Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Brussel - Parlemen Eropa memberikan penghargaan Sakharov Prize untuk kategori Kebebasan Berpikir kepada tokoh cendekiawan asal Uighur, Ilham Tohti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penghargaan ini diterima oleh putrinya yaitu Jewher Ilham karena ayahnya sedang menjalani tahanan di penjara di Xinjiang, Cina, sejak 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Ilham Tohti berjuang membela hak-hak warga etnis minoritas Muslim Uighur,” begitu dilansir situs Europarl pada 18 Desember 2019.
Presiden Parlemen Eropa, David Sassoli, mengatakan,”Ilham Tohti menyuarakan aspirasi rakyat Uighur. Dia telah bekerja selama 20 tahun untuk mempromosikan dialog dan saling kesepahaman antara mereka dan rakyat Cina.”
Sassoli mengatakan pemberian penghargaan ini sebagai upaya untuk merayakan kebebasan berpikir.
“Hari ini seharusnya kita merayakan kebebasan berbicara. Namun, ini hari yang mengharukan. Kursi ini sekarang kosong. Karena di dunia kita saat ini, menggunakan hak untuk berpikir bebas tidak selalu berarti kita bebas.”
Menanggapi ini, putri Ilham, yaitu Jewher Ilham, mengatakan,”Kehormatan bagi saya menerima penghargaan Sakharov Prize atas nama ayah saya. Saya bersyukur bisa menyampaikan kisah ini karena dia tidak bisa menyampaikannya secara langsung. Sejujurnya saya tidak tahu dimana ayah saya karena terakhir kali saya dan keluarga mendapat kabar mengenai ayah saya pada 2017.”
Menurut Jewher Ilham, warga etnis minoritas Muslim Uighur tidak lagi merasakan kebebasan di Cina. “Tidak di rumah, di ruang publik dan tidak juga di sekolah,” kata dia.
Dia menyesalkan label pemerintah Cina kepada ayahnya.
“Ayah saya seperti kebanyakan warga Uighur dilabeli ekstrimis garis keras, yang penyakitnya harus disembuhkan dan otaknya dicuci,” kata dia.
Jewher Ilham mengatakan pemerintah Cina menggunakan tuduhan bohong itu sebagai alasan untuk menahan setidaknya satu juta warga Uighur di kamp penahanan.
“Dengan menggunakan label ekstrimis yang keliru ini, pemerintah menahan satu juta warga di kamp konsentrasi. Warga Uighur dipaksa meninggalkan agamanya, bahasanya, dan budaya lewat penyiksaan. Sebagian orang meninggal karena tindakan ini,” kata dia.
Secara terpisah, Direktur Institut Montreal untuk Genosida dan HAM, Kyle Matthews, mengatakan ada bocoran dokumen yang menunjukkan bahwa pemerintah Cina menggunakan kamp konsentrasi ini untuk menangani ideologi yang dianggap berbahaya.
Dokumen ini merupakan bocoran yang diperoleh konsorsium jurnalis.
“Ada tindakan terorisme tapi itu tidak bisa membenarkan tindakan menahan satu juta orang lalu melakukan pencucian otak. Itu melangar aturan HAM internasional,” kata Matthews soal penahanan warga etnis minoritas Uighur oleh pemerintah Cina.