POLITIK ADA satu faktor penting yang menyebabkan Partai Demokratik Liberal tak berhasil meraih suara mayoritas, yakni kekurangan dana politik. Menurut pengakuan Yoshiro Mori, manajer kampanye partai itu, sumbangan dana politik yang berhasil dihimpun kubunya hanya separuh dari dana pemilu tiga tahun lalu. Meski Mori tak menjelaskan berapa besar dana politik yang ditargetkannya kali ini, jelas itu disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang tak mau menyumbang. Hasil pengumpulan pendapat Nihon Keizai Shimbun yang dilakukan terhadap 72 perusahaan menyebutkan, lebih dari separuh di antaranya tak lagi bersedia memberikan sumbangan dalam pemilu ini, sedangkan 22% menilai bahwa pemberian sumbangan politik adalah perbuatan ilegal. Sejumlah bank yang telah memberikan pinjaman dana sebesar US$ 230 juta kepada partai yang merosot popularitasnya ini, dikabarkan, menolak memberikan tambahan pinjaman 10 miliar yen. Sementara itu, sejumlah perusahaan secara terbuka mengeluh di media massa bahwa pemerintah terlalu memaksa minta sumbangan. Di antaranya adalah 30 perusahaan konstruksi yang dipaksa memberikan sumbangan dana sebesar 100 juta yen oleh Kementerian Pembangunan dan Konstruksi Jepang. Mereka juga menuntut agar Departemen Keuangan membeberkan nama-nama bank yang memberikan sumbangan politik. Akibatnya bisa diduga. Kelompok pendukung tradisional, misalnya kelompok wanita, asosiasi perdagangan, dan kelompok lokal lainnya, tak lagi mendukung para calon Partai Demokratik Liberal gara-gara tak memperoleh semacam santunan politik. Peristiwa yang belum pernah terjadi ini menandai bertiupnya angin perubahan bagi politik Jepang. Para pengusaha tak lagi segan menentang kebijaksanaan ''sumbangan dana politik'' yang dijalankan Partai Demokratik Liberal. Malah, sejumlah pengusaha ternama Jepang secara terbuka berani menentang dominasi politiknya, yang berlangsung sejak 1955. ''Sistem pemerintahan dua partai sudah waktunya dijalankan,'' kata Takeshi Nagano, Presiden Federasi Para Majikan Jepang. ''Meski bakal terjadi konflik dan kebingungan pada awalnya,'' ujarnya melanjutkan, Senin pekan ini. Dan perubahan itu, tentu saja, tak terlepas dari krisis politik akibat serangkaian skandal yang dilakukan para pejabat pemerintahan (orang-orang Partai Demokratik Liberal). Praktek kotor yang mulai terungkap dengan terbongkarnya Skandal Lockheed, 1974, disusul oleh skandal-skandal lain, yang membuat rakyat Jepang tak punya pilihan lain kecuali menuntut adanya perubahan sistem politik. Karena itulah, tak mustahil bila rancangan undang-undang reformasi politik yang pernah diusulkan Kaifu, dan ditolak, kini bisa diterima kalangan Partai Demokratik Liberal maupun oposisi. Etika politik bisa ditegakkan kembali, dengan dihapuskannya sumbangan dana politik yang menjadi sumber korupsi. Lantas, sistem pemilu diperbaiki: satu partai hanya bisa mencalonkan satu kandidatnya dari satu distrik pemilihan, sehingga mencegah pembengkakan dana pemilu. Namun, banyak yang pesimistis perubahan politik seperti itu dapat berlangsung dalam waktu dekat. Sebab, kata Yasunori Sone, profesor ilmu politik dari Universitas Keio, ''Rakyat Jepang tak bisa menerima sebuah perubahan yang radikal.'' Buktinya, meski Partai Demokratik Liberal tak meraih suara mayoritas, perolehan suaranya (223 kursi) masih unggul dibandingkan dengan partai oposisi. Artinya, banyak yang memilih partai oposisi semata-mata agar Partai Demokratik Liberal, yang dinilai korup, tak lagi berkuasa dan, ''Bukan tertarik oleh program politik atau ekonomi kubu oposisi, yang sulit dimengerti karena tak jelas,'' kata seorang pengamat lain. Terlepas dari semua itu, tak disangkal lagi, angin reformasi politik bertiup kencang di Nagatacho atau pusat pemerintahan Jepang, serta di seluruh sudut Negeri Sakura. Jepang ternyata mengalami pula perubahan politik yang melanda Eropa Timur, AS, serta belahan bumi lainnya, sejak awal 1990-an. Dan lunturnya dominasi satu partai di Jepang itu pun menjadi perhatian negara Asia Tenggara umumnya. Sebab, seperti yang disebutkan Lee Poh- Ping, profesor yang mengajar politik internasional di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, ''Pemerintahan satu partai di Jepang itu dipakai sebagian besar negara Asia karena dinilai berhasil mewujudkan stabilitas politik dan meningkatkan kehi- dupan ekonomi.'' Persoalannya kini, apakah negeri-negeri Asia, termasuk Asia Tenggara, mau meniru perubahan politik seperti yang terjadi di Jepang itu. Samuel P. Huntington, profesor ilmu pemerintahan dari Harvard University, AS, menjelaskan, ''Pemindahan kekuasaan dari tangan satu partai ke partai lainnya tak pernah terjadi di negara-negara Asia Tenggara secara mulus.'' EKONOMI Kaya tapi tak bahagia. Begitulah perasaan orang Jepang sekarang. Pangan dan pakaian memang cukup, bahkan berlebih. Tapi, harga rumah mahal bisa lima kali total pendapatan setahun. Lokasi Imperial Hotel di Tokyo, misalnya, setara dengan harga lahan Kota California. Mereka juga sudah bosan dengan lebih dari 44 jam kerja seminggu, dan berdesakan tiga jam tiap hari dalam trem cepat. Harga barang sehari-hari tinggi. Begitu juga pajak. Dalam dua setengah tahun terakhir, gemerlap ekonomi Jepang mulai memudar. Hampir tiap hari ada perusahaan yang mengumumkan penurunan keuntungan, termasuk Toyota Motor Corp. yang terhitung konglomerat teratas. Bahkan, kini sudah 1,1 juta pekerja yang diberhentikan. Kegiatan produksi juga menurun karena ekspor barang berkurang. Selain itu, tenaga kerja makin sulit. Pemuda Jepang kini menolak pekerjaan yang berat, kotor, dan berbahaya. Akibatnya, kegiatan investasi terus menurun. Itulah potret ekonomi Jepang hari ini sebagai hasil pemerintahan Partai Demokratik Liberal sejak tahun 1955. Perdana Menteri Miyazawa bukannya tak tahu. Maka, ia merancang program lima tahunan yang dinamakan ''membagi kualitas hidup yang lebih baik di seluruh dunia''. Targetnya adalah mengatur surplus perdagangan, menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi sampai 3,5% per tahun, sambil menyediakan US$ 11 triliun untuk bantuan luar negeri. Miyazawa pun menurunkan suku bunga bank, tinggal 4,5% setahun tapi sejauh ini belum memperlihatkan hasil. Memang sekarang ini kebijaksanaan ekonomi Partai Demokratik Liberal kurang populer. Padahal, selama 38 tahun memerintah, partai ini berhasil mengubah Jepang dari puing reruntuhan Perang Dunia II menjadi negeri superkuat yang sejajar dengan AS. Modal Jepang membangun adalah keuntungan menyuplai logistik AS yang waktu itu berperang di Korea. Selain itu, landreform berikut insentif harga padi yang tinggi berhasil menyejahterakan petani. Banyak petani menjadi makmur, dan pendidikan makin maju. Pada pemerintahan Partai Demokratik Li- beral di bawah Sato Eisaku, perdana menteri terlama (19641972), kondisi itu ditambah dengan harga minyak yang murah. Ini dimanfaatkan untuk memacu industri. Puncak sukses adalah pada masa Yashuhiro Nakasone (19821987). Sebelum dia naik menjadi perdana menteri, Jepang dalam kondisi krisis ekonomi yang m+emburuk. Secara berani, Nakasone, de ngan program ''Tiga Reformasi'', mempra karsai pengurangan wewenang birokrasi dengan menempatkan orangnya ke kemen terian. Ia pun mengadakan beraneka reformasi, seperti reformasi pendidikan serta refor masi adminstrasi dan manajemen pemerin tah, serta menswastakan perusahaan pe merintah (perusahaan telepon dan kereta api). Juga, kebijaksanaan perpajakan dan anggaran belanja negara diubahnya. Ke luar, Nakasone merintis hubungan sendiri, yang selama ini biasanya dikenda likan kementerian luar negeri. Hubungan nya akrab dengan Ronald Reagan, sehingga dikenal: Ron-Yasu-diplomacy. Dampaknya, Nakasone berhasil memperluas rentang bis nis Jepang di Amerika dan Eropa Barat. Pada masa Nakasone, kementerian perda gangan internasional dan industri lebih di namis menerobos pasaran ekspor dengan membuat bermacam-macam peraturan ba ru. Investasi Jepang ke AS dan Eropa Barat melonjak. Hasilnya luar biasa. Tingkat pertumbuh an ekonomi per tahun rata-rata 10%. Je pang, yang tak terlibat dengan konflik sen jata internasional, bisa membangun nege rinya dengan tenang. Di AS dan Eropa, kon sumen ternyata lebih suka sedan, komputer, kamera, jam tangan, dan kapal buatan Je pang. Sementara itu, di dalam negeri, orang Jepang tak mau membeli barang impor meskipun harganya lebih murah. Jepang surplus besar, sedangkan AS dan Eropa se lalu menderita defisit perdagangan, sampai sekarang. Tahun 1986, defisit AS mencapai US$ 50 miliar. Warisan Partai Demokratik Liberal yang terpenting adalah kemampuan melepaskan diri dari resesi karena kenaikan harga mi nyak pada tahun 1973 dan 1980-an. Dam pak resesi minyak hanya terasa dalam se tahun, tahun 1974, yang menyebabkan eko nomi Jepang anjlok sampai minus 1,2%. Si kap hati-hati ini gaya Partai Demokratik Liberal yang konservatif ternyata menye lamatkan rakyat Jepang, yang akhirnya bisa keluar dari masa-masa sulit itu. Kini, seusai Perang Dingin, posisi Jepang makin mengedepan. Di PBB, Jepang tercatat sebagai donatur ter besar untuk Asia dan Timur Tengah. Juga, mampu memberikan pinjaman kepada Rusia. Dengan beban sebesar itu, Jepang masih juga diminta me ngerem ekonominya untuk menyehat kan industri di negara lain. Ekonomi Jepang tak lepas dari ke bijaksanaan Partai Demokratik Libe ral sebagai tonggaknya, memang. Dan sejumlah harapan selama ini, tampaknya, belum sempat dipenuhi oleh Partai Demokratik Liberal. Yakni, penurunan pajak pendapatan. Lalu, jaminan masa kerja, soal sistem senioritas dalam gaji dan promosi, kerja sama antara pemerintah dan ka langan usaha, serta sistem pemilikan silang antarperusahaan. Disarankan, tingkat pertumbuhan pendapatan na sional cukup 2%. Usul ini untuk membuat kebijaksanaan ekonomi Je pang tak terlalu berorientasi ekspor. Sempatkah Partai Demokratik Liberal memenuhi tuntutan tersebut? Itu akan ditentukan awal Agustus nanti: siapa perdana menteri baru. DP dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini