BILL Clinton, apa yang akan kaulakukan? Clinton yang muda, yang gemar bersaksofon, yang pro-aborsi, yang menjanjikan beasiswa untuk mahasiswa inilah yang diproyeksikan oleh berbagai pemungutan pendapat bakal menjadi presiden Amerika Serikat mulai Januari mendatang. Tapi bukan soal saksofon dan aborsi bila dunia, setidaknya dunia ketiga, begitu berjaga-jaga bila calon dari Partai Demokrat ini benar-benar berkantor di Gedung Putih. Melainkan, politik Amerika Serikat yang akan berubah, sesuai dengan "ideologi" Partai Demokrat, partai yang sudah 16 tahun belakangan ini kalah terus dalam pemilihan presiden. "Banyak pihak di Asia Pasifik yang khawatir bila Clinton menang," kata Clara Yuwono, direktur Center for Strategic & International Studies (CSIS), Indonesia, yang juga pakar politik Amerika itu. Masalahnya sederhana: Partai Demokrat mempunyai reputasi pro-buruh (baca proteksi), cerewet dalam soal hak asasi manusia, dan kurang suka memikul beban keamanan dunia internasional. Bagi negara-negara di Asia Pasifik, yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, semua ini pertanda buruk. Maklum, kestabilan perdamaian di kawasan ini boleh dikata bergantung pada kekuatan militer AS. Selain itu, lokomotif pertumbuhan ekonomi kawasan ini adalah ekspor, dan pasar ekspor terbesar adalah Amerika Serikat. Sementara itu, di mata warga Amerika Serikat yang umumnya keturunan Eropa itu demokrasi di Asia Pasifik masih terlihat terseok-seok. Keadaan hak asasi manusia dianggap mengenaskan, dan impor dari Asia Pasifik terlihat sebagai salah satu faktor penyebab tekornya neraca perdagangan negara yang sedang lesu ekonominya itu. Tapi beralasankah kekhawatiran ini? Smita Notosusanto, pengajar hubungan internasional di Universitas Indonesia, menganggapnya berlebihan. "Saya kira begitu masuk Gedung Putih, sikap Clinton dalam kebijaksanaan luar negerinya tak akan jauh berbeda dengan Bush," kata pakar Amerika yang pernah magang di Kongres AS ini. Upaya Clinton pertama-tama begitu duduk di Ruang Oval di Gedung Putih, tampaknya mewujudkan yang kini populer disebut Clintonomics alias konsep-konsep ekonomi Bill Clinton yang dijualnya lewat kampanye pemilihan presidennya. "Amerika harus memulihkan kekuatan ekonominya sebelum dapat memainkan peran internasional yang semestinya," kata kandidat Partai Demokrat ini di depan Dewan Permasalahan Dunia di Los Angeles Agustus lalu. Clinton menganggap Presiden Bush terlalu asyik mengurus dunia dan menelantarkan persoalan domestik. Selain itu Clinton ingin memangkas belanja pertahanan. Antara lain dengan mengurangi kekuatan pasukan AS di Eropa -- dari 150 ribu menjadi 100 ribu saja. Alumni Universitas Yale ini menginginkan agar AS lebih mengandalkan PBB dalam menjaga perdamaian dunia. "Jika PBB macet, kami akan berupaya membentuk koalisi di luar itu. Kalau ini masih macet juga, baru kami menyelesaikannya sendiri," katanya. Ia juga menginginkan agar mitra AS lebih banyak memikul biaya kerja sama militer. Misalnya, ikut membiayai penempatan pasukan AS di Jepang maupun di Korea. Adapun terhadap Cina, Clinton tampaknya akan mengambil sikap yang agak konfrontatif dibandingkan dengan Bush. "Kami akan mengaitkan kemudahan dagang dengan persoalan hak asasi manusia dan kebijaksanaan perdagangan senjatanya," katanya. Clinton ingin membina hubungan dengan generasi muda Cina yang berjiwa pembaharu. Itu tentu sangat berbeda dengan politik Bush yang membina hubungan baik dengan para dedengkot RRC dengan harapan dapat mempererat kaitan ekonomi Cina dengan ekonomi