CITA-CITA baru orang Soviet: bertemu dengan Alexander I Solzhenitsyn, pembangkang tersohor Uni Soviet yang kini bermukim di AS. Dan membaca karya besar pemenang Nobel yang terusir itu, novel The Glag Archipelago. Itulah yang terungkap dari mingguan bawah tanah di Soviet bernama Express Khronika, edisi belum lama ini. Mingguan "gelap" yang terbit pertama kali Agustus 1987, beberapa lama ini dijajakan terangterangan. Inilah salah satu perubahan di Soviet berkat glasnost, politik keterbukaan Gorbachev. Lihat, di sebuah pojok jalan yang ramai di Moskow, Alexander Podrabinek menawarkan korannya. Pria kurus berjanggut lebat ini bukan pengecer koran, tapi dialah pemimpin redaksi koran tersebut. Koran yang memuat berita-berita yang tak bakal ditemui di media resmi pemerintah Soviet. Mulai dari kasus penindasan bangsa Tartar di Uzbekistan, tentang pengalaman sedih para pembangkang, sampai laporan berbagai demonstrasi yang melanda sejumlah kota di Uni Soviet belakangan ini, dilengkapi wawancara dengan tokoh pembangkangnya. Podrabinek, dibantu oleh lima orang redaksi lain dan sejumlah besar "koresponden", berkantor di apartemen berkamar tiga milik Tamara dan Sasha Kalugin - pasangan artis pembangkang yang pernah disekap di rumah sakit jiwa oleh Kremlin. Mereka berkumpul tiap Sabtu. Praktis dalam sehari itulah seluruh isi mingguan diselesaikan. Suasana ruang redaksi seperti layaknya kantor media di Barat: ramai dengan debat memilih berita yang layak dimuat, sejumlah argumentasi, dengung gosip, dan dering telepon. Kantor itu memang belum pernah digerebek polisi. Tak berarti lepas dari pengamatan pemerintah. Misalnya, sewaktu koresponden di Yerevan melaporkan rencana pemogokan warga Armenia, tiba-tiba sambungan telepon terputus. Redaksi pun maklum, itu hasil kerja penyadap Kremlin. Apa akal? Salah seorang anggota redaksi keluar kantor, pinjam telepon dari apartemen lain. Masalah berita dari Armenia pun tuntas dilaporkan. Sebagai mingguan "gelap", bagi Express Khronika sulit menaikkan oplah. Meski kini boleh dijajakan terang-terangan dan tak perlu lagi kucing-kucingan dengan polisi, mingguan dengan mutu cetak sederhana ini hanya bisa dijual 170 eksemplar. Bila bisa beredar luas - kata Podrabinek korannya dibaca di 50 kota - itu karena dari "produk asli" tiap pembaca lalu membuat sejumlah besar kopinya, dan disebarkan ke semua pelosok Soviet. "Kami menganggap diri pemberi jasa berita. Benar-benar hanya berita, seperti berita dari Reuters atau Associated Press," kata Podrabinek. "Kami tidak berideologi." Wartawan bawah tanah ini sudah terbiasa hidup kucing-kucingan. Dalam usia 35 tahun kini ia langganan kamp keria paksa. Suatu kali karena menulis kasus penyalahgunaan rumah sakit jiwa sebagai penjara bagi pembangkang, kali yang lain karena sebab lain pula. Pernah Kremlin menekannya agar keluar dari Soviet. Ia menolak. Kini pun, setelah ada glasnost, ia tak boleh tinggal kurang dari 120 km dari Moskow. Toh dia merasa senang. "Sekarang ini saya tak lagi khawatir polisi akan menyuruh saya membuang koran-koran saya," katanya. Sebenarnya, media resmi di Uni Soviet pun kini sudah banyak berubah. Mingguan Ogonyok (memuat kritik terhadap pendudukan Afghanistan, lihat Selingan TEMPO 16 April) dan Moskow Neqos sudah sering memuat opini segar dan investigative report. "Tapi penyajian beritanya tak rinci dan selalu terlambat seminggu dari koran kami," kritik Lyosof, salah seorang redaktur Express Khronika. F.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini