Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fiji
Kudeta Fiji, Menolak Dominasi Imigran India

Seorang pengusaha melakukan kudeta di Fiji. Didukung kelompok sipil bersenjata AK 47, George Speight, pengusaha kayu Fiji, melakukan penyanderaan terhadap Perdana Menteri Mahendra Chaudry dan tujuh menteri anggota kabinet. Ia menunjuk seorang pendatang baru politik, Ratu Timoci Silatolu, sebagai perdana menteri baru. Alasan kudeta, Chaudry yang keturunan India selama ini memihak kepentingan ekonomi orang India. Populasi Fiji sekitar 813 ribu orang, 44 persennya keturunan India. Sisa warga Fiji yang lain adalah penduduk asli. Imigran India oleh koloni Inggris dulu dipekerjakan sebagai buruh perkebunan gula, yang kini memang mendominasi Fiji.

Speight adalah lulusan sekolah perdagangan di Australia. Ia adalah putra bekas perdana menteri Sam Speight. Belakangan bisnisnya banyak gagal. Terakhir Speight diberhentikan dari jabatan direktur Fiji Pine Ltd. dan Fiji Hardwood. Ia dipecat sebagai direktur pengelola Health Fiji Ltd—sebuah perusahaan pialang asuransi—karena dituduh menyalahgunakan dana, dan merupakan pemain kunci yang menyebabkan sebuah perusahaan Amerika kalah tender panen mahoni di Fiji.

Keributan terjadi setelah pengumuman kudeta, yang mengakibatkan toko-toko India dirusak massa. Presiden Ratu Sir Kamisee Mara menyatakan Fiji dalam keadaan darurat. Kolonel Sitiveni Rabuka, yang pada tahun 1980-an mencoba melakukan kudeta tapi sekarang justru mendukung pemerintah, menjadi utusan Mara untuk bernegosiasi. Tapi gagal. Speight yakin, aksinya didukung mayoritas etnis, terutama kaum nasionalis yang marah karena Chaudry sering memaksa para pemilik tanah asli Fiji agar terus menyewakan kepada penyewa India ketika waktunya sudah lewat. Tapi analisis memprediksi, kup itu tidak berlangsung lama karena Speight tidak mendapat sokongan tentara.


Korea Selatan
Suap Terbukti, Perdana Menteri Kor-Sel Mengundurkan Diri

Mungkin di antara banyak pemimpin (dan mantan pemimpin) Asia yang korup, Korea Selatanlah yang konsisten melalui jalur hukum bagi para petinggi. Setelah pengadilan setempat membuktikan tidak sahnya kekayaan pribadi Park Tae Joon, pria 72 tahun yang menjabat perdana menteri Korea Selatan itu mengundurkan diri. Menteri Keuangan Lee Hun Jai ditunjuk Presiden Kim Dae Jung menjadi perdana menteri sementara.

Semenjak kenaikannya menjadi perdana menteri, partai oposisi gencar menuntut Joon turun dari jabatan. Mereka meminta klarifikasi kekayaan Joon. Sejak 1993 otoritas pajak telah membuktikan pensiunan jenderal ini menerima suap US$ 3,3 juta. Joon, yang dikenal dekat dengan Presiden Park Chung Hee (terbunuh pada 1979), sebelumnya menjabat presiden direktur Pohang Iron dan Steel Co. (POSCO), selama 1981-1992. Ini adalah perusahaan baja terbesar di dunia. Joon kemudian dipaksa mundur dari jabatannya sebagai direktur. Presiden saat itu, Kim Young Sam, memaksa Joon mundur dengan tuduhan tidak membayar pajak. Menghindar dari Young Sam, Joon melarikan diri ke Jepang dan tinggal di sana empat tahun. Pada 1997 ia kembali ke Korea—setelah tuntutan dibersihkan—dan menjadi ketua Partai Demokrat Liberal Bersama. Pada saat pemilihan presiden tahun 1997, Kim Dae Jung melakukan aliansi dengan partainya.

Dari sinilah ia naik ke tampuk pemerintahan. Apalagi perdana menteri sebelumnya, Kim Jong Pil, mendukungnya. Kini pengadilan membuktikan bahwa semua dana disembunyikan di nomor rekening manajer finansialnya, Cho Chang Son.


Filipina
Teror Bom, Abu Sayyaf Pegang Kartu

Ketegangan makin meningkat di Filipina saat para negosiator direncanakan bertemu dengan Abu Sayyaf pekan ini. Kamis pekan lalu, sebuah bom meledak di pusat belanja Makaty City. Bom lain meledak di Jolo dan menewaskan tujuh orang. Di Zamboanga bom menewaskan seorang wanita. Sementara itu, Jumat, sebuah bom meledak di kantor polisi Basilian, dekat Zamboanga. Karena itu, sudah ada 8 orang yang tewas dan 75 orang luka parah.

”Ini taktik gerilya Abu Sayyaf untuk mengalihkan perhatian memenangkan tuntutan negosiasi,” kata Muhammad Alamia, Kepala Kepolisian Jolo. Para negosiator yang akan menemui Sayyaf di persembunyiannya di hutan lebat Pulau Jolo, 600 kilometer selatan Manila, adalah Robert Aventajado—duta kepresidenan Abdusakur Tan—gubernur provinsi, dan utusan Libya Abdul Rajab Azzarouq.

Presiden Joseph Estrada mendapat kritik karena saat situasi genting—bom meletus—malah berada di Cina. Di Beijing inilah Menlu Domingo Siazon membuat pernyataan yang mengagetkan: para penyandera meminta tebusan US$ 2 juta untuk pembebasan Wallert. Tapi itu dibantah Aventajado dan Abdusakur Tan. Akankah pertemuan mereka dengan Abu Sayyaf berjalan mulus?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus