Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah minivan yang membawa kaleng cat, kuas, ember, dan tangga kayu melaju di jalan berbukit Sao Paulo menuju tepi Sungai Atibainha, Brasil. Di sore hari yang masih terasa terik, menjelang akhir Februari lalu, lima seniman jalanan di dalam mobil itu memulai pembuatan mural kritik di penyangga jembatan di Pegunungan Serra da Cantareira. Jembatan ini melintasi salah satu sumber air paling penting di Negara Bagian Sao Paulo.
Mural bergambar sebuah mobil dengan tulisan "Selamat datang di gurun Cantareira" itu menjadi penanda sekaligus pengingat bahwa Brasil sedang menghadapi krisis air yang panjang. "Ide saya adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat sudah berapa banyak kita kehilangan air, dan Sao Paulo akan segera berubah menjadi gurun," kata Thiago Mundano, pembuat mural, kepada The Guardian, Senin pekan lalu.
Karya Mundano merupakan bagian dari gerakan yang melibatkan seniman, aktivis, dan jurnalis independen untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya krisis air. Selama ini media dinilai hanya sebagai replikasi komunikasi pemerintah.
Brasil saat ini sedang mengalami musim kemarau terburuk dalam 84 tahun terakhir yang menyebabkan bendungan-bendungan di negara itu kering, terutama di Sao Paulo. Bendungan Atibainha dan Bendungan Jaguari, yang merupakan sumber utama pasokan air bersih, terlihat kering karena hujan tak kunjung turun.
Keadaan itu kontras dengan fakta bahwa negara pengekspor kopi terbesar di dunia tersebut diberkahi Hutan Amazon dan sungai-sungai besar. Dengan berkah ini, Brasil menyimpan seperdelapan pasokan air tawar dunia. Nyatanya, kini Brasil sedang bergulat mengatasi kekeringan yang diperburuk oleh tercemarnya air sungai, penggundulan hutan, dan pertumbuhan penduduk.
Menteri Lingkungan Brasil Izabella Teixeira mengatakan tiga wilayah paling padat penduduk di negaranya mengalami kekeringan terburuk sejak 1930. Tiga wilayah itu adalah Sao Paulo, Rio de Janeiro, dan Minas Gerais. "Kami tidak pernah melihat situasi seperti ini," ujar Teixeira. Menurut dia, kekeringan juga berimbas pada industri, pertanian, dan pasokan energi sehingga bisa mengganggu perekonomian.
Sao Paulo merupakan negara bagian terpadat di Brasil dan menyumbang sepertiga dari perekonomian negara itu serta 40 persen produksi industri. Pedro Zambarda de Araujo, salah satu warga Sao Paulo, menceritakan setiap hari dia terpaksa mengganti menu makanan dengan roti lapis agar tak perlu mencuci piring kotor. Di sini pasokan air bersih dihentikan sepanjang pukul 09.00-15.00.
"Saya tidak bisa mandi sehingga harus menunggu sepanjang hari sampai air menyala dan cepat-cepat mandi dalam waktu lima menit. Mandi adalah sebuah kemewahan," kata De Araujo, seperti dilansir situs Fusion.net, Selasa dua pekan lalu.
Sejak negara terluas di Amerika Selatan itu mengalami musim kemarau yang berkepanjangan, pasokan air bersih di Sao Paulo kini dijatah. Pemerintah, melalui perusahaan air negara SABESP, hanya memberi akses air bersih lima-enam jam setiap hari. Akses air bersih secara penuh hanya diberikan dua hari dalam satu minggu. Penjatahan air bersih juga berimbas pada melonjaknya harga air minum kemasan dalam beberapa bulan terakhir, dari 2,50 reais (sekitar Rp 11.500) menjadi 3,50 reais (lebih-kurang Rp 14.200).
Menurut Pedro de Araujo, jika situasi semakin buruk, orang-orang di Sao Paulo harus pindah ke negara bagian lain yang memiliki pasokan air cukup. "Saya tidak memiliki istri dan anak, tapi situasi ini menyulitkan semua orang," ujarnya.
Pemerintah setempat berjanji memberikan solusi, seperti membangun waduk baru, tapi hal itu membutuhkan waktu lama. Sedangkan 20 juta orang yang berada di kawasan metropolitan itu kini dibayangi perkiraan bencana, yang menyebutkan sistem utama waduk Sao Paulo akan mengering tahun ini.
Gubernur Sao Paulo Geraldo Alckmin mengakui situasinya mengkhawatirkan. "Perubahan iklim sudah kita rasakan. Saat hujan, air terlalu banyak, tapi saat kemarau menjadi terlalu kering," ucapnya seperti dikutip The New York Times.
Dia telah melakukan beberapa tindakan penanggulangan, seperti meningkatkan biaya untuk pemborosan konsumsi air dan memberikan diskon bagi mereka yang berhemat. Dia juga membatasi pasokan air untuk industri dan pertanian. Namun kritikus tetap menilai pemerintah gagal mengantisipasi musim kemarau, yang akhirnya berujung pada krisis air. Pemerintah Brasil dianggap tak memiliki perencanaan yang baik dan mengabaikan penderitaan warga karena alasan politik.
Menurut Samuel Barreto, pakar air dari lembaga Nature Concervancy, tahun ini intensitas hujan 60 persen lebih rendah daripada tahun-tahun terkering yang pernah dialami negara itu. "Tapi, jauh sebelum itu, pemerintah telah gagal mengatasi masalah dari sisi permintaan dan pasokan," katanya.
Rosalina (The Guardian, The New York Times, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo