KRITERIA untuk menjadi perdana menteri Jepang masa kini tampaknya, yang utama, adalah bersih. Tiga calon terkuat yang muncul dari pol pendapat Asahi Shimbun, salah satu surat kabar terkemuka di Jepang, adalah orang-orang yang relatif bersih dibandingkan dengan tokoh yang lain. Anehnya, meski kampanye Partai Demokratik Liberal, partai yang menguasai pemerintahan Jepang secara tunggal dalam 38 tahun terakhir, sepi, dua di antara tiga calon itu datang dari partai ini. Bahkan calon ketiga pun adalah salah seorang dari sejumlah anggota partai ini yang beberapa lama lalu membelot, yang menyebabkan pemilu Ahad kemarin diadakan. Tampaknya, partai-partai lain belum menelurkan tokoh yang bisa menarik dukungan masyarakat. Tiga terkuat itu adalah: Tsutomu Hata. Hasil pengumpulan pendapat Asahi mendudukkan Hata, 57 tahun, di peringkat teratas calon perdana menteri. Tampaknya tokoh pembelot Partai Demokratik Liberal ini dipilih karena ia dianggap bersih. Selama menjadi menteri keuangan (1991), pertanian dan perikanan (1985-1988), tak sedikit skandal pun menyerempet namanya. Pendiri dan pemimpin Shinseito (Partai Kelahiran Baru) ini ketika keluar dari partai lamanya memang berniat mencalonkan diri sebagai perdana menteri. Tekadnya jelas, ''memperbaiki politik Jepang,'' seperti yang dituturkan istrinya, Yasuko Hata. Dan tekad itu kabarnya menjadikan dirinya seperti magnet, yang menarik rakyat Jepang. Tapi tak sedikit pula politikus yang meragukan kemampuan Hata. Ia dinilai tak secemerlang Ichiro Ozawa, tokoh di belakang layar Partai Shinseito, yang terkenal dengan program reformasi politiknya. Malah, Kiichi Miyazawa, beberapa saat sebelum menjadi perdana menteri Jepang, tahun 1991, dikabarkan pernah membuang tulisan Hata, yang berisi saran bagi reformasi politik Jepang, ke keranjang sampah. ''Di sinilah tempat yang cocok untuk menyimpan dokumen seperti ini,'' kata Miyazawa. Kemenangan Hata, ia bisa menjelaskan ide reformasi politik Ozawa dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti rakyat biasa, kata Ohshita Eiji, seorang pengamat politik Jepang. Bahasanya yang mudah itulah dulu, tahun 1969, yang membawa Hata masuk dalam Majelis Rendah, sebagai wakil Partai Demokratik Liberal Provinsi Nagano. Ketika itu ia berkampanye: ''Pemilihan dari hati ke hati, dan politik yang mudah dimengerti.'' Sebenarnya, sebelum Hata membelot, ia lebih dikenal sebagai pekerja keras daripada seorang politikus berkaliber. Konon ia begitu miskin, ''Sampai-sampai untuk minum secangkir kopi menunggu ditraktir teman-temannya,'' tutur seorang temannya pada sebuah majalah Jepang. Tapi kerja kerasnya tak sia-sia, dan mengantarkannya dari pekerjaan portir dan kondektur bus menjadi kepala seksi perencanaan dan riset di perusahan bus tempatnya bekerja. Dan Hata orang yang kreatif. Ia bisa memdukan kegemarannya pada sastra dan pekerjaannya. Ia menciptakan tour untuk para turis, mengunjungi tempat-tempat terkenal dalam kesusastraan Jepang. Minatnya pada politik muncul secara kebetulan. Ketika ayahnya sakit keras dan tak mampu melanjutkan tugas sebagai anggota Majelis Rendah, Hata tak punya pilihan lain, kecuali menggantikan ayahnya. Dan minat bapak dua anak ini mencalonkan diri menjadi perdana menteri karena ia ingin menegakkan pemerintahan yang bersih. Toshiki Kaifu. Tak seperti Hata, ini bukan nama baru di dunia politik Jepang. Ia adalah perdana menteri, tahun 1989-1991, dan terkenal sebagai tokoh yang bersih. Bisa dikatakan, Kaifu, kini 62 tahun, adalah korban sistem politik yang kini hendak diubah oleh para oposisi Partai Demokratik Liberal. Ia terpaksa turun dari kursi perdana menteri karena RUU-nya tentang reformasi politik yang menghapuskan sumbangan dan politik dari perusahaan-perusahaan pada partai. Menurut Kaifu, dan banyak orang Jepang, sumbangan yang menjadi melembaga karena Partai Demokratik Liberal terlalu lama berkuasa itulah yang menjadi sumber skandal. Entah mengapa alumni Fakultas Hukum Universitas Waseda yang terkenal itu, yang jago debat dan pidato, waktu itu tak lalu mengambil jalan membelot dan mendirikan partai baru. Mungkin karena ia menyadari bahwa dirinya tak 100% bersih. Ia pernah mengaku menerima sumbangan beberapa juta yen untuk dana kampanyenya. Nama dan cita-citanya kini menjadi andalan Partai Demokratik Liberal untuk melawan partai-partai lainnya. Kaifu kini dijadikan ujung tombak Partai Demokratik Liberal agar partai ini mudah mencari teman berkoalisi. Soalnya, sejauh ini hanya Kaifu yang bisa diterima oleh Nihon Shinto (Partai Baru Jepang) dan Sakigake (Sang Pelopor), dua partai yang diharapkan mau berkoalisi dengan Gunung Monyet atau Partai Demokratik Liberal. Michio Watanabe. Ini juga bukan nama baru. Partai Demokratik Liberal mencalonkannya tampaknya sekadar untuk mendampingi Kaifu. Mungkin Partai Demokratik Liberal berharap, Watanabe bisa menetralisasi kritik masyarakat Jepang terhadap Partai Demokratik Liberal karena ia adalah saingan Kiichi Miyazawa ketika pemilihan ketua Partai Demokratik Liberal, dua tahun lalu. Bekas Menteri luar negeri yang kini berusia 70 tahun ini namanya sempat ramai di media Indonesia dan Jepang. Ia dituduh terlibat skandal pembangunan Jakarta International Trade Complex di Kemayoran, Jakarta (1992) ini. Tapi jasanya cukup jelas. Dialah konseptor terlibatnya pasukan bela diri Jepang dalam Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Kamboja. Dan ketika menjadi menteri keuangan, kebijaksanaan restrukturisasi fiskalnya membuat Jepang mampu bertahan menghadapi resesi di tahun 1980. Mungkin ini sebabnya, dalam pol pendapat Asahi Shimbun itu ia mengungguli Kaifu. Tapi banyak orang berpendapat, Watanabe bukan calon perdana menteri yang baik. Selain terserempet skandal Jakarta dan juga skandal pembelian saham sebuah perusahaan Jepang, lewat anaknya, kesehatannya sudah sangat mundur. DP (Jakarta) & SO (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini