HARIMAN Siregar, 33, tampak tak kaget tatkala Senin lalu seorang
petugas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menemuinya. Sore itu, ia
tengah mengobrol dengan beberapa teman di kantornya di Jalan
Lautze, Jakarta Pusat. Ia malah sempat bergurau dengan petugas
yang telah dikenalnya itu, yang menyodorkan surat pemberitahuan
bunyi keputusan Mahkamah Agung RI padanya.
Keputusan tanggal 3 November itu memang telah disiarkan koran.
Isinya: menolak permohonan kasasi Hariman Siregar dan sebaliknya
menerima permohonan kasasi jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat. Setelah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, Jakarta 19
April 1976, Mahkamah Agung yang mengadili sendiri menyatakan:
terdakwa Hariman Siregar terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana subversi seperti didakwakan.
Karena itu, terdakwa dihukum pidana penjara selama enam tahun.
Hariman, waktu itu ketua Dewan Mahasiswa UI, ditahan pada 16
Januari 1974 karena dituduh terlibat dalam Peristiwa 15 Januari
1974 (Malari). Pada 20 Desember 1974 Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menjatuhkan hukuman enam tahun penjara potong masa tahanan
terhadapnya. Atas permohonan banding Hariman, Pengadilan Tinggi
Jakarta mengurangl hukumannya menjadi empat setengah tahun.
Agustus 1976, Mahkamah Agung mengabulkan agar Hariman ditahan di
luar, seraya menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung.
Kini keputusan Mahkamah Agung telah jatuh. Bila keputusan itu
dilaksanakan, berarti Hariman harus menyelesaikan sisa masa
hukumannya yang masih sekitar tiga setengah tahun lagi.
Hariman tidak sendirian. Pada hari yang sama Mahkamah Agung
ternyata juga menolak permohonan kasasl dua terdakwa kasus
Malari lainnya: Sjahrir dan Aini Chalid. Sjahrir tetap dijatuhi
hukuman enam setengah tahun, sedang Aini dua tahun tiga bulan.
Semua hukuman itu dipotong masa tahanan. Sjahrir dibebaskan
sementara pada November 1977 berarti ia masih mempunyai sisa
masa tahanan dua tahun sepuluh bulan, sedang Aini bisa langsung
bebas karena dia telah ditahan dua tahun tiga bulan dan
sembilan hari.
Banyak yang prihatin mendengar keputusan itu. Keputusan Mahkamah
Agung ini memang mengejutkan, sebab mencabut keputusan
Pengadilan Tinggi yang meringankan. "Ini merupakan suatu langkah
mundur. Masalah yang sebenarnya suaah melenyap kenapa
dibangkit-bangkitkan lagi?" kata seorang teman dekat Hariman.
Istilah Malari memang sudah lama tak terdengar. Banyak anak muda
sekarang yang malahan tak tahu tentang Malari. Maka, wajar bila
banyak dugaan muncul mengapa kasus ini "dibangkitkan" lagi.
Salah satu dugaan, misalnya, memperkirakan adanya latar belakang
politis di balik ini. Fakta bahwa Ketua Mahkamah Agung Mudjono
sendiri yang memimpin sidang dlsebut-sebut sebagai bukti
penguat.
Belum tentu itu benar. Bisa saja terjadi: Mahkamah Agung, yang
dibebani tumpukan ribuan perkara hingga terpaksa melancarkan
Operasi Kikis, baru sekarang bisa menangani kasus itu. Maka,
misalnya, setelah tujuh tahun diajukan, permohonan kasasi
Hariman baru kini tiba gilirannya ditangani Mahkamah Agung.
Hariman menolak memberikan tanggapan atas keputusan Mahkamah
Agung ini. "Lebih baik kalau saya bersikap merendah," katanya.
"Masalah dengan pengadilan saya serahkan kepada pengacara."
Apakah ia akan menggunakan haknya dengan mengajukan grasi
kepada. Presiden? Hariman tetap tak mau menjawab. Senin sore itu
ia bergegas pulang. "Saya ingin omong-omong dengan istri. Sesuai
dengan nasihat dokter, ia harus tidur pukul delapan malam,"
katanya. Hariman tinggal di rumah mertuanya di Kebayoran
Baru,Jakarta Selatan. Yanti, istrinya, menderita sakit yang
membutuhkan perawatan lama.
Penyakit Ny. Hariman inilah yang menjadi pertimbangan
utamaMahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan tahanan luar
bagi Hariman pada 1976. Waktu itu mertua Hariman, Prof. Sarbini
Sumawinata yang mengajukan permohonan itu dengan alasan "agar
terdakwa dapat terus-menerus mendampingi istrinya yang sangat
menderita kekacauan pikiran, sesuai dengan nasihat dokter."
Hariman sempat menyelesaikan studinya menjadi dokter dan
menunaikan ibadah haji setelah jadi tahanan luar. Namun,
berbagai ketidakberuntungan menimpanya. Sewaktu Hariman ditahan,
ayahnya meninggal karena serangan jantung. Anak kembarnya
meninggal setelah dirahirkan. Kabarnya, ini yang menyebabkan
Yanti shock. Hingga kini ia masih berada di bawah pengawasan Dr.
Mahar Mardjono, ahli penyakit saraf dan bekas rektor UI itu lr
Sjahrir juga menolak berbicara. "Saya belum menerima surat
keputusannya," katanya. "Kita lihat saja bagaimana nanti."
Grasi? "Grasi itu upaya hukum," katanva menutup pembicaraan.
Setelah dibebaskan sementara, Sjahrir sempat menyelesaikan
studinya dan tahun ini mencapai gelar doktor dalam ilmu ekonomi
di Universitas Harvard, AS. Sekembali dari Amerika Juli lalu,
Sjahrir bekerja sebagai konsultan dan juga menulis di buletin
Business News.
Menurut kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution,
dengan adanya keputusan berkekuatan pasti atas kedua orang itu,
kejaksaan tidak punya pilihan lain selain menjalankan.
"Kebetulan, untuk kasus subversi, pelaksanaan putusan tidak
harus menunggu permohonan grasi diterima atau ditolak Presiden,
kecuali untuk hukuman mati," kata Bob.
Begitu menerima salinan keputusan Mahkamah Agung, Senin lalu Bob
langsung membuat surat pangilan untuk Hariman Siregar. "Ia
dipanggil untuk diberitahu bahwa keputusan pengadilan atas
dirinya akan dilaksanakan," ujarnya. Kalau Hariman tak datang?
"Kami akan memanggilnya sekali lagi. Jika tetap tidak datang,
baru ia akan ditangkap," kata Bob.
Penolakan kasasi Hariman, Sjahrir, dan Aini tampaknya akan
membangkitkan minat orang pada kasus Malari lagi. Walaupun telah
lewat sembilan tahun, latar belakang Peristiwa 15 Januari 1974
itu sendiri masih gelap buat masyarakat.
Akibat huru-hara yang terjadi pada 15 dan 16 Januari itu memang
dahsyat. Menurut keterangan resmi pemerintah pada DPR, 807 mobil
dan 187 motor rusak atau hancur, 144 gedung rusak atau terbakar,
dan 160 kg emas hilang. Korban manusia: 11 meninggal, 17 luka
berat, dan 120 luka ringan.
Selama dua hari itu massa, yang tak jelas siapa penggeraknya,
mengamuk di Jakarta. Yang dijadikan sasaran produk buatan
Jepang. Kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka memang menjadi
momentum kerusuhan itu. Kejatan ekonomi terhenti. Tak ada bukti
langsung memang bahwa mahasiswa, yang selama beberapa bulan
terakhir terus melancarkan berbagai demonstrasi, ikut
mengobarkan kerusuhan itu. Namun, pada 16 Januari, puluhan orang
ditahan. Antara lain Hariman Siregar, Sjahrir, Fahmi Idris,
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Marsilam Simandjuntak, Prof. Sarbini
Sumawinata, Adnan Buyung Nasution, H.J.C. Princen, Louis Wangge,
Imam Waluyo, dan Yusuf A.R.
Dari puluhan orang itu, ternyata cuma Hariman, Sjahrir, dan Aini
Chalid yan disidangkan ke pengadilan. Mereka dituduh melakukan
perbuatan subversi dan makar sehingga kemudian terkena UU No.
11/PNPS 1963 tentang tindak pidana subversi.
Setelah beberapa tahun merasa bebas, mereka kini harus
menyelesaikan hukuman mereka: Hariman dan Sjahrir kira-kira 3
tahun lagi. Aini Chalid, yang sampai kini belum diketahui jelas
tempat tinggalnya, mungkin sudah tak perlu mengalami hidup di
balik sel. Sebuah sumber kejaksaan mengharapkan Hariman dan
Sjahrir masuk ke lembaga pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, bulan
ini juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini