Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Guantanamo ke Doha

Lima tokoh Taliban eks tahanan Guantanamo kini menjadi anggota delegasi perundingan di Doha.

28 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perundingan perdamaian Amerika Serikat, Taliban, dan Qatar di Doha, Qatar, akhir tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOHA - Ketika Amerika Serikat menginvasi Afganistan dan menumbangkan pemerintahan Taliban pada 2001, semua pihak-termasuk yang sudah menyerah-diperlakukan seperti teroris. Mereka diborgol, matanya ditutup, dan dikirim dengan kapal menuju tahanan khusus teroris di Guantanamo Bay, Kuba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini lima pejabat Taliban dan mantan tahanan Guantanamo berhadapan dengan delegasi Amerika Serikat dalam perundingan damai di Doha, Qatar, sejak akhir tahun lalu. Salah satunya Mullah Khairullah Khairkhwa, Gubernur Herat dan Menteri Dalam Negeri pada masa Taliban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Selama berada di Guantanamo, kami merasa bahwa kami telah dibawa ke sana dengan tidak adil dan bahwa kami akan dibebaskan," kata Khairkhwa kepada The New York Times, Senin lalu. "Namun tidak pernah terpikir oleh saya bahwa suatu hari akan terlibat negosiasi dengan mereka, dan saya akan duduk di sana dengan mereka di satu sisi dan kami di sisi lain."

Khairkhwa, Mohammad Fazl, Mohammad Nabi, Abdul Haq Wasiq, dan Noorullah Noori ditahan di Guantanamo selama 13 tahun sebelum pemerintahan Presiden Barack Obama membebaskan mereka pada 2014. Mereka ditukar dengan Bowe Bergdahl, satu-satunya tentara Amerika yang diketahui ditahan Taliban selama lima tahun.

Keputusan untuk melibatkan mereka, menurut Abdul Hakim Mujahid, utusan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa selama rezim Taliban, diambil karena kelimanya sangat dihormati di internal Taliban. "Orang-orang ini dihormati di seluruh kalangan Taliban," ujar dia kepada The Nation, akhir tahun lalu. "Kata-kata mereka sangat dihormati pimpinan dan mujahidin Taliban."

Kelimanya merupakan tokoh penting dalam rezim Taliban sebelum digulingkan pada 2001. Bahkan data intelijen Guantanamo menggambarkan mereka sebagai "risiko tinggi" bagi Amerika dan sekutunya. Khairullah Khairkhwa dekat dengan pendiri Taliban, Mullah Omar; dan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden.

Human Rights Watch menuduh Mohammad Fazl, mantan kepala staf militer Taliban, bertanggung jawab atas kematian ribuan minoritas Syiah pada 2000. Sementara itu, Abdul Haq Wasiq, yang pernah menjadi wakil menteri intelijen; Mullah Norullah Nori, mantan gubernur provinsi; dan Mohammad Nabi dituduh dengan berbagai dakwaan lain.

Saat perkenalan kedua delegasi dalam perundingan yang dimulai bulan lalu, kelima tokoh ini menyebut pengalaman ditahan di penjara Guantanamo sebagai bagian paling penting dalam identitas mereka.

"Meski begitu, dalam momen penting seperti saat ini, pengalaman buruk tidak saya pikirkan. Saya tidak memikirkan siapa mereka dan apa yang telah mereka lakukan kepada saya," tutur Khairkhwa. "Yang paling penting adalah apa yang kita bicarakan, apa yang terbaik bagi kami, dan mencapai tujuan bagi negeri kami."

Namun, selain Khairkhwa, seorang sumber dalam perundingan damai yang berakhir pada 12 Maret lalu itu menuturkan keempat tokoh itu tak terlalu banyak bicara. Dilansir The New Times, saat perundingan di antara kedua delegasi memanas, kelima tokoh ini berbicara tak sekeras tokoh Taliban lain. Mungkin ini terjadi karena kerasnya kehidupan penjara yang mereka alami atau khawatir kebebasan mereka akan terenggut sewaktu-waktu.

Sejak dibebaskan, mereka langsung tinggal di Doha dan telah berkumpul dengan keluarga masing-masing. Kendati demikian, mereka tetap berada dalam pengawasan pemerintah Qatar atas permintaan Amerika Serikat.

Sebagian besar dari mereka ditangkap dan dikirim ke Guantanamo setelah menyerah, bahkan telah bekerja sama dengan pemerintahan baru Afganistan yang didukung Amerika Serikat. Saat akan ditangkap, Khairkhwa sempat kembali ke kampung halamannya dan bertemu dengan Presiden Hamid Karzai.

Salah satu anggota delegasi Amerika Serikat yang turut hadir dalam perundingan terakhir dengan Taliban adalah Jenderal Austin S. Miller, komandan militer Amerika dan NATO di Afganistan. Oktober lalu, Miller nyaris tewas dalam serangan yang membunuh Jenderal Abdul Raziq, Kepala Keamanan Afganistan, di Provinsi Kandahar.

Sejumlah sumber menyebutkan Miller mengatakan kepada delegasi Taliban bahwa ia menghormati mereka sebagai sesama pejuang. Namun ia menegaskan bahwa perang harus segera berakhir. "Kita bisa terus saling membunuh," kata Miller, "Atau bersama-sama kita bisa mengalahkan ISIS."

Meski kedua pihak gagal mencapai kesepakatan akhir, Khairkhwa menyebut mereka memiliki kesamaan misi untuk segera mengakhiri perang. "Ini adalah perang yang panjang, dengan banyak korban, juga kehancuran dan kehilangan," ujar dia. "Yang memberi harapan adalah kedua tim menangani masalah ini dengan serius."

THE NEW YORK TIMES | THE NATION | THE WASHINGTON FREE BEACON | SITA PLANASARI AQUADINI


Tujuh Negara

Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Rekonsiliasi Afganistan, Zalmay Khalilzad, memulai lawatan ke tujuh negara menjelang putaran negosiasi lanjutan antara Amerika dan Taliban. Dilansir PakTribune, kemarin, kunjungan ini bertujuan memaparkan perincian hal-hal yang dibahas dalam putaran negosiasi sebelumnya.

Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan bahwa lawatan Khalilzad berlangsung selama 10 hari, mulai 25 Maret hingga 10 April. Dia akan pergi ke Afganistan, Inggris, Belgia, Pakistan, Uzbekistan, Yordania, dan Qatar. “Kunjung­an ini merupakan bagian dari upaya mendukung perdamaian yang melibatkan semua pihak Afganistan dalam negosiasi,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri Amerika.

Amerika dan Eropa menekankan bahwa perjanjian perdamaian apa pun harus mendukung hak-hak semua warga Afganistan, terutama hak-hak perempuan, minoritas, dan anak-anak, serta memastikan kelompok-kelompok teroris internasional ataupun individu tidak menggunakan tanah Afganistan untuk me­nyerang negara mana pun.

Perincian hasil negosiasi antara Amerika Serikat dan Taliban sampai saat ini masih dirahasiakan oleh kedua pihak. Namun sejumlah informasi yang bocor ke pers Amerika menyebutkan bahwa Taliban menolak kehadiran pasukan Amerika hingga lima tahun dalam misi memerangi terorisme. Di sisi lain, Amerika dan Eropa berkukuh penarikan pasukan Amerika akan dilakukan secara bertahap.

PAKTRIBUNE | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus