LEBIH dari 20 batalyon anggota Keishiho (Kantor Polisi
Metropolitan Tokyo) ditugasi mengamankan kunjungan Presiden
Ronald Reagan selama di Jepang. Bahkan ketika Reagan berunding
dengan PM Yasuhiro Nakasone di villa Hinode Sanso, 60 km di
barat Tokyo, Jumat pekan ini, petuas keamanan itu menyelinap di
sela pohonan cedar dan hutan bambu yang mengelilingi tempat
peristirahatan itu. Apakah pengawalan ketat ini mencerminkan
ketegangan hubungan AS-Jepang seperti banyak ditiupkan
akhir-akhir ini?
Jepang, dalam perhitungan dan kebijaksanaan politik luar negeri
Reagan memang menduduki tempat yang khas. Negara ini menonjol
dalam percaturan Asia-Pasifik, kawasan yang menarik perhatian
Reagan. Di bidang ekonomi, selama tiga tahun terakhir, kawasan
ini, setelah Kanada, telah menjadi rekanan dagang AS terbesar.
Menurut catatan tahun lalu, Jepang mengimpor 9,9% produk AS yang
bernilai US$ 212,3 milyar - setingkat di bawah impor Kanada
(15,9%). Nilai ekspor Jepang ke AS mencapai US$ 36,3 milyar.
Hampir 75% ekspor itu meliputi mesin, mobil, pesawat tv radio,
sepeda motor, dan tape recorder. Sisanya, antara lain, barang
besi dan baja.
AS, di samping mengekspor perlengkapan mesin, juga mengirim
hasil pertanian dan daging sapi. Menurut statistik 1982, dalam
perdagangan dengan AS, Jepang mengeluarkan lebih banyak sekitar
US$ 12,1 milyar. Dalam statistik yang dikeluarkan Departemen
Perdagangan AS, 28 Oktober tahun ini, defisit perdagangan AS
terhadap Jepang tercatat sekitar US$ 15.1 milyar. Sampai akhir
tahun ini, jumlah itu akan mencapai sekitar US$ 20 milyar.
Masalah neraca perdagangan inilah, antara lain, yang diharapkan
menjadi bahan pembicaraan utama selama kunjungan Reagan.
Pembatasan ekspor mobil Jepang ke AS, yang dilaksanakan sejak
1981, agaknya juga akan dibahas bersama. Pada 1 November,
perwakilan perdagangan AS William Brock dan menteri industri dan
perdagangan luar negeri Jepang, Sousuke Uno, sepakat
memperpanjang pembatasan itu setahun lagi, dengan jumlah 1,85
juta unit mobil setahun. Pembatasan ekspor ini terutama
bertujuan melindungi industri mobil AS.
Suara tidak puas sudah tentu dilontarkan para industrialis mobil
Jepang. Shoichiro Toyoda, 58, presiden perusahaan Toyota, di
depan para wartawan Jepang menyatakan keberatannya terhadap
jumlah unit yang ditentukan itu. Demikian pula Takashi Ishihara,
72, presiden perusahaan Nissan. Mereka menganggap perpanjangan
satu tahun itu sebagai langkah tidak bijaksana. Tapi, kalau
pembatasan tidak dilakukan, AS bisa kelabakan menghadapi serbuan
mobil Jepang. Pada Agustus lalu, misalnya, mobil Jepang mencapai
68,8% dari 162 ribu unit mobil yang masuk ke AS.
Melalui perundingan dengan Nakasone, awal tahun ini, Presiden
Reagan pernah mendesak Jepang mengimpor minyak, batu bara, dan
LNG dari AS. Maka 5 November lalu, Jepang mengumumkan rencana
mengimpor sekitar 10 juta ton batu bara dari AS konon dari
daerah pertambangan yang sedang dilanda pengangguran sekitar
30%. Jepang pernah mengimpor batu bara dari AS pada 1981 (23
juta ton), dan 1982 (19 juta on). Tapi dari April sampai Juli
tahun ini, angka impor itu baru mencapai 5,34 juta ton.
Sejak lama masalah perdagangan antara AS dan Jepang meliputi
tiga hal: hasil pertanian, mobil, dan perlengkapan
telekomunikasi. Dua soal terakhir tampaknya sudah dibenahi
sebelum kunjungan Reagan ke Jepang. Tapi di bidang hasil
pertanian rupanyanya belum dicapai titik kesepakatan.
AS sudah lama mendesak Jepang membuka pasarnya untuk hasil
pertanian, terutama daging sapi dan jeruk. Tapi, menurut
statistik departemen pertanian AS, Jepang sekarang saja sudah
merupakan importir terbesar hasil pertanian mereka - sekitar
15% dari jumlah ekspor hasil pertanian AS yang bernilai US$ 43,3
milyar. Tampaknya, Jepang tidak mungkin membuka pintu lebih
lebar, karena bisa didemonstrasi oleh kaum tani di dalam negeri.
Apalagi sudah hampir dipastikan majelis rendah akan dibubarkan
setelah kunjungan Reagan, disusul pemilihan umum pada 18
Desember.
Di bidang pertahanan, Jepang merupakan kubu yang paling
diandalkan AS di Asia Pasifik. Kini, pangkalan dan perlengkapan
militer AS tercatat di 119 tempat di seluruh Jepang. Termasuk
pangkalan radar yang memonitor kegiatan yang berhampiran dengan
perbatasan Uni Soviet di sekitar Sakhalin. Peristiwa penembakan
pesawat KAL-007 oleh pesawat tempur Soviet, 1 September lalu
membuktikan "sumbangan" yang bisa diberikan Jepang dalam
menghimpunkan informasi dan data yang bisa digunakan AS sebagai
pentung untuk menggebuk Soviet.
Terdapat 49.700 personil AS di seluruh Jepang. Untuk kepentingan
militer AS, Jepang mengeluarkan biaya sekitar US$ 1 milyar
setiap tahun. Sebuah buletin departemen luar negeri Jepang, yang
diterbitkan menyambut kunjungan Reagan, menyebut hubungan
kedua negara mempunyai pengaruh besar terhadap perdamaian dan
stabilitas di Asia, bahkan di dunia. Menurut poll pendapat yang
diselenggarakan Potomac Associate, sebuah lembaga riset di
Washington, sekitar 75% responden setuju AS membela Jepang
bila negara itu diserang Soviet atau RRC.
Masalah lain ialah alih teknologi militer. AS konon sangat
berminat pada teknologi mutakhir Jepang, terutama di bidang
elektronika, laser, dan rumus bahan mutakhir untuk membuat mesin
jet dan pesawat terbang militer. Dalam penggunaan robot, Jepang
dikabarkan sudah bersiap melallgkah ke abad ke-21.
Sejumlah persoalan inilah yang diharapkan tuntas dibicarakan
selama kunjungan empat hari Reagan itu. Dialog Utara Selatan,
resesi dunia, dan krisis utang Dunia Ketiga tampaknya tidak
mendapat kesempatan untuk dibahas. Situasi yang dihadapi Reagan
lebih mendesak "pemahaman bersama" terhadap Uni Soviet, di
samping, mungkin, kerja sama pertahanan antara AS, Jepang, dan
Korea Selatan. Jepang, misalnya, bisa saja menjadi semacam
"polisi" di Asia Pasifik, menggantikan peranan AS yang cukup
repot di pelbagai front.
Hal ini tentu bukan cuma urusan Jepang dan AS. Aktifnya Jepang
secara militer diduga akan merisaukan beberapa negara di kawasan
Asia Timur dan Tenggara. Kini tinggal bagaimana persepsi Asia
dan Jepang sendiri terhadap ancaman Uni Soviet - setelah ingatan
orang tentang tertembaknya pesawat Korea Selatan lenyap. Seorang
editor berkala ekonomi terkemuka Jepang pernah mengatakan,
"Dinaikkannya anggaran pertahanan Jepang seakan-akan lebih
karena tekanan AS daripada perasaan takut pada Soviet."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini