Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersebab Foto di Sidang Peladang

Kantor Imigrasi Palangka Raya menahan wartawan situs media lingkungan Mongabay asal Amerika Serikat, Philip Myrer Jacobson, selama tiga hari dengan tuduhan menyalahgunakan visa. Penahanan pertama terhadap jurnalis asing dalam satu dekade terakhir.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Imigrasi Palangka Raya menahan Philip Jacobson selama tiga hari dengan tuduhan menyalahgunakan visa kunjungan.

  • Sebelum ditahan di rumah tahanan, Philip Jacobson menjadi tahanan kota selama 35 hari.

  • Meski penahanannya ditangguhkan, Philip Jacobson tetap terancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

DUA pria mengetuk kamar wartawan media lingkungan Mongabay, Philip Myrer Jacobson, di Bukit Raya Guest House, Jalan Baru Suli 5D, Palangka Raya, Selasa pagi, 17 Desember 2019. Keduanya mengaku dari Kantor Imigrasi Palangka Raya. “Mereka lalu menginterogasi dan mengambil paspornya,” kata Aryo Nugroho, pengacara Jacobson dari Lembaga Bantuan Hukum Palangka Raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum pergi, mereka meminta Jacobson datang ke Kantor Imigrasi di Jalan G. Obos, Palangka Raya, pada esok hari untuk diperiksa. Pria Amerika Serikat berusia 30 tahun itu patuh. Ia datang begitu saja ke Kantor Imigrasi pada Rabu pagi, 18 Desember 2019, tanpa pendamping. Kedua petugas yang sama kembali menginterogasinya, lalu mengetik berita acara pemeriksaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bertanya soal aktivitas Jacobson. Ia hanya memiliki visa bisnis multitrip. Visa ini lazim digunakan warga Amerika yang kerap bolak-balik mengunjungi Indonesia. Imigrasi meyakini Jacobson tak memiliki visa bekerja sebagai jurnalis. Ia dituduh menyalahgunakan visa bisnis tersebut. “Visanya melarang si pemilik bekerja,” ujar Muhammad Syukran, penyidik yang menangani kasus Jacobson, pada Kamis, 23 Januari lalu.

Imigrasi tak menahan Jacobson pada hari itu. Petugas menyilakan pria gondrong itu pulang ke penginapan. Mereka meminta Jacobson tak ke luar kota untuk memudahkan pemeriksaan. Selama menjadi “tahanan” kota, Jacobson meminta teman-temannya tak mengekspos pemeriksaannya oleh Imigrasi, terutama ke media massa. “Ia masih berharap mendapat hukuman deportasi, bukan pidana,” kata Aryo.

Jacobson hanya mengabari tim redaksi Mongabay dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Imigrasi juga memberi tahu Kedutaan Besar Amerika soal pemeriksaan Jacobson dua hari seusai pemeriksaan. Menurut Mongabay dalam pernyataannya, redaksi dan Kedutaan memilih bersikap kooperatif menghadapi kasus Jacobson.

Jacobson menjadi tahanan kota selama 35 hari. Selama itu, ia hanya berada di penginapan. Sesekali ia bertemu dengan tim LBH Palangka Raya dan sejumlah temannya. Gelagat tak sedap datang pada 9 Januari lalu. Jacobson menerima surat dari Imigrasi yang isinya menyebutkan bahwa dia diduga menyalahgunakan visa. Surat itu juga menyebutkan tak ada penahanan jika Jacobson bersikap kooperatif.

Kenyataannya, penyidik menahan Jacobson pada 21 Januari lalu meski ia sudah bersikap kooperatif. Dia dijerat dengan Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. Imigrasi “menitipkan” Jacobson di Rumah Tahanan Kelas II Palangka Raya.

Ia “menginap” di rumah tahanan selama tiga hari. Penyidik mengabulkan penangguhan penahanan pengacara Jacobson, Jumat, 24 Januari lalu. Ia menghirup udara bebas sekitar pukul 18.00. Tiga pengacaranya, Aryo, Parlin Bayu Hutabarat, dan Sukri Gazali, menjadi penjamin Jacobson. “Selama ini belum ada yang menjadi penjamin,” kata Aryo.

Meski Jacobson sudah keluar dari tahanan, Imigrasi tetap melanjutkan penyidikan kasus ini. Penyidik juga masih menahan paspor Jacobson. Sebagai penjamin, Aryo dan kedua pengacara lain memastikan Jacobson akan kooperatif selama menjalani proses penyidikan.

Sehari sebelum petugas Imigrasi mengetuk kamar penginapannya pada 17 Desember 2019, Jacobson datang ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah. Di sana ada rapat dengar pendapat dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Palangka Raya soal kriminalisasi terhadap peladang dari kalangan masyarakat adat. Jacobson bersama Yusy, wartawan Mongabay yang berbasis di Palangka Raya, ikut mendengarkan rapat itu atas undangan pengurus AMAN.

Kehadiran Jacobson ternyata menyita perhatian beberapa pihak. “Ada yang memotretnya lalu melaporkannya ke penegak hukum,” tutur Aryo. Petugas Imigrasi menunjukkan foto-foto itu saat memeriksa Jacobson. Ia tak membantah. Ia memilih bersikap kooperatif agar tak dijerat hukuman berat. Menurut Aryo, saat itu Jacobson berharap bisa segera pulang ke California, Amerika, untuk merayakan Natal bersama orang tuanya.

Jacobson sudah membeli tiket pesawat pulang ke Jakarta pada 17 Desember 2019. Ia juga sudah membeli tiket pulang ke California pada 24 Desember 2019. Tiket itu hangus karena Imigrasi melarangnya ke luar kota sebelum benar-benar menahannya.

Untuk membebaskan Jacobson, Aryo bersama AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Mongabay, dan Law Office Pakpahan-Hutabarat membentuk koalisi solidaritas. Mereka menganggap penahanan Jacobson adalah tindakan berlebihan. Jacobson, kata Aryo, sudah menggunakan visanya dengan benar. Pasal 38 Undang-Undang Keimigrasian menyebutkan visa kunjungan bisa digunakan untuk aktivitas jurnalistik.

Muhammad Syukran, penyidik kantor Imigrasi Palangkaraya./Tempo/ Karana WW

Koalisi mencurigai penangkapan Jacobson adalah respons pemerintah terhadap artikel-artikel di Mongabay. Jacobson dikenal sebagai wartawan yang menulis laporan investigasi soal kerusakan hutan dan lingkungan di Kalimantan Tengah dan wilayah lain. “Penangkapan ini adalah upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik,” ucapnya.

Penangkapan Jacobson menarik perhatian internasional. Hampir semua media Barat memberitakan penangkapan Jacobson. Sejumlah lembaga turut mengutuk penangkapan ini. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan mengatakan penangkapan Jacobson bisa memperburuk citra Indonesia di luar negeri. “Karena memperlakukan jurnalis secara keras dan berlebihan,” ujarnya.

Dalam satu dekade terakhir, Jacobson menjadi jurnalis asing pertama yang dijerat dengan Pasal 122 Undang-Undang Keimigrasian. Selama ini, Imigrasi memilih mendeportasi para jurnalis ke negara masing-masing ketimbang menjerat mereka dengan pidana. Pada 2009, misalnya, Imigrasi Pekanbaru memulangkan wartawan India dan Italia karena ketahuan meliput soal hutan tanpa menggunakan visa bekerja.

Peristiwa yang sama terjadi pada 2014 di Denpasar. Imigrasi memulangkan dua wartawan Australia karena ketahuan mewawancarai keluarga Schapelle Corby, yang ditangkap karena narkotik. Setahun berikutnya, Imigrasi Cilacap mendeportasi jurnalis asal Australia karena hanya memiliki visa kunjungan biasa saat meliput eksekusi mati bandar narkotik di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Sedangkan Imigrasi Jayapura mendeportasi enam wartawan Jepang pada 2017. Mereka ketahuan meliput soal kehidupan suku asli Papua tanpa mengantongi izin dan visa bekerja.

Penyidik Kantor Imigrasi Palangka Raya, Muhammad Syukran, mengatakan kasus yang menimpa Jacobson adalah pelanggaran keimigrasian. Ia menyebutkan penahanan itu bukan upaya kriminalisasi terhadap wartawan. “Negara ini adalah negara hukum. Ada aturan yang berlaku sebagai bentuk keberadaan sebuah negara,” ucapnya.

Dari hasil pemeriksaan, kata Syukran, Jacobson sebenarnya pernah menggunakan kartu izin tinggal terbatas untuk bekerja di salah satu media di Jakarta. Imigrasi menyayangkan Jacobson tidak menggunakan dokumen yang sama untuk bekerja sebagai wartawan Mongabay di Indonesia. “Semua yang masuk ke Indonesia harus menyesuaikan diri dengan tipe visanya,” ujarnya.

MUSTAFA SILALAHI, KARANA W.W. (PALANGKA RAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus