Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perdana menteri baru: toshiki kaifu-kah itu?

Sulit, memilih perdana menteri jepang yang didukung mayoritas suara. disebut-sebut nama toshiki kaifu, bekas perdana menteri. syaratnya, ia tak berbendera partai demokratik liberal.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK di Jepang memasuki babak baru. Tak adanya pemenang mayoritas dalam pemilu Ahad kemarin mengakhiri 38 tahun dominasi Partai Demokratik Liberal. Partai ini hanya meraih 223 kursi, masih memerlukan 33 kursi untuk menang secara mayoritas. Saingan dekatnya adalah lima partai oposisi, yang kemungkinan besar berkoalisi, dengan 195 kursi. Dalam koalisi lima partai itu termasuk Partai Sosialis Jepang, yang sayang sekali tak bisa menyumbang banyak. Sebab, dari 137 kursi di Majelis Rendah periode sebelum pemilu kemarin, Partai Sosialis ini surut poplaritasnya dan cuma meraih 70 suara. Komposisi perolehan suara dari pemilu Jepang ke-40 inilah yang akan menentukan perdana menteri baru, yang akan dipilih dalam sidang istimewa Majelis Rendah, 2 Agustus mendatang. Melihat perolehan suara tanpa pemenang mayoritas itu, terbuka kemungkinan bahwa calon-calon perdana menteri yang diajukan oleh partai tak satu pun memperoleh suara mayoritas, yakni separuh plus satu dari jumlah anggota Majelis Rendah yang hadir. Bila itu terjadi, akan dilakukan pemilihan ulang. Dan berdasarkan konstitusi Jepang, dalam pemilihan ulang tak lagi berlaku ketentuan pertama. Pokoknya, calon dengan suara tertinggilah yang sah menjadi perdana menteri. Tapi para aktivis partai pun tahu, pemerintahan oleh perdana menteri yang muncul dari pemilihan ulang bukanlah pemerintahan yang kuat. Itu sebabnya, hari-hari ini para tokoh partai sibuk melakukan lobi. Mereka tak lagi tampil secara mencolok di depan masa, dengan sarung tangan putih dan selempang serta ikat kepala di tempat umum, seperti saat kampanye pekan lalu. Mereka kini sering terlihat makan-makan di restoran mahal, dengan tamu pilihan, untuk mencari dukungan dengan mengajaknya berkoalisi. Ini terutama dilakukan oleh para tokoh Partai Demokratik Liberal dan koalisi lima partai. Dan tampaknya, yang menjadi sasaran lobi adalah Nihon Shinto (Partai Baru Jepang) yang punya 35 suara, dan Sakigake (Sang Pelopor) dengan 13 suara. Soalnya memang dua partai ini yang masih mungkin ditarik oleh Partai Demokratik Liberal atau oleh koalisi lima partai (Shinseito, Komeito, Partai Sosialis Jepang, Partai Sosialis Demokratik, dan Shaminren). Tapi tentunya diperlukan negosiasi yang cukup berat. Sebab, Nihon Shinto sudah bersikap. ''Daripada mendukung kestabilan yang busuk, lebih baik mengharapkan sesuatu di masa datang,'' ujar Morihiro Hosokawa, pendiri Nihon Shinto. Akankah Jepang terjebak dalam suatu pemerintah yang labil, yang sebentar-sebentar mengadakan pemilu untuk memilih anggota Majelis Rendah? Ini jelas pemborosan dana, justru ketika ekonomi Jepang sedang menghadapi penurunan. Para pengamat politik di Jepang sendiri masih melihat satu peluang untuk menghindarkan lahirnya pemerintahan yang rapuh. Yakni, bila Toshiki Kaifu, bekas perdana menteri yang terpaksa mengundurkan diri karena konsep pemerintahan yang bersih yang diusulkannya ditolak, tahun 1991. Inilah tokoh dari Partai Demokratik Liberal yang tampaknya bisa diterima banyak pihak, karena itu diharapkan bisa memimpin sebuah pemerintahan koalisi dengan cukup baik. Tapi Kaifu yang memperoleh simpati adalah Kaifu sebagai pribadi. Masalah menjadi lain bila Toshiki Kaifu tampil sebagai calon perdana menteri dari Partai Demokratik Liberal. Seperti diketahui, di Jepang telanjur bangkit semangat reformasi, yang maknanya antara lain sedapat mungkin menyisihkan Partai Demokratik Liberal. Itu jelas dalam ucapan Morihiro Hosokawa yag sudah dikutip. Jalan satu-satunya, bila memang diinginkan munculnya koalisi yang kukuh, fraksi Kaifu bersedia melepaskan diri dari Partai Demokratik Liberal, dan membentuk partai baru. Diduga, begitu Kaifu mengundurkan diri dan membentuk partai baru, Nihon Shinto dan Sakigake akan bersedia berkoalisi. Tak cuma itu, kata seorang pengamat politik di Jepang, bahkan ''kelima partai oposisi dan partai lain akan mendukungnya''. Tapi tentu saja ini bisa terjadi bila pemilu diulang, dan itu baru setahun lagi, sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Inilah suatu perubahan besar yang tampaknya menggelinding karena rakyat Jepang menginginkan hal baru dalam kehidupan politik mereka. Dominasi partai tunggal di bawah bayang-bayang Shin Kanemaru, godfather Partai Demokratik Liberal, sudah berakhir. Dominasi itu dianggap menjadi sebab munculnya skandal-skandal di tubuh Partai Demokratik Liberal. Dan ini tentu saja tidak sehat. Buktinya, Kaifu sewaktu menjadi perdana menteri bertekad memperbaikinya meski belum berhasil dan malah ia harus mengundurkan diri karena godfather menghendaki begitu. Tapi kini godfather itu sendiri diadili, dituduh menerima suap sebesar 500 juta yen. Orang bilang, mana ada politik yang bersih. Bila itu benar, setidaknya diperlukan upaya mengoreksi kekotoran itu terus- menerus. Itulah kini yang sedang terjadi di Jepang. Didi Prambadi (Jakarta) & Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus