KUDETA gagal, tapi belum tntu orang jera. Sebab, sejak tahun lalu, di Filipina makar sudah beberapa kali dicoba, dan gagal, tapi dicoba lagi. Mula-mula Minggu siang Juli 1986. Belasan truk dan jip dan 200 tentara tiba-tiba menyeruak ke Taman Rizal, Manila. Bintang kudeta, tokoh politik tua Arturo Tolentino, didukung lima jenderal. Mereka mencoba mengembalikan Marcos ke kursi kepresidenan. Dari operation room lantai 14 Hotel Manila yang mentereng, kelompok ini menyusun rencana. Tolentino tak lupa membujuk menteri pertahanan waktu itu, Enrile, agar bergabung dengan mengerahkan pasukan tank. Tapi Enrile menolak dan menjawab ketus, "Maaf, saya tak butuh kerja." Akhirnya, kudeta mini itu hanya berlangsung 36 jam. Tak ada korban yang jatuh. Tentara yang terlibat diberi kesempatan melapor ke kesatuan masing-masing, untuk diampuni. Hanya dalam waktu empat bulan sesudah itu, Filipina diserbu desas-desus. November 1986, koran Business Day memberitakan sebuah rencana kudeta lain. Nama sandinya: Operasi God Save the Queen. Usaha itu dimaksudkan, menurut sang koran, untuk menyingkirkan para pejabat berhaluan kiri. Cory akan tetap jadi presiden. Sebagai otak kudeta kali ini disebut Enrile. Dikabarkan bahwa 10 November 1986 -- hari keberangkatan Cory ke Jepang -- jadi Hari-H operasi "Penyelamatan Ratu" itu. Segera Presiden Aquino bertindak. Ramos dan Enrile dipanggil secara terpisah. "Tolong jnajikan pada saya, tak akan terjadi sesuatu selama saya di Jepang," kata Presiden kepada Enrile. Baiklah, jawab Enrile. Sang Ratu selamat, ke Tokyo. Percobaan kudeta yang cukup serius adalah di akhir Januari 1987. Sebanyak 400 tentara pro-Marcos berusaha menduduki dua pangkalan AU dan tiga stasiun televisi. Kelompok ini berasal dari pangkalan militer Lucena, Provinsi Quezon, sebelah timur Manila. Pemimpinnya Kolonel Canlas. Tujuannya menggagalkan plebisit konstitusi, yang diadakan pada awal Februari yang lalu. Dalam serangan fajar terhadap pangkalan udara Villamor, selatan Manila, 300 tentara pro-Marcos, yang mengenakan ikat kepala hitam, yang diperkuat oleh tiga tank, dapat menguasai stasiun TV pemerintah Saluran 7. Selain itu, 2.000 orang loyalis Marcos datang berbondong-bondong memberi semangat kepada kelompok tentara itu, sambil mengantarkan makanan. Teriakan "Hidup Marcos ! Mundur Cory !" menggema di pelataran stasiun Saluran 7. Dua belas jam kemudian, Cory muncul di layar TV menjelaskan bahwa situasi sepenuhnya dikuasai. Akhirnya, para pembangkang itu dilumpuhkan. Dalam dokumen militer yang dibocorkan tercantum beberapa unsur: loyalis Marcos tentara pro-Enrile kelompok militer yang merasa kecewa dan sekelompok pengusaha besar. Cory kini mengeras "Sudah saya perintahkan agar mereka ditangkap dan ditahan. Ada waktu untuk berbaik-baik, ada juga untuk bertindak tegas," ujarnya. Suasana keruh menjelang pemilihan anggota Kongres, April lalu, juga ditumpangi usaha kudeta lain. Sebuah komplotan 1.000 tarntama, dipimpin seorang sersan mayor dan didukung sejumlah pamen AB Filipina, dapat dilumpuhkan sebelum sempat beraksi. Mereka dituduh bermaksud menduduki (lagi-lagi) stasiun TV. Dan untuk menarik perhatian dunia, mereka berniat menyandera 2.500 murid dan guru Sekolah Internasional Manila di Makati yang dikelola oleh istri Jenderal Ramos. Penahanan dilakukan, tapi justru timbul rasa setia kawan. Peristiwa "Black Saturday" pun meletus. Ada 13 tentara, dengan ikat kepala hitam bertuliskan "Enlisted for Revolt", berangkat dari markasnya di Quezon, menuju tangsi militer Fort Bonifacio pada pukul 3 dini hari. Dengan sebuah truk kuning beroda sepuluh, mereka menerjang pintu gerbang untuk membebaskan 108 temannya yang ditahan di dalamnya, karena terlibat percobaan kudeta. Dengan senjata yang ujungnya berbendera hitam bertuliskan "Guardians Revolt", mereka menyerbu ke sel tahanan. Tapi ternyata cuma 42 orang yang mau diajak kabur. Sisanya lebih suka menunggu untuk disidangkan. Kudeta, akhirnya, seperti sakit periodik. Sampai kapan? Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini