Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Demokrasi Berdisiplin ala Myanmar

Redaktur senior Bambang Harymurti "mengintip" Myanmar pekan lalu. Berikut laporannya setelah sepuluh hari menelisik Kota Yangon dan Nay Pyi Taw.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkinkah membangun sebuah ibu kota baru secara rahasia? Ini boleh jadi terdengar seperti sebuah pertanyaan konyol, namun itulah yang mendominasi benak saya ketika berkunjung ke Nay Pyi Taw, ibu kota baru Myanmar sejak 2005. "Kami memang mendengar rumor ada kegiatan pembangunan besar-besaran tapi tak pernah menyangka yang dibangun adalah sebuah ibu kota," kata Myint Myint San, pensiunan pegawai kementerian kesehatan yang menjadi pemandu saya.

Pengakuan perempuan setengah baya yang mendapat gelar PhD dari Jepang ini membuat saya ternganga. Apalagi setelah tiba di kota yang diperkirakan berpenduduk satu juta jiwa dan berarti "kota kediaman raja" ini. Teman-teman saya di Jakarta pasti akan iri melihat Nay Pyi Taw, sebuah kota yang dibangun dari tanah kosong terpencil, jauh dari permukiman, dengan jalan amat lebar dan sepi. Semua amat teratur dan terencana, mirip kompleks real estate raksasa. Bahkan di kompleks gedung parlemen jalan melebar menjadi 20 jalur dan kelihatannya memang sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan parade.

Kota yang masih terus dibangun ini agak mengingatkan saya pada Brasilia, ibu kota Brasil, sejak 1961, yang juga dibangun di kawasan terisolasi dan dimulai dari lahan kosong. Desain bangunannya pun memiliki spirit yang sama. Brasilia amat terpengaruh gaya art deco, sedangkan Nay Pyi Taw bergaya campuran antara struktur Stalinis dan atap lokal. Perbedaan utama adalah cara membangunnya. Brasilia dibangun secara terbuka atas perintah konstitusi. Adapun pembangunan ibu kota baru Myanmar ini dilakukan secara rahasia pada 2002, atas perintah sang penguasa.

Penguasa saat itu adalah junta militer di bawah pimpinan Jenderal Than Shwe. Pria kelahiran 1933 ini menggantikan Jenderal Saw Maung, komandan militer yang melakukan kudeta pada 1988 dan mengubah sistem perekonomian negaranya menjadi bergaya sosialis ala Stalin.

Setelah berkuasa, Than Shwe, pria yang pendiam, perengut, dan tak suka publikasi ini lalu meluweskan sistem ekonomi dan menggulirkan gagasan "Konstitusi Baru Demokrasi Berdisiplin" selama hampir 15 tahun.

Konstitusi baru ini baru direferendum pada 2008 dan pemilihan umum diadakan pada 2010. Pemilu yang tak memperbolehkan keikutsertaan partai pendukung Suu Kyi ini dinyatakan masyarakat internasional sebagai pemilu yang "penuh kecurangan" dan dimenangkan partai yang didukung militer.

Presiden baru, Thein Sein, dilantik dan setelah itu kebijakan pemerintah menjadi lebih liberal. Aung San Suu Kyi dibebaskan dan partainya diperkenankan mengikuti pemilu sela untuk memperebutkan 48 kursi parlemen yang kosong karena pemilik lamanya masuk kabinet atau jabatan eksekutif lainnya.

Pemilu yang tak akan mengganti pemerintah ini memang berlangsung lebih terbuka. Toko-toko di Yangon dan di berbagai pelosok daerah diperkenankan menjual kaus dan emblem kampanye Aung San Suu Kyi dan partai pendukungnya. "Tahun lalu hal ini masih dilarang," kata Myint Myint San.

Ekonomi pun membaik. Tahun lalu satu dolar berharga 1.200 kyat, sekarang satu dolar hanya 800 kyat.

Kelonggaran lain amat terasa di sektor media. Myanmar kini dibanjiri aktivis eksil yang namanya telah puluhan tahun masuk daftar hitam imigrasi pemerintah. Sekitar 200 tahanan politik dibebaskan hingga tak ada lagi wartawan di penjara. "Ini sungguh di luar dugaan," kata Aye Chan Naing, Pemimpin Redaksi Democratic Voice of Burma (DVB), yang kembali ke tanah airnya setelah 23 tahun. DVB adalah stasiun televisi eksil yang didirikan 20 tahun silam dan dipancarkan dari Oslo.

"Kami memang menerapkan demokrasi dari atas," kata Direktur Jenderal Kementerian Penerangan U Ye Htut kepada saya. "Karena itu keterbukaan akan dilakukan secara bertahap," tutur pensiunan kolonel ini. Berbagai undang-undang pendukung demokrasi, termasuk Undang-Undang Pers dan Penyiaran, pun sedang disiapkan.

Meski mulai terbuka, unjuk rasa besar di ibu kota Myanmar tampaknya tetap tak mungkin. Lokasi Nay Pyi Taw yang terpencil, sekitar 320 kilometer utara Yangon, tentu sulit diserang pendemo. Untuk mencapainya perlu melalui jalan tol beton empat jalur yang membelah kawasan tak berpenduduk dan memerlukan empat jam dengan mobil.

Keterisolasian "kota kediaman raja" ini dianggap Siddharty Vadarajan, seorang wartawan India, sebagai "asuransi terbaik terhadap upaya penggulingan pemerintah. Sebuah perencanaan kota yang dirancang untuk mengalahkan revolusi berwarna apa pun. Bukan dengan tank dan meriam air, tapi dengan geologi dan tata kota."

Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus