Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Didik Siswantoyo kini kebanjiran pesan di media sosial usai tagar kabur aja dulu menjadi viral. Banyak warga Indonesia yang bertanya kepadanya seputar lowongan kerja atau beasiswa di Swiss. "Saya mengerti kalau sekarang ini banyak orang Indonesia yang ingin pindah ke luar negeri," ujar Didik saat dihubungi Tempo melalui sambungan telepon pada Selasa, 25 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria asal Surabaya, Jawa Timur ini adalah lulusan University of Applied Sciences Northwestern Switzerland. Setelah lulus kuliah pada 2016, Didik sempat kembali ke Indonesia setelah merampungkan pendidikannya di Basel. "Apa yang saya dapatkan di Indonesia tidak memadai," kata Didik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma soal gaji yang rendah, perusahaan tempatnya bekerja kurang mengapresiasi pendidikannya. "Saya tidak bisa secara optimal menerapkan ilmu yang saya dapatkan di Swiss untuk perusahaan Indonesia,“ ujar Didik.
Didik sempat mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan perbankan di Surabaya dan Jakarta. Dia juga bekerja sebagai dosen di sebuah universitas di Surabaya. "Setelah setahun di Indonesia, begitu ada kesempatan untuk ke Swiss, saya langsung kembali ke sini," katanya.
Kini Didik bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang membantu perekonomian rakyat kecil di tanah air. Ia juga mendirikan perusahaan kecil di Jenewa, Swiss barat.
"Saya heran jika yang berangkat keluar negeri itu disebut tidak nasionalis. Di mana saja kami berada, cinta tanah air tetap terjaga,“ katanya. Didik mengatakan jika ada kesempatan bekerja di luar negeri, jangan ditunda. "Peluang semacam itu harus diambil," katanya.
Didik Siswantoyo kini tinggal di Jenewa. Setahun sekali ia pulang ke Indonesia sambil membawa rombongan pemain badminton dari Jenewa. "Saya membawa rombongan pemain badminton dari Jenewa ke Bali bersama pelatih badminton asal Indonesia, mengenalkan Indonesia ke orang Swiss. Itu lah salah satu bentuk nasionalisme saya," katanya.
Swiss merupakan salah satu negara yang menjadi incaran banyak orang. Pajak penghasilan rata rata di Swiss sebesar 10 persen, lebih rendah dibandingkan Jerman 35 persen. Cuti juga bisa sampai enam minggu di Swiss. Sementara itu, tingkat kualitas hidup masuk lima besar teratas di dunia.
Kisah serupa diungkapkan Yeshinta Watratan. Perempuan asal Malang, Jawa Timur ini kabur aja dulu ke Zurich, Swiss, karena menikah dengan pria setempat.
Yeshinta datang ke Swiss pada 2014. Perempuan asal Papua ini harus memulai dari nol. "Setelah belajar bahasa Jerman, saya mulai sekolah keperawatan," katanya.
Yeshinta mengaku puas dengan sistem yang ada di Swiss. "Puas sekali, pendidikan sekolah keperawatan dibayar Pemda Zurich, dan saya juga dapat gaji selama sekolah,"katanya.
Begitu lulus dari sekolah keperawatan Zentrum für Ausbildung Gesundheitwessen (ZAG) Winterthur, Yeshinta juga langsung mendapatkan pekerjaan. "Semua pintu terbuka, di mana saya ingin bekerja, di situ saya bisa diterima," katanya.
Gaji dan fasilitas lainnya juga jauh lebih baik dari kehidupan seorang tenaga kesehatan di Tanah Air. Wanita berusia 43 tahun ini tidak menyesal meninggalkan Indonesia. "Kalau ada peluang keluar negeri, segera ambil. Ini tidak ada hubungannya dengan nasionalisme atau bukan," katanya.