internasional. Kemajuan ekonomi diharapkan akan melahirkan kelas menengah independen yang merupakan pondasi demokrasi. Itu tujuan Bush. Clinton menginginkan jalan pintas. Ia ingin mengirim juru dakwah demokrasi ke seluruh penjuru dunia agar negara-negara lain di dunia menjalankan juga demokrasi. Ini terdengar jumawa, memang, tapi alasan Clinton masuk akal juga. Katanya, "Sejarah membuktikan, antara dua negara demokratis tak pernah terjadi perang atau saling menukar teroris." Itulah kebijakan Partai Demokrat yang gemar memperkuat institusi nonpemerintah, seperti media massa maupun organisasi swadaya masyarakat sebagai jurus mempromosikan demokrasi. Di mata para tokoh Partai Demokrat, Amerika selama ini, "Agak pilih kasih dalam memperjuangkan demokrasi," kata Lee Hamilton, anggota Kongres asal Indiana yang dikabarkan merupakan salah satu kandidat menteri luar negeri di bawah pemerintahan Clinton. "Kami telah menekan negara-negara komunis untuk menjadi lebih demokratis, tapi di negara-negara yang dianggap strategis, seperti Arab Saudi, Kuwait, RRC, Turki, dan Indonesia, lolos dari tekanan untuk lebih demokratis dan menghargai hak asasi manusia," kata anggota Kongres yang menangani masalah luar negeri ini. "Permasalahan sekarang bukan lagi ekspansi komunisme atau mengamankan perang nuklir, melainkan daya saing ekonomi, penyebaran senjata pemusnah, dukungan terhadap demokrasi, perlindungan lingkungan hidup, dan perang terhadap kepapaan," tambahnya. Tapi semua ini tampaknya hanya akan dilakukan setelah konsolidasi ke dalam, terutama di bidang ekonomi, selesai dikerjakan. "Ekonomi tak dapat lagi berdiri di belakang kepentingan keamanan dalam kebijakan pemerintah kami," kata Lee Hamilton pula. Itulah sebabnya Clinton menginginkan pemerintah turut campur dalam beberapa kegiatan ekonomi. Antara lain dengan membuat kebijakan di bidang industri, seperti yang dilakukan Jepang atau negara-negara Eropa. Clinton ingin pemerintah memindahkan riset pengembangan teknologi militer ke teknologi komersial. Misalnya saja, membiayai riset pesawat terbang "Osprey" yang dapat tinggal landas dan mendarat seperti helikopter tapi terbangnya seperti pesawat biasa. Dalam perdagangan internasional pun, Partai Demokrat lebih menekankan pada sistem perdagangan yang adil (fair trade) daripada "perdagangan bebas" (free trade). Artinya, pemerintah AS hanya akan membuka pasarnya kepada negara yang juga membuka pasarnya kepada produk buatan Amerika. "Rakyat Amerika tak suka kebijakan proteksionisme, tapi mereka menginginkan sistem perdagangan yang adil dari mitranya," ini masih kata Lee Hamilton. Dengan kata lain, pemerintahan di bawah Clinton akan lebih ringan tangan menggunakan senjata Undang-Undang Perdagangan yang dikenal dengan nama Super 301. Yakni melakukan tindakan balasan terhadap negara mitra dagangnya yang dianggap melakukan persaingan tidak fair. Antara lain dengan mencabut keringanan pajak masuk, memberikan pajak masuk hukuman alias denda, atau mungkin malah sekalian melarang masuknya produk negara itu ke pasar Amerika. Definisi tentang "melakukan perdagangan tidak fair" itu tak hanya menyangkut diskriminasi tarif saja. Partai Demokrat memiliki kecenderungan untuk mengaitkan akses ke pasarnya dengan keadaan buruh di negara mitra dagangnya, juga dengan kondisi hak asasi manusia. Bahkan Yayasan Riset, Pendidikan, dan Hak-hak Buruh Internasional, sebuah organisasi pembela buruh yang didirikan oleh menteri perburuhan di zaman Presiden Carter, Ray Marshall, kini sedang melobi agar negara yang tidak mempunyai hak buruh setara hak buruh AS dicabut keringanan pajak masuk impornya. Indonesia termasuk negara yang terus disorot oleh organisasi ini. Besar kemungkinan upaya Marshall berhasil bila Clinton yang duduk di Gedung Putih. Celakanya, mitra dagang AS umumnya memang tak punya posisi berimbang untuk menghadapi negara superkuat ini. Maklum, ekonomi AS yang besarnya hampir 6 trilyun dolar itu boleh dibilang tak banyak bergantung pada perdagangan luar negeri. Hanya sekitar sepuluh persen produk AS yang diekspor ke pasar internasional. Indonesia pun sudah beberapa kali merasakan gigitan Super 301 ini. Antara lain ketika terpaksa membuka pasar film impor dari AS demi mempertahankan pasar tekstil di AS. Yang juga mencemaskan banyak mitra dagang AS lainnya, terutama di negara berkembang, adalah kemungkinan pengaitan akses ke pasar AS dengan lingkungan hidup. Ini dapat dimaklumi mengingat calon wakil presiden dari Partai Demokrat adalah Senator Al Gore. Tokoh ini dikenal sebagai pendekar lingkungan hidup. Kalau di zaman Presiden Bush yang bukan pendekar lingkungan itu saja tekanan ini sudah ada, bayangkan bagaimana kuatnya tekanan ini di bawah pemerintahan Clinton & Al Gore. Belum lagi soal hak asasi manusia. Di Kongres, misalnya, mulai muncul usulan beberapa anggota Partai Demokrat agar wakil AS di Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional menolak memberikan bantuan atau pinjaman kepada negara yang mengabaikan hak asasi manusia ataupun soal lingkungan. Dan, kendati ekonomi menjadi satu-satunya asas anggaran dasar kedua organisasi itu, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, soal ini tampaknya sulit dibendung. "Donor kami mendapatkan dananya dari para pembayar pajak, karena itu kami memaklumi jika mereka harus meneruskan keinginan para wakil rakyatnya," kata L. Preston, Presiden Bank Dunia. Ini memang berlainan betul dengan prinsip Presiden Bush dari Partai Republik itu. Bagi Bush, bukanlah kebetulan bahwa demokrasi tumbuh di kala kelas menengah yang independen menjadi kelompok kuat di sebuah negara. Karena itu bisa dimengerti jika Bush selalu membela RRC setiap kali Kongres menekan untuk mencabut kemudahan dagangnya dengan AS. Jadi kemenangan Clinton akan menjadi lampu merah untuk RRC? "Belum tentu," kata Smita Notosusanto. Pengajar studi Amerika ini melihat sosok Clinton sebagai anggota Partai Demokrat dari unsur moderat alias sayap konservatif. "Saya tak melihat banyak perbedaan antara Clinton dan Bush dalam kebijakan luar negerinya," kata Smita. Apalagi ia melihat Clinton akan mengonsentrasikan diri pada pemulihan ekonomi dalam negeri, "Soal bantuan luar negeri tak akan dapat banyak perhatian," tambahnya. Tapi benarkah Clinton hanya akan memperhatikan soal ekonomi? Lihat saja bagaimana orang yang lahir tanggal 19 Agustus 1946 ini menjadi gubernur Arkansas. Ia bekerja bagaikan angin puting beliung. Semua hal diurusnya: dari pendidikan sampai soal energi, dari pembangunan ekonomi sampai soal generasi muda. Dan sekelompok orang muda brewokan siap menyusun petunjuk pelaksanaan untuk mewujudkan semua program-program Clinton itu. Dan suatu ketika ia menaikkan pajak untuk membiayai pembangunan jalan. Dan kemudian ia terlempar dari kantor gubernur karena menangnya seorang calon dari Partai Republik. Sekitar setahun setelah tertendang itu Clinton muncul di televisi untuk minta maaf kepada masyarakat Arkansas bahwa ia kurang bisa bertahan. Lalu ia memohon supaya lain kali diberi kesempatan lagi. Maka tahun 1982 Clinton memenangkan pemilihan gubernur Arkansas. Sekali lagi ia duduk sebagai orang nomor satu di negara bagian yang tak begitu kaya itu. Sejak itu ia bertahan sampai pemilihan presiden kali ini. Kabarnya ia mencalonkan diri sebagai kandidat, karena ia suka menjadi "puting beliung" itu. Ia suka mengikuti hal yang menegangkan, betapapun riskannya itu. Ia yakin bisa mendaki ke atas karena ia datang dari bawah. Agak berbau kecap kampanye memang, kata-katanya kepada wartawan New York Times Magazine itu. Orang Arkansas melihat Bill Clinton sebagai perpaduan antara gubernur yang punya banyak gagasan orisinil dan seorang yang tak sepenuhnya memenuhi janjinya. Ide Clintonlah untuk memajukan pendidikan lewat program tes kecakapan guru secara nasional. Tapi ia pun dikritik dalam hal perpajakan dan lingkungan hidup sebagai jauh pelaksanaan dibandingkan dengan omongannya. Tapi kebijaksanaannya yang menyangkut pribadi dan pekerjaan tampaknya patut dipuji. Di tahun 1984 polisi mencurigai adik tirinya, Roger Clinton, berdagang obat bius. Tanpa ragu, Gubernur Clinton memasang jebakan agar si adik tertangkap. Selama sekitar enam bulan Clinton dan Hillary menunggu penangkapan itu sambil membaca segala informasi tentang penyalahgunaan obat bius. Itulah saat-saat penting buat dua bersaudara Clinton itu, meski bersaudara tiri. Seluruh keluarga, termasuk ibu Clinton dan Hillary, mengadakan konsultasi dan pembicaraan sampai mengungkapkan luka-luka lama. Bagaimana Clinton di awal usia belasan tahun menentang ayah tirinya, bapak Roger. Suatu malam si ayah menembakkan senjata. Segera Clinton menyelamatkan ibu dan adik tirinya, ya, Roger itu. Ia berkata lantang kepada si bapak tiri, bila hendak menggangggu ibu atau adiknya, ia harus mengalahkannya terlebih dulu. "Saya menjadi orang berusia 40 tahun sewaktu masih 14 tahun," kenangnya suatu waktu. Dan ketika ayahnya menjelang meninggal, kala itu Clinton sudah 20-an tahun, mereka berdua sempat berdoa bersama di sebuah gereja. Sejak itu, sejak insiden di malam hari, Clinton dan ayahnya seperti tak saling mengenal, mereka bisa saling memahami. Begitu pula yang terjadi dengan kasus Roger Clinton ini. Begitu mengetahui tipu muslihat abang tirinya, Roger marah besar. Tapi akhirnya ia bisa mengerti, lalu malah berterima kasih bahwa Clinton menyelamatkan hidupnya. Di pihak Clinton muncul pula kesadaran bahwa selama ini ia mengabaikan orang-orang di dekatnya. Ia pontang-panting hanya untuk mengurus program-programnya yang macam-macam itu. Sejak itu ia belajar untuk "hidup seimbang". Tapi tanyakanlah kepada orang-orang dalam kelompok kampanyenya kini. Atau tanyakanlah kepada Hillary Clinton yang selalu mendampingi dan membantunya. Jawabnya sama: Bill Clinton masih yang dulu juga, yang ambisinya tak terbendung. Itulah yang membuatnya berbeda dengan Michael Dukakis, calon presiden dari Partai Demokrat yang bertanding melawan George Bush pada tahun 1988, dan kalah. Di saat-saat terakhir Dukakis menurunkan intensitas kampanyenya, dan orang pun banyak yang lari darinya, meski semula berdasarkan pol ia di atas. Clinton justru dengan suara yang makin serak dan wajah loyo masih terus menjual program-programnya sampai akhir pekan lalu. Hasil pol-pol terakhir kala itu, yang sampai membuat jaraknya dengan Bush dari belasan tinggal satu, tampaknya justru bermakna. Itu menjadikan ia memacu kudanya lebih kencang. Tapi itulah Clinton, orang yang suka menghadapi sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Presiden macam inikah yang diperlukan oleh Amerika kini? Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini