Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA baik dari Brussels itu tak mampu meredakan kejengkelan Aydin Kurt. Tak habis pikir dia membandingkan nasib negerinya dengan Rumania dan Bulgaria. Kurt, tukang mebel berumur 53 tahun, sering bekerja di kedua negara itu. Miskin, dan jauh lebih buruk dari Turki, menurut dia. "Tapi Uni Eropa menerima kedua negara itu karena mereka beragama Kristen," kata Kurt sembari bermain kartu bersama rekan-rekannya di sebuah kedai teh tradisional di Istanbul.
Kurt dan banyak warga Turki lainnya masygul, meski Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan para pembantunya girang oleh kabar baik ini: Komisi Eropa (lembaga legislatif Uni Eropa) merekomendasikan Turki masuk ke babak perundingan untuk menjadi anggota Uni Eropa. Di "rapor prestasi" Turki, Komisi Eropa mencatat, Turki sudah banyak memenuhi standar Eropa. Maka, Presiden Komisi Eropa Romano Prodi Rabu pekan lalu merekomendasikan perundingan untuk menerima Turki dalam persekutuan negara-negara Eropa itu.
Perdana Menteri Erdogan berkomentar bahwa ini "langkah yang bersejarah". Tapi ucapan pemimpin Turki itu tak meredakan kejengkelan Kurt dan kawan-kawan melihat nasib baik Rumania dan Bulgaria. Menurut Prodi, Bulgaria dan Rumania sudah "di jalur" menjadi anggota Uni Eropa pada 2007. Turki? Jangankan masuk, tanggal perundingan pun baru akan diputuskan dalam pertemuan puncak 25 pemimpin negara Uni Eropa, Desember nanti.
Bukan rahasia lagi, aroma sentimen anti-Turki masih kuat menyengat di Eropa. Jerman, negara terbesar Uni Eropa, misalnya, terbelah (lihat tabel) antara mendukung dan menolak. Pemerintah Prancis mendukung tapi akan mereferendumkannya kepada warganya terlebih dahulu. Menteri Keuangan Prancis Nicolas Sarkozy, salah satu calon kuat pengganti Presiden Jacques Chirac pada 2007, yakin Turki harus menanti paling cepat 2015. "Kini penduduk Turki 71 juta, 100 juta dalam 20-30 tahun mendatang. Perimbangan Eropa akan terpengaruh," kata Sarkozy.
Umumnya, sikap anti-Turki memang terkait dengan populasinya yang bejibun tapi kerediramalkan menyamai Jerman pada 2015 dan melampauinya pada 2025. Menerima Turki berarti menerima imigrannya ke bursa kerja Uni Eropa. Faktor mayoritas muslim juga menjadi momok di banyak negara Eropa. Belum lagi pertimbangan "geografis: menerima Turki berarti pula mengulur garis perbatasan Uni Eropa sampai ke Irak, Iran, dan Suriahcelah-celah baru arus imigran gelap.
Olli Rehn, komisaris baru bidang perluasan Uni Eropa, tengah menyiapkan mekanisme permanen menutup perbatasan untuk menghadapi gelombang migrasi dari Turki. Rekomendasi Komisi disertai klausul "katup otomatis" yang bisa memutus perundingan begitu Turki dinilai mundur dari reformasi demokrasi.
Perlakuan "istimewa" ini memperkuat kecurigaan publik Turki soal sentimen anti-Islam. "Mengapa agama kami dijadikan persoalan?" tanya Halit Pey, salah satu warga Istanbul. "Hanya karena kami muslim, Eropa tak menginginkan kami," ujarnya. Tapi, bagi Erdogan, Islam adalah kartu truf. Dia yakin tak ada alasan lagi menolak Turki dengan segala prestasinya di bidang politik, ekonomi dan hukum, terutama dalam tiga tahun terakhir. Ibarat Jembatan Bosphorus yang menghubungkan Eropa dengan Asia, Erdogan menawarkan Turki sebagai pintu dialog Barat dengan Islam.
"Kini Eropalah yang diuji. Jika tak ingin terjadi benturan peradaban, Turki harus diberi tempat," kata Erdogan.
Yanto Musthofa (Guardian, BBC, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo