SAAT-saat genting lewat sudah. Pasukan marinir AS kembali ke
Fort Bragg setelah dengan "gemilang" menunaikan misinya di
Grenada. Tapi tidak berarti Presiden Ronald Reagan bisa santai.
Ia segera dihadapkan pula pada acara kunjungan ke Pasifik
dimulai 9 November.
Semula tiga negara ASEAN - Muangthai, Filipina, dan Indonesia -
masuk dalam jadwal perjalanan Reagan, tapi kemudian dicopot. Ini
gara-gara pergolakan di Manila semakin panas saja. Kini tinggal
Jepang dan Korea Selatan yang, jika ditilik pada agenda
perundingan, tampaknya benar-benar akan diperlakukan serius oleh
Reagan.
Pengawalan ketat menyertai presiden AS itu sejak dari
Washington. Begitu Reagan melangkahkan kaki ke tangga pesawat
Air Force One, 150 agen rahasia AS bertanggung jawab akan
keselamatannya. Tidak ketinggalan dibawa sebuah mobil, yang
panjangnya 6,3 m, dengan kaca tahan peluru. Selama di Jepang,
Reagan akan mendapat pengawal tambahan sebanyak 20.000 polisi
tiap hari.
Bersama-sama wartawan Jepang, diperkirakan ada 600 nyamuk pers
yang akan mencatat langkah Reagan di meja perundingan -
khususnya dalam hal perdagangan yang masih mengganjal dan
membuat kaku.
Tapi dari agenda diketahui, masalah pertahanan diprioritaskan
ketimbang masalah perdagangan. Mengapa? Bukan tidak disadari
oleh tim penasihat Reagan bahwa menekan Jepang agar menaikkan
anggaran pertahanannya bisa berbalik menjadi bumerang. Itulah
yang terjadi memang. Gejala anti-AS selama ini sudah meletup di
banyak tempat.
Hanya kebetulan, September dan Oktober berselang, terjadi
penembakan pesawat KAL di atas Sakhalin dan ledakan bom di
Burma, hingga mata mereka terbuka akan "bahaya Utara". Dua
peristiwa berdarah itu diduga akan memudahkan PM Jepang Yasuhiro
Nakasone memperoleh dukungan lebih besar untuk rencana-rencana
militernya. Sebuah buletin khusus menyambut Reagan, yang diberi
judul Japan and The United States in Search of Peace, berbicara
tentang kedua negara yang sekarang mengemban tugas
mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Asia, bahkan di
dunia.
Kebijaksanaan pemerinah Reagan, menurut Jenderal Robert M.
Sennewald, komandan Tentara Gabungan AS-Korea Selatan, "AS akan
tetap bertahan sebagai kekuatan di Pasifik, tapi dengan maksud
mencegah perang bukan mengobarkan perang."
Benarkah demikian? Soalnya, politik luar negeri AS yang
dikemudikan Reagan tampak semakin garang. Misalnya, terlepas
dari kritik bahwa pengiriman marinir tidak akan menjawab
masalah ketidakadilan sosial di El Salvador, Washington tetap
saja memerintahkan kapal induk Ranger mengitari Laut Karibia.
Orang-orang di sekitarnya menganggap bahwa Reagan tetap Reagan
yang dulu. Kepemimpinan dan keputusan penting yang diambilnya
selalu ditandai oleh keyakinan yang dalam dan optimisme yang
tebal. Pengeboman Beirut, yang menewaskan 299 marinir AS, sama
sekali tidak membuat sang presiden mundur. Sebaliknya, ia kontan
mengirim satuan marinir baru. Begitu pula di saat-saat menggarap
Grenada. Reagan sedikit pun tidak terpengaruh pada ejekan
tentang AS yang dihinggapi sindrom Amerika Tengah.
Adalah Reagan juga yang tidak ragu-ragu memperiuangkan anggaran
militer AS sebanyak US$ 2 trilyun untuk periode lima tahun
mendatang. Ia, yang terkadang dinilai. naif dan terkadang
dianggap tidak intelektual, telah bertekad memasang Pershing-2
dan rudal jelajah di Eropa Barat. Ratusan ribu rakyat di sana
bangkit protes, tapi pendekar dunia bebas itu tampak belum
tergoyahkan. Terakhir, Reagan kembali membuat kejutan. Lewat
Menteri Keuangan Donald Regan, presiden AS itu mengusulkan di
sidang Dana Moneter Internasional (IMF) agar bantuan Bank Dunia
kepada negara-negara berkembang diciutkan dari US$ 12 milyar
menjadi US$ 8,4 milyar untuk masa tia tahun mendatang. Usul
penciutan itu berum mendapat dukungan dari Kongres AS sekalipun
Reagan sudah mengingatkan orang-orang separtainya bahwa sikap
mereka bisa berbuntut pada "mimpi buruk ekonomi yang
membinasakan generasi akan datang."
Sementara soal penciutan masih terkatung-katung, IMF terpaksa
menerima usul AS yang lain: membatasi utang negara anggota
sebatas 102% dari kuota mereka. Untuk negara-negara yang
keuangannya parah sekali, batas itu 125% dari kuota. Dalam pada
itu, AS menolak membayar iuran lebih besar dari US$ 750 juta per
tahun pada International Development Association (IDA) untuk
periode 1984-1987. IDA adalah badan lnternasional yang mengurus
pinjaman lunak untuk negara miskin yang pendapatan per kapitanya
di bawah US$ 400 per tahun. India tercatat sukses memanfaatkan
bantuan organisasi dunia itu untuk swasembada pangan.
Masalahnya kini ternyata bukan sekadar penciutan bantuan AS.
Sejak tahun lalu dunia, yang dilanda resesi, dan Dunia Ketiga
terpaksa melihat kenyataan pahit: krisis utang. Tercatat sebesar
US$ 500 milyar pinjaman (US$ 200 milyar di antaranya diborong
oleh tiga pengutang terbesar: Brazil, Argentina, dan Meksiko)
tak terbayar oleh negara-negara peminjam di Dunia Ketiga.
Akibatnya, pembangunan terhambat.
Para kreditor melihat utang besar yang menumpuk itu menggoyahkan
ketangguhan sistem keuangan internasional. Tapi jalan keluar
yang jitu belum tampak. AS mengusulkan pertolongan pertama lewat
dana darurat khusus yang diproses di luar IMF. Usul ini oleh
banyak negara lain dipandang sekadar usaha coba-coba. Lagi pula
negara-negara Eropa Barat dan Arab Saudi, yang disebut akan
turut serta, kontan menolak.
Tak urung kemelut IMF dan nasib ekonomi dunia membuat pusing
negara maju. Sebab, kegawatan ekonomi Dunia Ketiga itu langsung
mempengaruhi ekonomi mereka dan bila ini terjadi bisa berakibat
buruk terhadap perimbangan kekuatan dunia. Tapi sebagian ahli
melihat kesengsaraan Dunia Ketiga sebagai hal yang mutlak bisa
dipisahkan dari ekonomi negara maju. Masuk akal juga kalau
dilihat dari sisi ini: 1/4 penduduk dunia di negara maju
menguasai 79% dari seluruh penghasilan dunia. Jadi, mengapa
mesti repot dengan urusan Dunia Ketiga?
Kini diperkirakan lebih dari setengah jumlah negara Dunia Ketiga
diperintah rezim militer yang mengandalkan kekuatan senjata.
Dana, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan,
banyak terpakai untuk pembelian senjata. Para teknokrat, yang
diandalkan untuk mengantarkan ekonomi negara ke tahap lepas
landas, ternyata tidak sanggup memberi jalan keluar bagi
hambatan-hambatan birokratis. Belum lagi barang-barang mewah
produksi negara maju yang membuai rakyat miskin dengan
mimpi-mimpi.
Apakah angka itu berbicara pada Reagan? Belum tentu. Apalagi AS,
yang kini digerogoti defisit US$ 200 milyar, masih memaksakan
anggaran pertahanan US$ 274 milyar untuk tahun fiskal 1984-1985.
Sedangkan bicara soal bantuan ekonomi, pemerintahan Reagan
melihatnya tak lebih dari sekadar pelengkap yang menunjang
kebijaksanaan politik dan militer mereka. Tidak heran jika
bantuan AS untuk Dunia Ketiga hanya 19% - sokongan mereka untuk
para sekutu mencatat 30% dari dana yang disediakan.
Formula Reagan untuk kemaiuan ekonomi Dunia Ketiga tampak tidak
berkesinambungan dengan fakta obyektif di negara berkembang
Presiden AS itu mengutamakan penggalakan perdagangan perbaikan
teknologi di bidang pertanian dan energi, serta penggalakan
usaha swasta ketiganya adalah sendi-sendi ekonomi pasar bebas
yang, umumnya, tidak diwarisi oleh rakyat Dunia Ketiga. Jadi,
sejak mula jurang kedua pihak sudah lebar.
Salah satu penawar untuk pemulihan ekonomi Dunia Ketiga ialah
peningkatan ekspor komoditi, dan negara maju dianjurkan
meringankan proteksi. Sayang, tanda-tanda ke arah itu belum
tampak. Apalagi kalau diingat hasil pertanian negara maju masih
surplus, sementara kegiatan industrinya cuma berkisar antara 60%
dan 70%. Untuk menembus pasar negara maju, Dunia Ketiga
mengusulkan penetapan tarif bahan baku agar tercipta harga
stabil untuk komoditi mereka. Beberapa negara Eropa Barat,
terutama Prancis, setuju. Tapi AS menolak tegas.
Sikap ini mencerminkan kembali gaya bebas Reagan di pertemuan
Cancun, November 1981. Dihadiri 22 kepala negara, 1.000 menteri,
dan 2.500 wartawan, pertemuan Cancun itu berakhir sia-sia
lantaran Reagan tidak sudi didesak-desak ke arah yang dia tidak
suka. Cancun, yang semula dimaksudkan untuk membuka dialog
antara negeri Utara yang kaya dan Selatan yang miskin untuk
"membahas kepentingan bersama" berakhir di jalan buntu. Sebab,
Reagan lebih condong membina hubungan bilateral, ketimbang
multilateral.
Mengenai bantuan ekonomi, Reagan menggariskan:
ù Bantuan haruslah berangkat dari kebijaksanaan ekonomi dalam
negeri negara donor.
ù Pembicaraan tentan ini haruslah di forum yang menggalakkan
semangat kerja sama, bukan di PBB yang banyak anggotanya
bersikap bermusuhan terhadap AS.
Dunia Ketiga seyogyanya tidak mengharap yang bukan-bukan dari
Ronald Reagan yang mewakili citra Amerika tulen. Ia, misalnya
tiba-tiba bisa marah pada Jepang karena negara itu menutup
pintunya rapat-rapat bagi produk AS, sementara mereka menjejali
pasar Paman Sam dengan produk mutakhir yang harganya amat
bersaing. Tidak kurang menarik amarah Reagan pada PBB hingga
menganjurkan supaya lembaga tertinggi dunia itu memindahkan saja
markas besarnya ke Wina, Austria. Mengapa?
Washington rupanya sudah jenuh, baik karena beban operasional
PBB yang ratusan juta dolar dipikulnya sendiri maupun lantaran
ulah negara-negara berkembang yang memperjuangkan aspirasi
sesukanya saja. Tanpa sedikt pun timbang rasa pada AS sebagai
tuan rumah. Dapat dimengerti bila dalam suasana yang tidak
menguntungkan itu, PBB berikut anak-anak organisasinya, seperti
Unesco, Unctad, terakhir IMF, juga tidak mendapat peluang untuk
bekerja lebih baik. "Soalnya, semua kartu di tangan AS. Dan
mereka sadar betul akan hal itu," kata seorang ahli.
Jika benar semua kartu "terkumpul" di AS, apa lagi yang bisa
diperjuangkan Dunia Ketiga? Gagasan tata ekonomi dunia baru?
Dalam keadaan resesi seperti sekarang, yang dikhawatirkan akan
memuncak kembali pada tahun 1987, satu-satunya harapan ialah
"semoga ekonomi AS segera bangkit dan pulih kembali." Harapan
ini berangkat dari teori lokomotif: pemulihan ekonomi di negara
maju pada gilirannya memutar roda ekonomi negara berkembang.
Namun, semua pihak juga sadar bahwa keruwetan ekonomi dunia
sekarang tidak hanya bisa diatasi dengan menghitung angka.
Misalnya, jika pertumbuhan AS 4%, maka pertumbuhan ekonomi
negara berkembang naik jadi 2%. Pasti tidak sesederhana itu.
Seperti yang ditegaskan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar,
diperlukan "kemauan politik" dari negara maju untuk bersama-sama
mencegah kekacau balauan politik dan ekonomi. Masalahnya, apakah
kemauan politik seperti yang dicita-citakan de Cuellar sama dan
sebangun dengan kemauan politik yang diyakini Ronald Reagan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini