Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pil Yang Sulit Ditelan

Sentimen rasial masih hidup di Amerika Serikat. Tampak dari kejadian di kampus hingga komunitas.

16 Maret 2015 | 00.00 WIB

Pil Yang Sulit Ditelan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berkemeja putih dan memakai dasi hitam, Presiden Amerika Serikat Barack Obama berdiri paling depan dalam barisan ratusan orang yang berkumpul di dekat Jembatan Edmund Fettus, Selma, Alabama, Sabtu dua pekan lalu. Bergandengan dengan istrinya, Michelle; anggota Kongres, John Lewis; dan mantan presiden George W. Bush, bersama 100 anggota Kongres, aktivis hak asasi manusia, serta ribuan warga, dia memperingati 50 tahun unjuk rasa damai pejuang kulit hitam di lokasi itu.

Tepat setengah abad lalu, hari itu polisi dan tentara negara memukuli rombongan demonstran dan melepaskan gas air mata. Penyebabnya pengunjuk rasa yang dipimpin aktivis hak sipil warga Amerika keturunan Afrika, Martin Luther King Jr, menuntut kesamaan hak pilih dengan warga kulit putih. "Kita berkumpul untuk menghormati keberanian warga biasa Amerika…. Laki-laki dan perempuan yang meski berdarah-darah dan dengan tulang retak tetap teguh pada tujuan mereka serta bergerak demi keadilan," kata Obama dalam pidatonya.

Peristiwa yang dikenal sebagai Bloody Sunday itu kemudian mendorong disahkannya Undang-Undang Hak Pilih. Presiden Lyndon B. Johnson menandatangani undang-undang berisi larangan diskriminasi ras dalam pemungutan suara itu pada 6 Agustus 1965. Namun kini Obama gusar karena Kongres enggan mengesahkan ulang undang-undang itu. "Jika kita menghormati hari ini, biarkan (anggota Kongres) yang ratusan ini kembali ke Washington, mengumpulkan 400 lagi dan bersama berjanji menjalankan misi mengembalikan Undang-Undang (Hak Pilih) tahun ini," ucapnya.

Dia pun menyebutkan Amerika masih dalam bayang-bayang sejarah rasisme. Seperti dikutip The Washington Post, Obama berujar, "Kita hanya perlu membuka mata, telinga, dan hati untuk menyadarinya."

Hanya berselang sehari, ucapan Obama terbukti. Sigma Alpha Epsilon (SAE), kelompok persaudaraan University of Oklahoma, merekam yel-yel dengan kata-kata rasis, yang kemudian tersebar lewat media sosial Twitter. Dalam video bertanggal 9 Maret yang dimuat akun @OU_Unheard itu, tampak salah satu pemuda memimpin sejumlah rekannya menyanyikan yel, "Tidak akan pernah ada negro di SAE."

Presiden University of Oklahoma David Boren segera melarang SAE dari kampus sehari setelah kabar itu beredar. "Kepada mereka yang menyalahgunakan kebebasan bicara… kalian memalukan," tuturnya, seperti dilaporkan The Washington Post, Senin pekan lalu.

Kejadian itu hanya salah satu contoh teranyar. Lebih awal pada bulan ini, investigasi hak sipil oleh Departemen Kehakiman mengungkap bahwa kepolisian dan pengadilan Kota Ferguson terlibat praktek diskriminasi terhadap kalangan Afrika-Amerika. Mereka menargetkan warga kulit hitam dalam pelanggaran rambu lalu lintas, pengerahan massa, dan hukum penjara.

Investigasi ini diperintahkan oleh Jaksa Agung Eric Holder setelah peristiwa penembakan Michael Brown oleh polisi Ferguson, Darren Wilson. Laporan yang dirilis pada 4 Maret menunjukkan, sejak 2012 hingga 2014, sebanyak 85 persen pengendara yang diberhentikan polisi Ferguson adalah warga Amerika keturunan Afrika. Sekitar 90 persen penerima surat tilang juga berkulit hitam. Begitu pula 88 persen kasus penggunaan kekerasan oleh polisi melibatkan warga kulit hitam.

Warga Afro-Amerika pula yang 85 persen diadili karena pelanggaran kecil, seperti pelanggaran di jalan raya. Sebanyak 94 persen dari mereka juga dituduh melakukan pelanggaran kepatuhan. Di antara semua pelanggaran itu, hanya 68 persen kasus warga kulit hitam yang dihentikan penanganannya.

Penyelidikan juga menemukan gurauan tentang warga kulit hitam beredar di kalangan personel polisi dan pengadilan. Salah satunya terdapat dalam sebuah surat elektronik pada November 2008, berupa guyonan tentang Presiden Obama bahwa dia tidak akan lama menjadi presiden. "Pria kulit hitam macam apa yang bisa punya pekerjaan tetap selama empat tahun?" tertulis di e-mail itu.

Sepekan setelah laporan Departemen Kehakiman itu, Kepala Kepolisian Ferguson, Tom Jackson, menyatakan mundur dari jabatannya mulai 19 Maret. "Ini pil yang sulit ditelan," ujarnya, seperti dikutip CNN, Kamis pekan lalu. Jackson adalah pejabat keenam yang mundur dari jajaran aparat kota berpenduduk 67 persen kulit hitam itu pasca-kerusuhan akibat kematian Brown.

Departemen Kehakiman memastikan bakal meminta polisi dan pengadilan Ferguson mengambil langkah perubahan.

Sejumlah peristiwa rasisme yang muncul belakangan sebenarnya hanya puncak gunung es. Data Pew Research Center, lembaga independen peneliti data publik di Amerika, yang dipublikasikan pada Agustus 2013 menunjukkan ketimpangan antara warga kulit hitam dan kulit putih bahkan lebih besar. Pertama, dari segi pendapatan rata-rata rumah tangga. Selisih rata-rata pendapatan rumah tangga kulit hitam dengan kulit putih pada 1967 sebesar US$ 19.360. Sedangkan pada 2011 selisihnya naik menjadi US$ 27.414.

Kedua, kesenjangan dalam tingkat pernikahan. Pada 1967, sebanyak 74 persen orang kulit putih dan 61 persen orang kulit hitam berusia 18 tahun ke atas menikah. Pada 2011, tingkat pernikahan masing-masing menurun. Warga kulit putih yang menikah sebanyak 55 persen, sedangkan kulit hitam 31 persen. Itu berarti ketimpangan tingkat pernikahan kedua ras ini naik dari selisih 13 poin pada 1967 menjadi 24 poin pada 2011.

Kesenjangan ketiga berkaitan dengan nilai rata-rata kekayaan warga kulit hitam dengan kulit putih. Pada 1967, selisih rata-rata kekayaan mereka senilai US$ 75.224. Sedangkan pada 2011 selisihnya naik menjadi US$ 84.960.

Melihat lebih jauh ke enam dekade terakhir, ada pula ketimpangan yang tak berubah, yaitu tingkat pengangguran warga kulit hitam tetap dua kali lebih besar daripada pengangguran warga kulit putih. Menurut Bureau of Labor Statistics, pada 1954, tingkat pengangguran kulit hitam 9,9 persen, sementara kulit putih 5 persen. Pada 2013, tingkat pengangguran kulit hitam mencapai 13,4 persen, sedangkan kulit putih hanya 6,7 persen.

Ironisnya, kondisi serupa bahkan terjadi di Selma sendiri. Meski Selma merupakan simbol perjuangan kulit hitam, sekitar 40 persen penduduknya masih hidup di bawah garis kemiskinan dan jumlah penganggur dua kali lipat dari rata-rata negara bagian lain.

Isu rasisme tak hanya melibatkan orang kulit putih dan kulit hitam, tapi juga imigran lain yang mengadu nasib ke Amerika. Ini ditunjukkan oleh Human Rights Watch (HRW), organisasi non-pemerintah yang melakukan riset dan advokasi hak asasi, lewat laporan Illusion of Justice pada Juli 2014. Laporan berisi dokumentasi pengintaian diskriminatif biro penyelidik federal, FBI, terhadap muslim Amerika terkait dengan investigasi terorisme.

Menurut laporan itu, perlakuan diskriminatif yang dimaksud berupa identifikasi individu atau kelompok sebagai potensi teroris hanya berdasarkan afiliasi keagamaan atau politik. Mereka juga membayar informan atau agen penyamar untuk menyusup ke institusi keagamaan dan budaya demi mencari individu yang berpotensi mempengaruhi. FBI pun mewawancarai anggota kelompok dengan kedok pendekatan terhadap komunitas, padahal sebenarnya pengumpulan informasi.

Selama riset HRW, banyak anggota jemaah masjid menggambarkan FBI atau pemerintah lokal dalam kondisi penyamaran. Dari mobil tanpa tanda yang parkir di luar masjid, orang asing mencatat pelat nomor mobil-mobil yang parkir di luar masjid, ikut mendengar khotbah salat Jumat, memperkenalkan diri kepada jemaah, hingga menawari pekerjaan, pinjaman, ataupun sumbangan. Muslim Amerika jadi khawatir terjerat masalah hukum karena bergabung dengan komunitas, pergi ke masjid, menyumbang organisasi amal, atau menjadi relawan di acara komunitas.

Masih berdasarkan penelitian organisasi itu, individu muslim di Amerika mengakui selama beberapa waktu mereka menghindari berpendapat tentang politik dalam praktek keagamaan, seperti ibadah berjemaah. Beberapa orang menyebutkan ketakutan diintai dan adanya penyusup membuat kualitas masjid menurun dari tempat perlindungan spiritual serta kebersamaan menjadi tempat waspada perkataan, interaksi, dan tingkah laku.

Akibat ketidakpercayaan ini, beberapa muslim Amerika jadi emoh berurusan dengan penegakan hukum. Mereka khawatir dituntut sewenang-wenang. HRW menyebutkan sikap enggan itu berkaitan pula dengan kurangnya kemauan muslim melaporkan tindak kejahatan ataupun bekerja sama dengan polisi dalam investigasi terorisme.

Rasisme juga merambah ke perlakuan Amerika terhadap orang-orang di perbatasan. Kaum minoritas rasial, etnis, dan agama yang tinggal di perbatasan atau bepergian melintas batas harus siap diasingkan, dihentikan di jalan, diburu, atau diusik oleh petugas patroli Bea-Cukai dan Perlindungan Perbatasan Amerika karena penampilan fisik atau nama. Peraturan Amerika mengizinkan patroli perbatasan dalam jarak yang masuk akal, yaitu 100 mil udara atau sekitar 160 kilometer. Ini berarti orang yang tinggal dalam zona patroli, baik di perbatasan utara maupun selatan, misalnya orang Meksiko, kerap berurusan dengan petugas dan melapor pemindaian rasisme.

Menurut HRW, Kepolisian New York juga rutin menanyai orang berciri Amerika Latin tentang status imigrasi mereka. Pemindaian berdasarkan etnis, ras, dan kebangsaan dilakukan petugas terhadap orang-orang dari luar negeri yang kembali ke Amerika lewat jalur udara dan darat. Kalangan muslim Amerika atau siapa pun yang tampak sebagai muslim biasa diinterogasi sendirian tentang pandangan politik, kepercayaan dan praktek agama, serta keanggotaan mereka.

Meski mengakui "bayang-bayang sejarah rasisme" itu, Presiden Obama mengisyaratkan tak putus asa. Dengan begitulah harapan penghapusan rasisme masih dipelihara. "Gerakan ini belum berakhir. Pertarungan belum dimenangi," katanya. Anggota Kongres, John Lewis, yang merupakan saksi mata peristiwa bersejarah Selma, pun menyebutkan masih banyak pekerjaan harus dilakukan. "Berjuanglah sampai kita menebus jiwa Amerika," ujarnya.

Atmi Pertiwi (CNN, The Huffington Post, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus