Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cerita Perang Sepeninggal Eyang

Ancaman bentrokan besar antargeng menghantui Rusia. Diduga intelijen Rusia bermain di balik kejahatan mereka selama ini.

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA sebuah siang bersalju di hari Rabu sebulan yang lalu, restoran The Karetny Dvor di Jalan Povarskaya, Distrik Arbat, pusat Kota Moskow, tutup lebih awal. Sebuah pesan untuk mengosongkan seluruh ruangan mendarat di kuping pengelola rumah makan lewat sambungan telepon.

"Kakek Khasan ingin makan," kata seorang pria berpesan, seperti ditirukan seorang pegawai restoran kepada polisi dalam laporan kantor berita Rusia, Ria Novosti, dua pekan lalu.

Tak lama berselang, tiga sedan Mercedes hitam menepi di trotoar persis di depan restoran. Dari pintunya keluar delapan orang berbadan tegap, diikuti seorang kakek tambun berusia 75 tahun bernama ­Aslan ­Usoyan—ia biasa disapa Kakek ­Khasan. Dialah eyang mafia Rusia, dan hari itu pemilik rumah makan memberikan perlakuan istimewa kepada sang godfather.

Setelah hampir dua jam di dalam, Kakek Khasan pun selesai makan. Ditemani seorang kepala pelayan wanita, ia diantar keluar restoran kesayangan. Namun tak disangka, baru saja sebelah kakinya melangkah, Kakek Khasan ambruk. Sebuah peluru bisu menghunjam di kepalanya.

Kepanikan pun pecah, beberapa penjaga dengan sigap menyeret tubuh gendut Khasan kembali masuk ke restoran, menyelamatkannya dari serangan susulan. Dua dari lima butir peluru yang dimuntahkan senjata si penembak mengenai kaki kepala pelayan penghantar Khasan.

Setelah keadaan dinilai aman, para centeng itu melarikan Khasan ke ruang gawat darurat Rumah Sakit Botkin. Tapi sayang, baru sepuluh menit mendapat pertolongan, Kakek Khasan keburu menghela napas penghabisan. Tim medis kesulitan menghentikan perdarahannya.

"Ia dibawa dalam keadaan koma, dan kami tak bisa menyelamatkannya," ujar seorang paramedis kepada kantor berita Interfax. Malam itu, seorang bos besar mafia Rusia yang berhasil lolos dari dua kali upaya pembunuhan pada 1998 dan 2010 tersebut pergi untuk selamanya.

Tak mau kehilangan momentum, polisi kemudian menggelar penyelidikan. Beberapa jam setelah kematian Khasan, polisi menemukan tempat si penembak menarik pelatuk: sebuah jendela, dekat tangga lantai lima sebuah gedung yang bertetangga dengan restoran.

"Pelaku seorang penembak jitu profesional. Sebab, di tempatnya beraksi hanya ditemukan enam selongsong peluru 9 milimeter yang dimuntahkan dari senapan serbu khas pasukan khusus Rusia, AS Val, berperedam suara dan percikan api," kata Komisi Investigasi Rusia kepada wartawan sehari setelah penembakan, seperti dikutip situs berita rt.com.

Komisi juga berkesimpulan, pembunuhan itu sudah lama direncanakan. Sebab, dua hari sebelum kejadian, berdasarkan kesaksian dua penyewa ruang di gedung seberang, ada telepon masuk dan memaksa mereka menjual ruang kantor mereka yang persis berhadap-hadapan dengan restoran. Berdasarkan penciuman anjing pelacak, menurut komisi itu, pelaku berlari setelah menembak dari jarak 100 meter, lalu dijemput sebuah mobil.

"Tapi mereka sengaja meninggalkan beberapa sidik jari pada kaca, diduga berharap dikenali identitasnya," begitu rilis temuan komisi. Kesimpulan awal, penembak adalah kelompok kriminal yang berseberangan dengan Kakek Khasan.

Sebagai bos besar geng Vor V Zakone, lelaki kelahiran Tbilisi, Georgia, yang berasal dari etnis Kurdi ini mempunyai banyak lawan. Karier kejahatannya yang dimulai sejak 1960 di penjara Georgia membuat ­Khasan sang penguasa geng tak pernah lepas dari ancaman. Beberapa perang antargeng pernah ia dalangi. Pada 1996, Khasan pernah ditangkap atas tuduhan membunuh gembong pesaingnya, Amioran Pyatigorsky. Kemudian pada 1998, selepas dari penjara, ia juga berupaya menghabisi rivalnya yang lain, Rudik, pemimpin geng Armenia, penguasa jaringan hitam narkotik Rusia.

"Saat itu, upayanya gagal dan malah berbalik mengancam dirinya, tapi ia berhasil selamat," kata Maxim Gladki, seorang jurnalis lepas Rusia yang mengkhususkan diri pada peliputan gangster.

Kini, sepeninggal Khasan, perang antargeng bakal semakin nyata, ujar Gladki. Kematiannya seolah-olah membangkitkan persaingan terbuka antargerombolan kejahatan di Rusia. Sebab, kursi kepemimpinan kakek yang diduga ikut memasok senjata ke pemberontak Kurdi di Turki ini sangatlah menggiurkan. Proyek konstruksi, seperti megaproyek pembangunan fasilitas untuk Olimpiade Musim Dingin 2014 yang dipegangnya, kini siap menjadi pemicu pertempuran. Belum lagi keuntungan dari perjudian, perdagangan narkotik, senjata ilegal, dan pencurian sumber daya mineral.

 "Dia menguasai wilayah dari Pegunungan Kaukasus, wilayah Ural, hingga Rusia tengah, dengan segudang aset. Bayangkan saja, proyeknya membangun fasilitas Olimpiade bernilai US$ 10 miliar," katanya.

Dua hari setelah kematian Khasan, teror mulai terasa. Sergei Fillin, Direktur Teater Bolshoi, gedung pergelaran balet bersejarah yang jadi lambang Rusia, dilempar cairan asam sulfat oleh pria bertopeng hingga wajahnya rusak. E-mail-nya diretas, ban mobilnya disayat, dan jaringan telepon selulernya dikacaukan. Insiden ini diduga polisi sebagai aksi balas dendam dari kelompok Khasan. Sebab, disinyalir Fillin dekat dengan musuh Vor V Zakone, Tariel Oniani—seorang kepala mafia "Kutaisi" di Rusia yang sejak 2010 menjalankan kerajaannya dari balik terali besi.

"Oniani adalah orang yang paling pantas dituduh berdiri di balik pembunuhan Khasan. Sebab, perseteruan mereka merentang panjang," ujar Gladki.

Di tempat lain, tepatnya di Sukhumi, Republik Abkhazia—negara pecahan Rusia di bawah otoritas Georgia—seorang lawan Khasan bernama Astamir Gulia juga ditembak setelah menuntaskan makan malamnya. Sepekan kemudian, Rufat Nasibov diberondong peluru di pintu apartemennya. "Mereka adalah rival Khasan yang juga pantas dicurigai," kata Gladki.

Cerita perang bakal berlanjut, menurut analisis profesor kriminologi University New York, Mark Galeotti, kepada Moscow Times. Indikasi kuat terlihat saat polisi menggelandang dua lusin petinggi Vor V Zakone di sebuah restoran elite di Moskow. Mereka tampak sedang merencanakan sesuatu, "Kemungkinan besar operasi balas dendam besar-besaran, atau berencana mengkudeta gengnya sendiri yang menguasai hampir sepertiga pasokan heroin dari Afganistan selama ini," katanya.

Bagi Galeotti, cerita tentang mafia Rusia seperti dongeng. Berdasarkan penelitiannya yang dikuatkan reportase dari Gladki, kelompok-kelompok kriminal sebenarnya dipelihara negara. Sebab, banyak dari pentolannya berasal dari akar yang sama, yakni yatim piatu alumnus sekolah Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti—yang dikenal dengan singkatan KGB, sebuah badan keamanan bentukan Uni Soviet yang sering melancarkan operasi intelijen. Bukti nyata dari itu semua adalah begitu dekatnya mereka dengan para pejabat, dari jaksa, polisi, hakim, hingga beberapa pejabat di Kremlin. Saking dekatnya mereka, banyak proyek pemerintah yang dipegang mafia.

"Mereka dimanfaatkan untuk membuat onar agar pemerintah bisa cuci tangan dalam kegiatan bawah tangan," ujarnya.

Dalam bocoran kabel di situs WikiLeaks, seorang hakim Spanyol yang sebelas tahun memperdalam studi tentang kejahatan­ mafia Rusia mengatakan kepada diplomat Amerika Serikat bahwa ia menganggap Rusia sebagai "negara mafia". Orang tidak lagi bisa membedakan­ kegiatan pemerintah dan kegiatan mafia.

"Buktinya saat kasus pembunuhan seorang jurnalis oposisi, Anna Politkovskaya, oleh seorang anggota mafia yang di persidangannya ia mengaku bekerja untuk intelijen negara," katanya.

Perang sepeninggal Khasan dalam kacamata Galeotti bukan perang antargeng. Kondisi yang terjadi saat ini, menurut dia, adalah episode ayah yang akhirnya membunuh anak-anaknya. Perlindungan atas para bandit mulai dilonggarkan. Apakah negara membiarkan mereka berperang atau justru melancarkan operasi intelijen, seperti yang menimpa Kakek Khasan, tak semua orang tahu. Namun, kesimpulannya, pemerintah Rusia di bawah kendali Vladimir Putin yang merupakan bekas agen KGB mungkin tak ingin lagi bekerja sama dengan mafia.

"Sebab, negara sudah tak lagi membutuhkan jasa mereka," ujarnya.

Sandy Indra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus