.
Dalam pidato di depan para pejabat tinggi Rusia itu, topik yang disampaikan pria kelahiran 7 Oktober 1952 di Leningrad (kini Saint Petersburg), Rusia, tersebut sebenarnya cukup beragam. Ia, antara lain, risau terhadap rendahnya angka kelahiran sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkannya. Putin menilai langkah tersebut penting bagi masa depan negara meskipun diproyeksikan menelan biaya setidaknya sekitar Rp 128 miliar untuk tahun ini saja.
Putin menyebutkan situasi demografis itu sangat sulit dan mengusulkan pembayaran untuk keluarga berpenghasilan rendah dengan anak kecil, tunjangan bagi perempuan yang menjadi ibu untuk pertama kalinya, dan pembayaran lebih tinggi buat keluarga dengan lebih banyak anak. “Nasib Rusia dan prospek historisnya bergantung pada berapa banyak jumlah kita. Itu bergantung pada berapa banyak anak yang lahir dalam keluarga Rusia dalam setahun, lima, sepuluh tahun, pada bagaimana mereka tumbuh dewasa,” katanya.
Populasi Rusia turun secara dramatis pada 1990-an akibat iklim ekonomi dan sosial yang keras setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1989. Putin menghadapi masalah ini sejak menjadi presiden periode pertama pada 2000, setelah Boris Yeltsin mundur. Upaya memperbaiki situasi ini sebelumnya tidak berhasil dan memicu kekhawatiran kalangan ekonom mengenai dampak kecilnya angka tenaga kerja terhadap perekonomian.
Satu topik lain adalah hukum domestik dan internasional. Salah satu masalah utama yang diuraikan Putin adalah Rusia harus mematuhi hukum internasional hanya jika tidak bertentangan dengan konstitusi. Putin berpandangan bahwa perjanjian dan keputusan badan-badan internasional dapat berlaku di Rusia “hanya sejauh mereka tidak melakukan pembatasan pada hak dan kebebasan orang dan warga negara, dan tidak bertentangan dengan konstitusi kita”.
Meski dua hal itu masalah penting, yang lebih banyak menjadi sorotan adalah reformasi konstitusi yang berhubungan dengan politik. Putin menyodorkan peningkatan peran Dewan Negara—lembaga penasihat presiden—sebagai pusat kekuasaan baru, termasuk akan menjadi “penentu arah utama kebijakan dalam dan luar negeri”, bukan sekadar badan dekoratif seperti selama ini. Dewan saat ini diketuai Putin.
Putin juga mengisyaratkan pengurangan kewenangan presiden dan penambahan kewenangan parlemen dalam pemilihan perdana menteri dan kabinet. Selama ini, pemilihan sepenuhnya berada di tangan presiden. Jika usul itu disetujui, kewenangan tersebut akan menguatkan peran parlemen dari sekadar tukang stempel keputusan presiden. “Ini akan meningkatkan peran parlemen dan partai-partai di parlemen, kekuasaan dan independensi perdana menteri, serta semua anggota kabinet,” ujar Putin.
Pada saat yang sama, Putin berpendapat bahwa Rusia tidak akan stabil jika diperintah di bawah sistem parlementer. Karena itu, dia melanjutkan, presiden harus memiliki hak memberhentikan perdana menteri dan menteri kabinet serta menunjuk pejabat tinggi pertahanan dan keamanan dan bertanggung jawab atas militer Rusia dan lembaga penegak hukum.
Usul perubahan kewenangan sejumlah lembaga ini memicu spekulasi mengenai peran yang mungkin tersedia bagi Putin setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir empat tahun mendatang. Apa yang disodorkan Putin tentang perubahan syarat calon presiden dan pejabat tinggi dinilai sebagai salah satu cara menghalangi para politikus pesaingnya untuk menduduki posisi strategis, termasuk calon presiden.
Mantan agen dinas rahasia Rusia (KGB) itu mengajukan persyaratan wajib bagi orang-orang yang memegang posisi penting untuk memastikan keamanan dan kedaulatan negara, termasuk perdana menteri, anggota kabinet, gubernur, kepala lembaga federal, anggota parlemen, dan hakim. Mereka, misalnya, dilarang memiliki kewarganegaraan asing atau izin tinggal di negara lain. Calon itu juga harus telah tinggal di Rusia selama setidaknya 25 tahun, naik dari ketentuan selama ini yang mensyaratkan 10 tahun.
Hal itu menimbulkan sejumlah spekulasi bahwa Putin akan tetap berkuasa dengan mengamendemen konstitusi. Dalam pidato, Putin mengungkapkan bahwa memang ada yang membahas soal perlu atau tidaknya merevisi pembatasan masa jabatan presiden dua periode berturut-turut, seperti yang digariskan konstitusi. “Saya rasa ini bukan masalah mendasar, tapi saya setuju dengan itu,” ucapnya.
Pernyataan ini seakan-akan menjadi sinyal bahwa maju lagi sebagai calon presiden sepertinya bukan pilihan Putin. Menurut Vox, yang lebih memungkinkan adalah dia maju lagi menjadi kandidat perdana menteri, seperti yang ia lakukan saat tak bisa lagi menjabat presiden pada 2008. Setelah menjabat presiden dua periode (2000-2008), Putin menjadi perdana menteri saat posisi presiden diduduki Dmitry Medvedev. Setelah menduduki posisi itu satu periode, Putin kembali maju sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2012.
Analis politik Dmitry Oreshkin mengatakan pidato Putin itu menjelaskan bahwa dia sedang mempertimbangkan peralihan ke jabatan perdana menteri. “Putin mengedepankan gagasan mempertahankan otoritasnya sebagai perdana menteri yang lebih kuat dan berpengaruh, sementara kepresidenan akan menjadi lebih dekoratif,” kata Oreshkin.
Ivan Kurilla, analis politik di St. Petersburg, kampung halaman Putin, punya pandangan berbeda. “Penjelasan yang paling masuk akal adalah ia ingin menjadi negarawan yang masih memegang kekuasaan, seperti mantan pemimpin Cina (Deng Xiaoping) atau (Presiden Kazakstan) Nursultan A. Nazarbayev," tuturnya.
Nazarbayev mengundurkan diri dari jabatan presiden negara di Asia Tengah itu pada 2019 setelah berkuasa hampir tiga dekade. Tapi dia mempertahankan pengaruhnya dengan menjabat “pemimpin bangsa” dan menyatakan dirinya sebagai Ketua Dewan Keamanan, yang sebelumnya mendapat penguatan wewenang.
Tapi, bagi sebagian orang, revisi konstitusi oleh Putin lebih dekat dengan strategi pemerintahan Deng Xiaoping. Meski mundur dari Komite Tetap Politbiro di Partai Komunis Cina pada 1987, Deng mempertahankan posisinya sebagai pemimpin terpenting negara melalui kepemimpinannya di badan penasihat yang terdiri atas pemimpin senior partai. Dia juga menikmati gengsi besar sebagai arsitek utama penataan ulang secara radikal prioritas ekonomi dan politik Cina setelah kematian Mao Zedong pada 1976.
Brian D. Taylor, profesor ilmu politik di Syracuse University, Amerika Serikat, mengatakan semua perubahan konstitusi ini jelas dirancang untuk memberi Putin banyak pilihan buat mempertahankan kontrolnya terhadap Negeri Beruang Merah. “Saya tidak yakin rencananya sepenuhnya dikerjakan dari A hingga Z,” ujarnya. “Dia mungkin hanya tahu A sampai E, pengetahuan kita sekarang di A sampai C.”
Putin adalah pemimpin Uni Soviet—kemudian menjadi Federasi Rusia—terlama setelah Joseph Stalin, yang menjabat sejak 1924 hingga kematiannya pada 1953. Alexei Navalny, pemimpin oposisi Rusia yang vokal, mengomentari pidato Putin. “Hanya orang idiot (atau penjahat) yang mengatakan Putin akan hengkang pada 2024,” ucapnya.
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, AP, VOX, GUARDIAN)
Dari Agen KGB, Lalu Presiden, Lalu Presiden
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo