Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Reagan dan kecemasan dunia ketiga aku mau menang

Politik luar negeri dan kebijaksanaan ekonomi presiden ronald reagan. anggaran a.s mengalami defisit, dan bantuan pada imf akan dikurangi. anggaran pertahanan tetap tinggi. (ln)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT-saat genting lewat sudah. Pasukan marinir AS kembali ke Fort Bragg setelah dengan "gemilang" menunaikan misinya di Grenada. Tapi tidak berarti Presiden Ronald Reagan bisa santai. Ia segera dihadapkan pula pada acara kunjungan ke Pasifik dimulai 9 November. Semula tiga negara ASEAN - Muangthai, Filipina, dan Indonesia - masuk dalam jadwal perjalanan Reagan, tapi kemudian dicopot. Ini gara-gara pergolakan di Manila semakin panas saja. Kini tinggal Jepang dan Korea Selatan yang, jika ditilik pada agenda perundingan, tampaknya benar-benar akan diperlakukan serius oleh Reagan. Pengawalan ketat menyertai presiden AS itu sejak dari Washington. Begitu Reagan melangkahkan kaki ke tangga pesawat Air Force One, 150 agen rahasia AS bertanggung jawab akan keselamatannya. Tidak ketinggalan dibawa sebuah mobil, yang panjangnya 6,3 m, dengan kaca tahan peluru. Selama di Jepang, Reagan akan mendapat pengawal tambahan sebanyak 20.000 polisi tiap hari. Bersama-sama wartawan Jepang, diperkirakan ada 600 nyamuk pers yang akan mencatat langkah Reagan di meja perundingan - khususnya dalam hal perdagangan yang masih mengganjal dan membuat kaku. Tapi dari agenda diketahui, masalah pertahanan diprioritaskan ketimbang masalah perdagangan. Mengapa? Bukan tidak disadari oleh tim penasihat Reagan bahwa menekan Jepang agar menaikkan anggaran pertahanannya bisa berbalik menjadi bumerang. Itulah yang terjadi memang. Gejala anti-AS selama ini sudah meletup di banyak tempat. Hanya kebetulan, September dan Oktober berselang, terjadi penembakan pesawat KAL di atas Sakhalin dan ledakan bom di Burma, hingga mata mereka terbuka akan "bahaya Utara". Dua peristiwa berdarah itu diduga akan memudahkan PM Jepang Yasuhiro Nakasone memperoleh dukungan lebih besar untuk rencana-rencana militernya. Sebuah buletin khusus menyambut Reagan, yang diberi judul Japan and The United States in Search of Peace, berbicara tentang kedua negara yang sekarang mengemban tugas mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Asia, bahkan di dunia. Kebijaksanaan pemerinah Reagan, menurut Jenderal Robert M. Sennewald, komandan Tentara Gabungan AS-Korea Selatan, "AS akan tetap bertahan sebagai kekuatan di Pasifik, tapi dengan maksud mencegah perang bukan mengobarkan perang." Benarkah demikian? Soalnya, politik luar negeri AS yang dikemudikan Reagan tampak semakin garang. Misalnya, terlepas dari kritik bahwa pengiriman marinir tidak akan menjawab masalah ketidakadilan sosial di El Salvador, Washington tetap saja memerintahkan kapal induk Ranger mengitari Laut Karibia. Orang-orang di sekitarnya menganggap bahwa Reagan tetap Reagan yang dulu. Kepemimpinan dan keputusan penting yang diambilnya selalu ditandai oleh keyakinan yang dalam dan optimisme yang tebal. Pengeboman Beirut, yang menewaskan 299 marinir AS, sama sekali tidak membuat sang presiden mundur. Sebaliknya, ia kontan mengirim satuan marinir baru. Begitu pula di saat-saat menggarap Grenada. Reagan sedikit pun tidak terpengaruh pada ejekan tentang AS yang dihinggapi sindrom Amerika Tengah. Adalah Reagan juga yang tidak ragu-ragu memperiuangkan anggaran militer AS sebanyak US$ 2 trilyun untuk periode lima tahun mendatang. Ia, yang terkadang dinilai. naif dan terkadang dianggap tidak intelektual, telah bertekad memasang Pershing-2 dan rudal jelajah di Eropa Barat. Ratusan ribu rakyat di sana bangkit protes, tapi pendekar dunia bebas itu tampak belum tergoyahkan. Terakhir, Reagan kembali membuat kejutan. Lewat Menteri Keuangan Donald Regan, presiden AS itu mengusulkan di sidang Dana Moneter Internasional (IMF) agar bantuan Bank Dunia kepada negara-negara berkembang diciutkan dari US$ 12 milyar menjadi US$ 8,4 milyar untuk masa tia tahun mendatang. Usul penciutan itu berum mendapat dukungan dari Kongres AS sekalipun Reagan sudah mengingatkan orang-orang separtainya bahwa sikap mereka bisa berbuntut pada "mimpi buruk ekonomi yang membinasakan generasi akan datang." Sementara soal penciutan masih terkatung-katung, IMF terpaksa menerima usul AS yang lain: membatasi utang negara anggota sebatas 102% dari kuota mereka. Untuk negara-negara yang keuangannya parah sekali, batas itu 125% dari kuota. Dalam pada itu, AS menolak membayar iuran lebih besar dari US$ 750 juta per tahun pada International Development Association (IDA) untuk periode 1984-1987. IDA adalah badan lnternasional yang mengurus pinjaman lunak untuk negara miskin yang pendapatan per kapitanya di bawah US$ 400 per tahun. India tercatat sukses memanfaatkan bantuan organisasi dunia itu untuk swasembada pangan. Masalahnya kini ternyata bukan sekadar penciutan bantuan AS. Sejak tahun lalu dunia, yang dilanda resesi, dan Dunia Ketiga terpaksa melihat kenyataan pahit: krisis utang. Tercatat sebesar US$ 500 milyar pinjaman (US$ 200 milyar di antaranya diborong oleh tiga pengutang terbesar: Brazil, Argentina, dan Meksiko) tak terbayar oleh negara-negara peminjam di Dunia Ketiga. Akibatnya, pembangunan terhambat. Para kreditor melihat utang besar yang menumpuk itu menggoyahkan ketangguhan sistem keuangan internasional. Tapi jalan keluar yang jitu belum tampak. AS mengusulkan pertolongan pertama lewat dana darurat khusus yang diproses di luar IMF. Usul ini oleh banyak negara lain dipandang sekadar usaha coba-coba. Lagi pula negara-negara Eropa Barat dan Arab Saudi, yang disebut akan turut serta, kontan menolak. Tak urung kemelut IMF dan nasib ekonomi dunia membuat pusing negara maju. Sebab, kegawatan ekonomi Dunia Ketiga itu langsung mempengaruhi ekonomi mereka dan bila ini terjadi bisa berakibat buruk terhadap perimbangan kekuatan dunia. Tapi sebagian ahli melihat kesengsaraan Dunia Ketiga sebagai hal yang mutlak bisa dipisahkan dari ekonomi negara maju. Masuk akal juga kalau dilihat dari sisi ini: 1/4 penduduk dunia di negara maju menguasai 79% dari seluruh penghasilan dunia. Jadi, mengapa mesti repot dengan urusan Dunia Ketiga? Kini diperkirakan lebih dari setengah jumlah negara Dunia Ketiga diperintah rezim militer yang mengandalkan kekuatan senjata. Dana, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, banyak terpakai untuk pembelian senjata. Para teknokrat, yang diandalkan untuk mengantarkan ekonomi negara ke tahap lepas landas, ternyata tidak sanggup memberi jalan keluar bagi hambatan-hambatan birokratis. Belum lagi barang-barang mewah produksi negara maju yang membuai rakyat miskin dengan mimpi-mimpi. Apakah angka itu berbicara pada Reagan? Belum tentu. Apalagi AS, yang kini digerogoti defisit US$ 200 milyar, masih memaksakan anggaran pertahanan US$ 274 milyar untuk tahun fiskal 1984-1985. Sedangkan bicara soal bantuan ekonomi, pemerintahan Reagan melihatnya tak lebih dari sekadar pelengkap yang menunjang kebijaksanaan politik dan militer mereka. Tidak heran jika bantuan AS untuk Dunia Ketiga hanya 19% - sokongan mereka untuk para sekutu mencatat 30% dari dana yang disediakan. Formula Reagan untuk kemaiuan ekonomi Dunia Ketiga tampak tidak berkesinambungan dengan fakta obyektif di negara berkembang Presiden AS itu mengutamakan penggalakan perdagangan perbaikan teknologi di bidang pertanian dan energi, serta penggalakan usaha swasta ketiganya adalah sendi-sendi ekonomi pasar bebas yang, umumnya, tidak diwarisi oleh rakyat Dunia Ketiga. Jadi, sejak mula jurang kedua pihak sudah lebar. Salah satu penawar untuk pemulihan ekonomi Dunia Ketiga ialah peningkatan ekspor komoditi, dan negara maju dianjurkan meringankan proteksi. Sayang, tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Apalagi kalau diingat hasil pertanian negara maju masih surplus, sementara kegiatan industrinya cuma berkisar antara 60% dan 70%. Untuk menembus pasar negara maju, Dunia Ketiga mengusulkan penetapan tarif bahan baku agar tercipta harga stabil untuk komoditi mereka. Beberapa negara Eropa Barat, terutama Prancis, setuju. Tapi AS menolak tegas. Sikap ini mencerminkan kembali gaya bebas Reagan di pertemuan Cancun, November 1981. Dihadiri 22 kepala negara, 1.000 menteri, dan 2.500 wartawan, pertemuan Cancun itu berakhir sia-sia lantaran Reagan tidak sudi didesak-desak ke arah yang dia tidak suka. Cancun, yang semula dimaksudkan untuk membuka dialog antara negeri Utara yang kaya dan Selatan yang miskin untuk "membahas kepentingan bersama" berakhir di jalan buntu. Sebab, Reagan lebih condong membina hubungan bilateral, ketimbang multilateral. Mengenai bantuan ekonomi, Reagan menggariskan: ù Bantuan haruslah berangkat dari kebijaksanaan ekonomi dalam negeri negara donor. ù Pembicaraan tentan ini haruslah di forum yang menggalakkan semangat kerja sama, bukan di PBB yang banyak anggotanya bersikap bermusuhan terhadap AS. Dunia Ketiga seyogyanya tidak mengharap yang bukan-bukan dari Ronald Reagan yang mewakili citra Amerika tulen. Ia, misalnya tiba-tiba bisa marah pada Jepang karena negara itu menutup pintunya rapat-rapat bagi produk AS, sementara mereka menjejali pasar Paman Sam dengan produk mutakhir yang harganya amat bersaing. Tidak kurang menarik amarah Reagan pada PBB hingga menganjurkan supaya lembaga tertinggi dunia itu memindahkan saja markas besarnya ke Wina, Austria. Mengapa? Washington rupanya sudah jenuh, baik karena beban operasional PBB yang ratusan juta dolar dipikulnya sendiri maupun lantaran ulah negara-negara berkembang yang memperjuangkan aspirasi sesukanya saja. Tanpa sedikt pun timbang rasa pada AS sebagai tuan rumah. Dapat dimengerti bila dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, PBB berikut anak-anak organisasinya, seperti Unesco, Unctad, terakhir IMF, juga tidak mendapat peluang untuk bekerja lebih baik. "Soalnya, semua kartu di tangan AS. Dan mereka sadar betul akan hal itu," kata seorang ahli. Jika benar semua kartu "terkumpul" di AS, apa lagi yang bisa diperjuangkan Dunia Ketiga? Gagasan tata ekonomi dunia baru? Dalam keadaan resesi seperti sekarang, yang dikhawatirkan akan memuncak kembali pada tahun 1987, satu-satunya harapan ialah "semoga ekonomi AS segera bangkit dan pulih kembali." Harapan ini berangkat dari teori lokomotif: pemulihan ekonomi di negara maju pada gilirannya memutar roda ekonomi negara berkembang. Namun, semua pihak juga sadar bahwa keruwetan ekonomi dunia sekarang tidak hanya bisa diatasi dengan menghitung angka. Misalnya, jika pertumbuhan AS 4%, maka pertumbuhan ekonomi negara berkembang naik jadi 2%. Pasti tidak sesederhana itu. Seperti yang ditegaskan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar, diperlukan "kemauan politik" dari negara maju untuk bersama-sama mencegah kekacau balauan politik dan ekonomi. Masalahnya, apakah kemauan politik seperti yang dicita-citakan de Cuellar sama dan sebangun dengan kemauan politik yang diyakini Ronald Reagan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus