DALAM sebuah konperensi pers, tiga bulan lalu, Ronald Reagan
ditanya apakah ia ingin AS memainkan peranan "polisi" di
seantero dunia. Sang presiden menjawab, "tidak." Tapi, beberapa
saat kemudian, seraya menyinggung keamanan jalur pelayaran dan
sumber-sumber strategis mineral dan minyak bumi, Reagan tampak
bergeming. "Peranan AS ialah menyadari ancaman yang makin luas,"
katanya.
Sejak Perang Dunia II usai, salah satu tujuan dasar AS ialah
membendung pengaruh Uni Soviet di seluruh dunia. Reagan
menerjemahkan tuJuan itu dengan itikad "menumpas ancaman". Dan,
seperti dikatakannya, "dunia sudah berubah. Sekarang, keamanan
nasional kita bisa terancam di negeri jauh."
Bila berbicara tentang "ancaman", Reagan memang tidak bermaksud
lain kecuali menegaskan sikap antikomunisnya yang sudah
berkibar sejak awal. Dan politik luar negeri yang bertolak dari
kesadaran seperti ini memang tidak bisa dipisahkan dari peragaan
kekuatan. Di sini, agaknya,' pendapat Mc George Bundy,
penasihat keamanan nasional kepresidenan pada masa Perang
Vietnam, menjadi sah. "Hakikat semua masalah luar negeri,"
katanya, "ialah hubungan antara kebijaksanaan dan kekuatan
militer."
Reagan dan perangkat pemerintahannya memasuki Gedung Putih,
1980, dengan tujuan menyembuhkan AS dari apa yang dinamakan
"sindrom Vietnam". Tapi, perkembangan keadaan selama tiga tahun
terakhir makin mengisyaratkan keterlibatan negeri itu ke dalam
urusan yang berbahaya. Libanon, Amerika Tengah, Karibia, bahkan
Eropa, berkembang menjadi titik-titik rawan, tempat
kebijaksanaan luar negeri Reagan mengalami ujian berat. Apalagi
setelah pengeboman maut di Beirut, 16 Oktober. Sam Gibbons,
tokoh Partai Demokrat dari Florida, akhir bulan lalu berseru di
Kongres, "Libanon adalah Vietnamnya Reagan."
Hingga awal minggu ini, tidak kurang dari 468.309 serdadu AS -
26.294 di antaranya marinir - bertugas di luar tanah air. Jumlah
ini belum termasuk awak sebelas kapal induk, antara lain,
Independence, Eisenhower, dan Ranger. Menurut taksiran kasar,
seluruh tentara AS yang bermarkas di negeri orang mendekati 800
ribu - hampir delapan kali jumlah penduduk Grenada.
Ke dalam jumlah itu masih harus ditambahkan 56 penasihat militer
di El Salvador, 91 kapal selam tempur di Atlantik dan Pasifik,
unit-unit amfibi marinir di Eropa, Laut Tengah, Samudra Hindia,
serta 161 kapa perang di berbagai kawasan. Kemudian, 31, pesawat
terbang tempur di Korea Selatan Jepang, dan Filipina. "Kegemaran
pemerin tahan Reagan mengirimkan orang dan material ke seluruh
dunia sungguh mencengangkan," tulis majalah Time.
Di mata sejumlah pengamat, kegagalan politik luar negeri
pemerintahan Reagan justru bersumber pada tiadanya kebijaksanaan
"Reagan dan para pembantunya," tulis William Pfaff di harian
International Herala Tribune, "tidak memiliki pengertian yang
sungguh-sungguh dan konsep menyeluruh terhadap hubungan
internasional. Ada sebuah kelakar bahwa para pejabat tinggi
departemen luar negeri AS tidak mengetahui bentuk pemerintahan
di Burma sebelum menghubungi kelompok ahli yang bertugas di
seksi Asia kantor itu ....
Bagi perangkat pemerintahan Reagan, semua gejolak di segala
tempat mendapat stempel yang sama. Sandinista di Nikaragua,
pembunuhan terhadap Maurice Bishop di Grenada, perlawanan
kelompok Syiah di Beirut - semuanya mengacu kepada kepemimpinan
Moskow. "Amerika Serikat," menurut seorang pengamat, "makin
sulit dimengerti, baik oleh seteru maupun sekutunya."
Ada tiga perangkap yang diperkirakan bakal menjebak politik luar
negeri Reagan. Pertama, pernyataannya untuk tidak bakal mundur
dari Libanon. Sikap seperti inilah, di masa lampau, yang
mendahului Perang Vietnam. Kedua, pernyataan Reagan untuk
"menegakkan lembaga-lembaga demokrasi di Grenada." Menurut
Senator Daniel P. Moynihan, janji demokrasi "di ujung bayonet"
hanya akan mengesahkan cap "imperialis" di wajah AS. Ketiga,
keberanian Reagan membuka front baru di Karibia, sementara
peranannya di Amerika Tengah dan Libanon masih keteteran. "Ujian
janka panjang bagi Amerika, " tulis The New ork Times,
"bukanlah keinginan untuk mengunakan kekuatan, melainkan
keterampilan menghindari penggunaan kekuatan itu."
Namun, sang presiden bukan tokoh yang mudah terpengaruh. Ia,
menurut seorang pejabat Gedung Putih, tidak memerlukan
keterangan terperinci untuk mengambil tindakan besar.
Di pangkalan marinir Cherry Point, Carolina Utara, Jumat lalu,
Reagan mengulangi tekadnya dalam upacara menghormati korban
pengeboman di Beirut. Ia menyatakan siap menggunakan kekuatan
"untuk mencegah umat manusia tenggelam dalam samudra tirani".
Dalam sebuah wawancara di Washington ia bahkan berkata, akan
mengambil langkah seperti invasidi Grenada, di mana saja, "bila
kondisinya memang sama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini