Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bila gringo bermain politik

Sejak rezim marcos militer memainkan peran dalam kehidupan politik dan ekonomi, yakni sejak berlakunya uu darurat 1972, untuk melindungi kekuasaan marcos. mempunyai dampak buruk bagi ekonomi & militer.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Bila gringo bermain politik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MILITER masih merasa sebagai warga nomor satu. Mereka tak bersikap sebagai pelindung demokrasi," kata seorang pengamat militer dengan nada agak marah. Itulah komentar Luis R. Mauricio tentang gerakan Honasan yang gagal. Dan Mauricio menunjuk UU Darurat yang pernah diberlakukan Marcos sebagai sumber penyakit ini, yang tampaknya kuman-kumannya belum habis benar. Bila kudeta militer paling berdarah yang pernah terjadi di Filipina ini terasa paling memukul, itu lantaran terjadi ketika Cory sedang melakukan pembenahan dalam tubuh militer. Dan, siapa pun tahu, kup itu didalangi oleh prajurit terbaik, seorang yang diagung-agung sebagai pahlawan Revolusi Februari 1986. Dan dalam pembenahan itu orang yang paling berperanan adalah Kepala Staf AFP Jenderal Fidel V. Ramos. Di pundaknyalah tanggung jawab terwujudnya konsep The New AFP. Yaitu, pertama, perubahan struktur dalam tubuh AFP. Dan kedua, mengembalikan ideologi militer yang patuh kepada konstitusi, bukan lagi kepada perorangan. Ramos -- tokoh teladan tentara profesional yang hampir tanpa cacat -- mengerti betul asas bahwa militer di bawah pengawasan sipil. Antara lain sebab pokoknya, AFP terbentuk dan ditempa ketika Republik Filipina lahir di tahun 1935. Ketika itu semangat membentuk tentara profesional, yang hanya terlibat soal-soal keamanan negara, begitu kuat dicita-citakan sebagai akibat tinggalan warisan penjajah AS. Namun, sejarah bicara lain. Sebelum cita-cita terwujud sempurna, angkatan bersenjata Filipina pernah tampil dalam sosok yang menyimpang dari konsep semula. Itulah di zaman rezim Marcos masih berkuasa. Di masa itu sejumlah tokoh militer justru memainkan peran yang cukup besar dalam kehidupan politik dan ekonomi Filipina. Sementara itu, kejagoan dan daya tempur para tentara kala itu diragukan. Sebabnya, antara lain, struktur dan garis komandonya semrawut, dan tak mencerminkan suatu organisasi militer. Memang, semua itu bukan sama sekali berawal dari Marcos. Benih keterlibatan militer dalam kehidupan politik dan ekonomi sebenarnya sudah ada jauh sebelum rezim yang kini terusir itu berkuasa. Ketika Republik Filipina dipimpin oleh presiden Ramon Magsaysay (1953-1957), timbul masalah pemberontakan petani di bawah organisasi Hukbalahap yang ditunggangi komunis. Magsaysay menyadari bahwa masalah di Luzon Tengah itu bukan persoalan ideologi tetapi lebih merupakan masalah ketimpangan sosial-ekonomi. Maka, ia menyadari bahwa pemberontakan ini tak pantas jika hanya diselesaikan lewat operasi militer. Atas perintah Magsaysay, dibentuklah Korps Pengembangan Ekonomi (Edcor). Itulah pasukan militer yang khusus dltugasi menangani proses pemukiman kembali bekas pemberontak dan sekaligus memberikan penyuluhan ekonomi. Batalyon Zeni AD AFP diikutsertakan membantu satuan Edcor dengan pembuatan konstruksi rumah-rumah tinggal. Satuan Edcor tak hanya khusus menangani pemberontakan Huk. Anggota-anggotanya ikut juga berperan dalam membina masyarakat desa yang miskin di daerah lainnya. Ini merupakan bagian dari strategi pemerintah Filipina waktu itu untuk menghadapi ideologi komunis yang biasanya subur dan mudah menyusup dalam masyarakat miskin. Magsaysay berhasil. Pemberontakan komunis menyusut dalam waktu singkat. Lain daripada itu, sebenarnya masuknya militer Filipina dalam kehidupan sosial sangat dimungkinkan karena sejarah pembentukannya. Cikal bakal AFP adalah Police Constabula (PC) yang terbentuk pada 1901. PC punya misi lebih sebagai penjaga ketertiban, alias tugas polisionil, daripada tugas militer resmi. Hanya saja pimpinannya, pada zaman itu, terdiri atas perwira militer AS. Dari sejarah terbentuknya, bisa dimengerti bila kemudian AFP juga memiliki tugas polisionil. Dalam kenyataan sehari-hari kemudian, hadirnya pangkalan militer AS di Filipina menyebabkan AFP lebih berkonsentrasi pada pekerjaan polisionilnya daripada tugas kemiliteran. AFP tak usah lagi bersibuk menghadapi tantangan dan ancaman mval darl luar, karena masalah ltu ditangani oleh AS yang menjadi pelindung kedaulatan Filipina. Ini membuat pemimpin Filipina melihat bahwa AFP bisa menjadi kekuatan potensial di luar tugas-tugas kemiliterannya. Misalnya, untuk melicinkan program kesejahteraan rakyat. Itu sebabnya kurikulum di Akademi Militer Filipina (PMA) di tahun 1950-an mengalami sedikit perubahan. Porsi mata kuliah strategi militer dan latihan tempur tak lagi dominan. Sejak itu mata kuliah sejenis ilmu sosial, humanisme, administrasi, dan manajemen diberikan kepada calon-calon perwira. Presiden Carlos Garcia, yang menggantikan Magsaysay, meneruskan strategi peningkatan peranan militer dalam kehidupan sosial-politik. Bahkan lebih tajam, Carlos Garcia membuat konsep Program Sosial-Ekonomi-Militcr (SEMP). Untuk menjalankan konsep itu personel militer diikutsertakan dalam program kampanye pembangunan desa, peningkatan hasil tanaman pangan, dan juga dalam proyek-proyek pekerjaan umum, seperti pembangunan jembatan dan irigasi. Ketika Marcos terpilih menjadi presiden 1966, ia juga tak ketinggalan dalam mengikutsertakan militer sebagai bagian yang terintegrasi dalam konsep pembangunan Filipina: Program Ekonomi Empat Tahun. Dalam pandangan Marcos -- seperti juga pandangan pendahulunya -- militer merupakan aset yang memiliki kemampuan dalam hal rekayasa, transportasi, dan komunikasi. Marcos tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut memanfaatkannya pula. Konsep SEMP karya Presiden Garcia dikembangkannya. Dalam waktu dua tahun Marcos membentuk 25 batalyon (sekitar 7.500 pasukan) Zeni Tempur. Biaya latihan dan perlengkapan diperoleh dari dana bantuan AS sebesar US$ 7 juta. Prajurit-prajurit inilah yang nantinya berperan dalam membangun jaringan prasarana. Memasuki tahun 1970-an, Marcos semakin melibat keikutsertaan militer dalam kehidupan sosial politik Filipina. Ia menggambarkan bahwa militer memiliki peranan ganda: sebagai alat hankam negara (defender) dan juga pemacu (achiever) pembangunan sosial-ekonomi masyarakat. Tetapi di balik itu, sebenarnya Marcos melihat dengan jeli bahwa militer dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Ia mengeluarkan dekrit yang memberlakukan UU Darurat di tahun 1972. Juan Ponce Enrile, kala itu menhan, ikut mengamankan dekrit itu. Lewat dekrit inilah, peranan militer dalam kehidupan sosial politik di Filipina makin dikukuhkan. Menurut sejumlah pengamat, dekrit tersebut merupakan titik awal tergenggamnya militer di tangan Marcos. Dr. Carolina G. Hernandez, pengamat militer, dosen politik pada University of the Philippines, mengungkapkan bahwa sebelum UU Darurat ini diberlakukan, keterlibatan peranan militer masih dalam batas "pengaruh" (influence). Militer belum sama sekali basah, baru sebatas mempengaruhi atau dipengaruhi. Maksudnya, kontrol terhadap keterlibatan itu ada, dan dijamin oleh konstitusi yang jelas. Pihak militer pun tetap mengakui adanya supremasi sipil, seperti yang tercantum dalam UU Pertahanan Nasional tahun 1935. Namun, setelah UU Darurat 1972 itu diberlakukan, maka militer sudah dalam definisi "berpartisipasi". Keterlibatannya sudah kepalang basah, langsung terjun dalam kehidupan sosial-politik Filipina. Akibatnya segera tampak. Kelompok militer menjadi warga kelas satu. Antara penguasa Istana Malacanang dan militer terjalin kerja sama yang menguntungkan. AFP melindungi kepentingan kekuasaan Marcos dan konco-konconya. Sebaliknya, militer diberi peranan besar dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan bisnis, misalnya. Marcos dengan mudah memberi peluang kepada kelompok-kelompok militer untuk mencari keuntungan lewat bisnis. Misalnya, memonopoli industri yang berkaitan dengan perlengkapan militer. Bisnis yang dijalankan kelompok militer ini dibebaskan dari pajak. Sebaliknya, Marcos memanfaatkan pula militer sebagai mitra untuk melicinkan program pemerintahannya. Misalnya menjadikan militer sebagal pengawas harga pasar bagi komoditi bahan pokok rakyat, atau menjadi tukang tagih kepada petani-petani yang lalai mengembalikan setoran pinjaman kepada bank-bank milik pemerintah. Tentu saja bentuk kerja sama seperti ini membawa dampak yang buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Filipina, di samping tentunya bagi perkembangan militer itu sendiri. Cory, juga Ramos, untunglah cepat mencium bahaya itu. Dan tentunya, Honasan, kolonel yang gagal mengkup itu, sebagai militer sejati, paham juga soal tersebut. Tapi mungkin ia tak sabar dengan gerak pembaruan bosnya. Akhirnya, ia terjebak sendiri, untuk melakukan tindakan "militer berpolitik" yang bertentangan dengan cita-cita Honasan dan kawan-kawannya sendiri. Untunglah, sebuah helikopter Puma, berwarna putih, tanpa nomor, menyelamatkannya di saat-saat kritis. Perang saudara di sayap kanan kekuatan politik Filipina pun terhindarkan. Masalahnya, siapa lagi yang tak sabaran mirip kolonel yang nyentrik itu. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus