Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Demi rahasia sang negara

Parlemen melaysia meloloskan ruu rahasia negara, osa (official secret act) 1986 dan masih akan di sahkan yang dipertuan agung. banyak pihak tidak setuju, dikhawatirkan osa disalah gunakan. (ln)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA anggota parlemen yang dikeluarkan dari sidang. Ada pula demonstrasi 12.000 wartawan dan pendukung aksi kampanye kebebasan informasi. Ada pula petisi yang ditandatangani 36.000 orang yang menolak kehadirannya. Toh sidang parlemen Jumat pekan lalu meloloskan RUU Rahasia Negara (OSA -- Official Secret Act) 1986 dengan suara 131 berbanding 21. Sementara itu, 17 wakil rakyat lainnya -- semuanya wakil dari koalisi Barisan Nasional -- tercatat abstain. Kendati demikian, amendemen UU Rahasia Negara 1972 itu masih akan menempuh jalan pengesahan Yang Dipertuan Agung sebelum dinyatakan berlaku. Sekiranya RUU itu diundangkan, dokumen kabinet federal, kabinet negara bagian, dokumen pertahanan dan keamanan nasional, serta yang menyangkut hubungan internasional, termasuk dalam dokumen yang tunduk kepada UU tersebut. Berdasarkan UU tersebut, hampir setiap pejabat negara mendapat kewenangan untuk menentukan kadar kerahasiaan dokumen: sangat rahasia, confidential, dan terbatas. Hal baru dalam ketentuan ini adalah bahwa setiap pelanggaran perundangan ini akan dihukum penjara 1 hingga 14 tahun. Sedang pada OSA 1972 hanya dicantumkan hukuman denda. Sambil menampik segala tuduhan yang ditujukan kepada RUU tersebut, berkatalah PM Mahathir ketika mengantarkan OSA ke parlemen, "Pemerintah berpendapat, protes-protes yang nyaring terdengar lebih banyak menyuarakan kepentingan politik pihak-pihak tertentu, khususnya kaum oposisi." Ia menolak bahwa ketentuan semacam ini hanya ada di Malaysia. "Sebenarnya RUU ini sudah ada di hampir semua negara. Bahkan RUU ini mengikuti perundangan yang ada di Inggris," kata Mahathir. Lee Lam Thye, anggota parlemen dari DAP, menganggap OSA akan menutupp peluang rakyat untuk memperoleh informasi. Tapi Sulaiman Mohammad, wakil rakyat dari Barisan Nasional, berpendapat sebaliknya. Tanpa OSA, "Tidak cuma kewibawaan pemerintah bisa digugah, malah juga rahasia negara bisa dibeli, karena toh tidak ada ancaman hukuman untuk tindakan pengkhianatan seperti itu." Sumber-sumber di parlemen mengaku ada unsur dalam Barisan Nasional yang tidak menyetujui RUU itu. "Mereka lebih baik tidak memberikan suara ketika pengambilan suara. Soalnya, dalam taklimat (briefing) kepada semua anggota Barisan Nasional dan parlemen, 24 November lalu Mahathir mengancam akan mengenakan tindakan indisipliner bagi mereka yang mencoba menentang RUU tersebut," ujar sumber tadi. Menurut sumber yang sama, Datuk Musa Hitam, bekas deputi PM, termasuk salah seorang yang tidak setuju. Kepada Ekram H. Attamimi dari TEMPO, Datuk Musa berucap, "Saya memang tidak begitu gembira dengan ketentuan perundangan ini." Hanya saja tokoh kuat dari Johor yang sekarang tersingkir itu enggan mengulasnya lebih lanjut. "Saya 'kan anggota BN juga yang harus taat kepada tata tertib partai," kata Datuk Musa. Salah seorang anggota parlemen yang enggan disebut namanya mengkhawatirkan UU ini bisa menutup rapi bisnis terselubung keluarga pejabat. Dengan mengklasifikasikan dokumen proyek bersangkutan itu "rahasia" atau "sangat rahasia", mereka terlindung dari usaha pembeberan kegiatan mereka di depan umum. Tapi Datuk Mohammad Rahmat, bekas dubes di Indonesia yang sekarang menjadi anggota parlemen berpendapat tidak mudah untuk menggolongkan sebuah dokumen menjadi rahasia negara. "Harus ada stempel resmi Kerajaan Malaysia," jawabnya. Terlepas dari pro dan kontra terhadap OSA 1986, ketentuan sebelumnya sebetulnya hanya sempat dihadapkan kepada lini terdakwa. Salah seorang di antaranya adaka Lit Kit Siang, pemimpin barisan oposisi parlemen. Tampaknya, OSA 1986 tak akan berbeda dengan ISA (Internal Security Act) senjata baru pemerintah untuk membendung upaya "mendiskreditkan" kewibawaannya. James R. Lapian, Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumnpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus