HANYA orang tolol yang mau melawan dia." kata anekdot di Tunisia. Maka, Presiden Zine al-Abidin Ben Ali, simbol demokrasi dan segala pembaruan di Tunisia, Senin pekan lalu memperoleh 99% suara. Dan partainya. Perkumpulan Umum Demokrasi Konstitusional (RCD), sukses menyabet semua kursi parlemen yang berjumlah 141 buah dalam pemilihan umum dua pekan lalu, pertama sejak hampir 40 tahun lalu. Bahkan pihak oposisi mencintai pemimpin yang naik lewat kudeta dua tahun lalu itu. Popularitas Ben Ali di Tunisia boleh disejajarkan dengan Presiden Corazon Aquino di Filipina. Berkat Ben Ali-lah demokrasi yang cuma sempat berjalan pada 1959 hidup kembali. Kala itu, dalam pemilu anggota parlemen, Partai Komunis Tunisia ikut bertanding dan kalah telak. Setelah itu. Habib Bourgiba, presiden negeri di tanduk Benua Afrika waktu itu, mengharamkan semua partai politik. Hanya partainya sendiri, Partai Sosialis Konstitusional, boleh hidup. Maka, pemilu presiden dan parlemen, yang berlangsung 5 tahun sekali, jadi sekadar basa-basi politik. Pada 1975, Bourgiba memutuskan meniadakan pemilihan presiden, sampai dia menemui ajal. Alasannya, parlemen telah mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Tapi kudeta pun terjadi, 7 November 1987. Dan Ben Ali memulai gebrakan pertamanya: memberikan kebebasan kepada pers. Disusul dengan serangkaian gebrakan lainnya di bidang politik dan ekonomi, dengan menyontek model dari negara-negara industri maju di Barat. Gebrakan itu sungguh mencengangkan, hingga sering disebut sebagai glasnost dan perestroika kecil. Betapa tidak. Ben Ali memberi kekuatan hukum kepada partai-partai oposisi, yang di zaman Bourgiba dianggap sampah membebaskan semua tahanan politik dan mengizinkan Organisasi Amnesti Internasional, yang dimusuhi oleh banyak negara Dunia Ketiga, membuka kantor di Tunisia. Di bidang hukum, Ben Ali pun melakukan perombakan, terutama yang sangat berbau politik. "Di Tunisia tak akan ada lagi orang yang ditahan gara-gara ideologi yang dianut," ujar Anzouz Enifar, Duta Besar Tunisia di Jakarta. Penjara hanya pantas buat mereka yang melakukan tindak kriminal. Itu semua sesuai dengan prinsip Ben Ali, bahwa perselisihan pendapat adalah salah satu ciri masyarakat modern. Liberalisasi besar-besaran juga dipraktekkan di bidang ekonomi. Swasta diberi hak untuk mendominasi kancah bisnis, sementara debirokratisasi dan deregulasi dijalankan secara radikal. Hasilnya, para investor dari mancanegara berbondong-bondong datang ke Tunis. Puncak kegemilangan Ben Ali terjadi pada pemilu lalu. Dia memberi kesempatan sama antara partai pemerintah dan 4 partai oposisi yang ikut bertanding - Partai Komunis Tunisia, Partai Sosialis Progresif, Partai Persatuan Massa, dan Partai Sosial Demokrat. Yakni, antara lain, dalam penggunaan media elektronik milik pemcrintah - radio dan televisi -- untuk kampanye. Cuma satu yang masih menjengkelkan sebagian umat Islam di sana. Ben Ali tak membolehkan mencantumkan kata "Islam" dalam nama partai. Katanya, karena Tunisia negara Islam, maka partai yang memakai nama Islam sama dengan mewakili 99% lebih dari 7 juta rakyat Tunisia. "Itu tak mungkin," kata dia. Menurut sang pembaru. itu menghambat demokrasi.Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini