SEKITAR 330.000 buruh sebuah pabrik baja bakal menganggur. China National Nonferrous Metals Industry Corp. (CNNC), pabrik itu, sebuah BUMN yang kini mempekerjakan 1.010.000 buruh, memang memikul beban terlalu berat. ''Kelebihan tenaga kerja telah menyebabkan perusahan terhambat jalannya,'' kata Fei Ziwen, presiden pabrik itu. Produksi pabrik itu mungkin tak turun, tapi juga tak naik. Maka kelebihan buruh itu menambah beban keuangan negara. Masalah ini tak cuma dihadapi oleh CNNC. Industri logam BUMN yang lain juga hendak memenggal jumlah buruhnya, misalnya Wuhan Iron and Steel Works. Pabrik ini akan memberhentikan 80.000 orang dari 120.000 buruhnya. Dan bagi buruh BUMN di Cina, diberhentikan dari pabrik berarti akan menanggung masalah sangat banyak. Mereka akan kehilangan sejumlah fasilitas yang selama masih bekerja dinikmatinya. Antara lain, perumahan, jaminan kesehatan, kebutuhan makanan, dan uang transpor. Tapi pada saat pemerintah Cina sedang melakukan penghematan dan akan mengurangi pengeluaran sampai 20% seperti sekarang ini, pemberhentian buruh itu tak bisa dielakkan. Malah mungkin jumlah BUMN yang akan memberhentikan buruhnya akan makin banyak. Taruhannya, reformasi ekonomi, yang sudah menggelinding dan disebut-sebut sebagai sukses di kalangan ekonomi internasional, bisa anjlok dari rel bila kebijaksanaan perampingan jumlah buruh di BUMN itu tak dilakukan. Tapi mengapa pemerintah Beijing mengambil risiko seperti ini? Tidakkah ini akan menimbulkan masalah sosial? Salah satu yang diharapkan oleh Beijing adalah para buruh itu bergerak di sektor swasta. Kondisi di Cina kini membuka peluang untuk ini, dan bolehdikatakan subur. Pasar-pasar swasta bermunculan di Beijing dan kota besar lainnya, dan bersaing dengan toko dan pasar pemerintah. Lalu tak sedikit wiraswastawan yang diberitakan sukses. Ambil saja contoh Zhang Chouwa, 55 tahun, bekas sopir kendaraan milik sebuah BUMN di Provinsi Hebei. Beberapa waktu lalu ia keluar dari perusahaan itu, dan membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Awalnya adalah musim panas 1988 yang lalu, ketika ia bertugas menyetir kendaraan ke Beijing dan melihat sejumlah pemuda menganggur di ibu kota itu. Saat itu Zhang langsung teringat anaknya di Shijiazhuang, Hebei, yang juga sedang tidak punya pekerjaan. Tahun 1981 Zhang memutuskan berhenti jadi sopir dan bersama dengan empat orang kawannya membuka usaha perbaikan ban mobil. Usaha itu bangkrut setahun kemudian. Zhang beralih usaha mendirikan bengkel mobil, merekrut 30 orang tenaga muda yang semula menganggur. Di Cina ada peraturan yang mengatakan, usaha baru yang merekrut para penganggur mendapat keringanan bebas pajak selama tiga tahun pertama. Peraturan ini tampaknya dimanfaatkan benar oleh Zhang. Dengan nama Pabrik Reparasi Jip Shijiazhuang, Zhang pun mulai berusaha. Kini, sekitar tujuh tahun kemudian, bengkel reparasi itu telah menempati lokasi seluas 2.000 m di Zhengding, tujuh kilometer utara Shijiazhuang. Zhang telah menjadi orang terkaya dan ternama di kota itu. Memang tak semua akan sesukses Zhang. Tapi sukses itu juga berarti membuka lapangan kerja bagi para bekas buruh yang tidak punya bakat wiraswasta. Dan andai nanti muncul masalah sosial, tampaknya itu sudah diperhitungkan oleh pemerintah Beijing. Soalnya, dengan mempertahankan jumlah buruh yang besar di BUMN-BUMN, risiko yang ditempuh jauh lebih besar: gagalnya reformasi ekonomi. MC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini