KALAU ~Anda bertandang ke rumah seorang Palestina, jaga lupa melirik hiasan yang tergantung di dinding kamar tamu. Di sana hampir selalu tergantung sebuah foto resmi Yasser Arafat. Jika ditanyakan pada seorang anak kecil yang baru bisa ngoceh, dia akan langsung menjawab, "Dia Abu Ammar." Benar. Karena nama itu adalah nama kehormatan bagi ketua PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) itu. Dan nama itu juga lebih populer daripada nama aslinya. Bangsa Palestina, Abu Ammar, dan PLO jelas tak terpisahkan. Bagi bangsa terusir itu, tak ada lembaga atau pemerintahan yang bisa mewakili mereka, dan tak ada pemimpin sebijak dia. Karena itu, berbagai gerakan separatis yang sempat meledak akhirnya kembali ke pangkuan PLO. Israel dan Amerika Serikat, yang mencap PLO sebagai organisasi teroris, pun tak mampu membuktikan omongannya. Kedua negara itu sudah berkali-kali mencoba memisahkan PLO dari rakyat Palestina lewat berbagai perundingan. Toh semuanya berantakan, lantaran tak ada dukungan luas dari rakyat Palestina. Sebuah pol di Jalur Gaza dan Tepi Barat menunjukkan bahwa 94% warga Palestina di sana mendukung PLO. Pol ini disiarkan oleh harian Jerusalem Post, edisi September 1986. Berdasarkan ini, Mohammed Milhem, dari Komite Eksekutif PLO, menyimpulkan bahwa eksistensi PLO bukanlah sesuatu yang dipaksakan terhadap warga Palestina di kedua daerah pendudukan Israel itu. Terorisme, yang sering dituduhkan Israel dan AS terhadap PLO, tak pula sepenuhnya terbukti. Mereka hanya menghubung-hubungkan gerakan sempalan seperti Abu Nidal dengan PLO. "Saya jamin, gerakan kami tak pernah melanggar piagam PBB," ujar Arafat dalam wawancara dengan TEMPO dua tahun silam. Karena itu, kata Arafat, semua aksi militer PLO hanya dilakukan dalam wilayah pendudukan Israel. Kenyataan menunjukkan, justru Israel yang memburu PLO ke segala penjuru. Tahun 1982, misalnya, tentara Israel memporak-porandakan markas besar PLO di Beirut Barat. Lalu dua tahun silam mereka melabrak lagi markas besar PLO di Tunisia, tanpa menghormati kedaulatan negara itu. Puluhan bom dijatuhkan oleh pesawat pemburu Israel di sana -- hingga markas itu rata dengan tanah. Sejak tahun lalu, PLO bermarkas di Irak. Perjuangan mereka jelas mengendur, apalagi dalam posisi lemah seperti itu, negara-negara Arab juga kurang bisa memberi dukungan moril. Front Arab direpotkan oleh perang Iran-Irak, di samping kesulitan ekonomi yang ditandai dengan merosotnya harga minyak. Untuk kembali beroperasi seperti dulu, bagi PLO agaknya terlalu berat. Gerilyawannya -- akibat penumpasan Israel -- tercerai berai, sementara senjata tak ada yang menyuplai. Lagi pula, karena bersahabat dengan PLO berarti bermusuhan dengan Israel, maka kini tak ada lagi negara yang bersedia "meminjamkan" tanahnya untuk dijadikan pangkalan. Mungkin karena itu Arafat condong pada alternatif lain: diplomasi. Sementara itu, kekayaan PLO makin bertumpuk di bank-bank berbagai negara, bursa-bursa saham, atau inventasi lainnya. Yang pasti, dana terus mengalir dari rakyat Palestina yang kebanyakan melakukan bisnis di negara-negara Arab. Diperkirakan, setiap orang menyumbangkan 10 sampai 20 persen penghasilannya kepada PLO. Indoktrinasi kepada rakyat Palestina yang lahir di pengungsian juga terus ditingkatkan. Sejak kecil mereka terus diyakinkan bahwa kampung halaman mereka adalah kampung halaman orang tua dan nenek mereka. Di mana kampung kamu? "Nablus." Itulah petikan tanya-jawab antara seorang guru SD dan muridnya di sebuah sekolah di kamp pengungsi di Yordania. Tapi Nablus kini termasuk wilayah Israel -- apa boleh buat. Dan Arafat sendiri agaknya tidak bisa menjawab apakah Nablus bisa direbut. Negara yang dicita-citakan itu masih direka dalam angan-angan besar setiap orang Palestina. Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini