Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jauh sebelum Hadiah Nobel itu berada di pangkuannya pada pekan silam, Wangari Maathai, perempuan Kenya yang dijuluki "Batu Karang", memecahkan sejumlah rekor yang membikin gementar lelaki Kenya, bahkan suaminya sendiri: dia wanita pertama di Afrika Tengah dan Timur yang meraih gelar doktor; dia dekan wanita pertama di Kenya; dia perempuan Kenya pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden. Dan ini dia, pada pekan lalu, dunia memberinya Hadiah Nobel Perdamaian 2004.
Wangari adalah tokoh kelima dari Benua Afrika yang memperoleh Nobel itu. Sebelumnya ada Albert John Lutuli (Afrika Selatan, 1960), Desmond Tutu (Afrika Selatan, 1983), Nelson Mandela dan F.W. de Klerk (1993, Afrika Selatan), serta Kofi Annan (Ghana, 2001). Maka Wangari kembali memecahkan rekor di seantero benua itu: dia perempuan Afrika pertama yang menating hadiah tersebut dari Oslo ke kampung halamannya di Kenya sana.
Air mata meleleh di pipi Wangari Maathai ketika ia mendapatkan kabar baik itu. Dia bersimpuh di tanah pekarangan Hotel Outspan di Nyeriini nama kota kelahirannya. Lalu kedua tangannya menancapkan bibit Nandi Flame, pohon "anak negeri Kenya". Tak lama kemudian, wanita berumur 64 tahun ini dirubungi tamu yang berduyun-duyun datang ke hotel itu untuk menyalaminya.
Dia menyisihkan 193 kandidat, termasuk Ketua Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Mohamed El Baradei. Nama besar lain adalah aktivis antinuklir Rusia, Alexander Nikitin, yang membocorkan detail armada nuklir dan sampah radioaktif dari 1965 sampai 1989. "Untuk pertama kalinya lingkungan masuk agenda Hadiah Nobel Perdamaian. Dan kami menambahkan dimensi baru bagi perdamaian," kata Ketua Komite Nobel Ole Danbolt Mjoes.
Pertimbangan itu membawa Komite ke nama Wangari Maathai, yang dinilai sebagai pendorong perdamaian dan perbaikan lingkungan. Mendirikan Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) di Kenya pada 1977, Wangari telah menggerakkan penanaman lebih dari 30 juta pohon di seantero benua. Gerakan ini amat berarti di Afrika. Sebab, menurut laporan PBB pada 1989, hanya sembilan pohon ditanam untuk setiap 100 pohon yang ditebang.
Lahir pada 1 April 1940 di Nyeri, Wangari mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Ini sungguh kemewahan buat perempuan udik di pedalaman Kenya. Gelar sarjana biologi diraihnya di Mount St. Scholastica College, Kansas, lalu master di University of Pittsburgh. Kembali ke Kenya, Wangari bekerja di lembaga riset kedokteran hewan University of Nairobi. Di tengah cibiran kaum pria di universitas itu, Wangari membuktikan diri mampu meraih gelar doktor dan berhasil mengembangkan karier akademiknya.
Pada era 1970-an, Wangari mulai terlibat dalam sejumlah proyek untuk rakyat miskin. Ini cikal-bakal Gerakan Sabuk Hijau. Fokus gerakan ini adalah penyediaan lapangan kerja dan perbaikan lingkungan hidup. Proyek itu dipuji amat manjur dalam menghambat laju penggundulan hutan. Prestasi itu harus dia bayar mahal. Suaminya menceraikan ibu tiga anak itu dengan alasan dia "terlalu terpelajar, terlalu kuat, terlalu sukses, terlalu tangguh, dan terlalu gemar mengatur."
Pada 1998, Wangari menjadi pusat sorotan dunia karena berani menentang Presiden Kenya Daniel arap Moi. Presiden menyetujui proyek perumahan mewah yang menggerus ratusan hektare hutan Kenya, sementara Wangari menentang mati-matian proyek tersebut. Buntutnya, dia ditangkap dan dipenjarakan pada 1991. Pergantian angin politik membawanya ke parlemen Kenya pada Desember 2002, saat Mwai Kibaki mengalahkan Daniel. Kibaki lalu menunjuk Wangari sebagai Asisten Menteri Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Satwa Liar pada Januari 2003.
Ketika mendengar besarnya hadiah uang yang akan diterimanya sebagai peraih Nobel Perdamaian, Wangari terperangah. "Seumur-umur, saya belum pernah melihat uang sebanyak itu. Saya akan menggunakannya untuk memperkuat kampanye perlindungan hutan Afrika," ujarnya.
Alhasil, duit 10 juta krona Swedia atau sekitar Rp 12,4 miliar tersebut boleh jadi bakal makin menghijaukan benua yang tandus itu.
Yanto Musthofa (BBC, Reuters, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo