TAJUK rencana koran Hong Kong South China Morning Post (SCMP) 1
November lalu cukup membuat banyak orang terkesiap. Dengan
judul "Pemerintahan militer akan berakhir di Indonesia", tajuk
rencana itu mengulas Munas III Golkar di Jakarta bulan lalu.
Keputusan yang diambil dalam munas itu, menurut SCMP, "merupakan
indikasi Presiden Soeharto sedang melangkah untuk meletakkan
negeri ini (Indonesia) di bawah pemerintahan sipil. Dia memang
pernah menyatakan harapannya, pemerintahan sipil akan terwujud
dalam tahun 2000."
Menurut koran Hong Kong itu, salah satu indikasi ke arah itu
adalah komposisi DPP Golkar yang baru: 29 dari 45 kursi di DPP
dijabat tokoh muda, semuanya sipil. Padahal, sebelumnya
mayoritas pimpinan dipegang oleh kaum militer profesional.
Benarkah Presiden pernah mengeluarkan ucapan itu? "Tidak
pernah," kata seorang pejabat tinggi pemerintah. "Keterlibatan
ABRI dalam politik merupakan pelaksanaan peranan sospol
dwifungsinya, yang sudah teraris pasti dalam berbagai
undangundang dan keputusan MPR."
Dugaan bahwa munculnya mayoritas kaum muda sipil dalam pimpinan
Golkar merupakan indikasi peralihan kekuasaan ke tangan sipil
agaknya juga kurang beralasan. Sebab, yang menentukan bukannya
jumlah, tapi cara pengambilan keputusan.
Sehari setelah terbentuk, pada 26 Oktober DPP Golkar mengadakan
rapat kilat yang dihadiri 43 dari 45 anggota. Di situ ditetapkan
pembagian tugas sementara DPP Golkar. Antara lain:
keputusan-keputusan diambil dalam rapat pengurus harian (yang
terdiri dari ketua umum, delapan ketua, sekjen dan bendahara),
atau pengurus harian lengkap (ditambah empat wakil sekjen dan
dua wakil bendahara). Dalam keadaan mendesak ketua umum bisa
mengambil keputusan yang dipandang perlu.
Diputuskan juga: para ketua mempunyai bidang tertentu dan
mengendalikan departemen dengan didampingi unsur sekjen dan
bendahara. Misalnya, Ketua Sukardi membidangi bidang ekonomi dan
mengkoordinasikan Departemen Tani dan Nelayan serta Departemen
Koperasi danl Wiraswata, didampingi Wakil Sekjen Akbar Tanjung.
Sedang Ketua Sugandhi membldangl bidang Politik,
mengkoordinasikan Departemen Penerangan, Penerbitan dan Media
Massa serta Departemen Luar Negeri. Ia didampingi Sekjen Sarwono
Kusumaatmadja.
Keputusan itu menimbulkan dugaan: kaum muda di DPP, termasuk
Sarwono, diminta berperan sebagai "pendamping" para tokoh tua.
Maka, agak berlebihan bila diharapkan mereka akan bisa memainkan
peranan penting. Sekjen Sarwono juga didampingi seorang pejabat
Sekretariat Negara, Sukarton Marmosudjono, yang ditugasi Ketua
Umum Sudharmono untuk membantunya.
Tapi Sarwono punya pendapat lain: "Tugas pendamping itu tugas
tambahan. Tugas kesekjenan saya, yang standar dan berlaku pada
tiap organisasi, tetap ada."
Dalam rapat pleno pertama DPP Golkar yang diselenggarakan di
kediaman resmi Mensesneg sudharmono, Senin malam lalu, ternyata
ada yang menanyakan kedudukan Sukarton. Kabarnya, Ketua Umum
Sudharmono menjelaskan: salah satu uraian tugas ketua umum
adalah menjalin hubungan baik dengan pemerintah dan lembaga
tmggi negara lain, serta membina Fraksi Karya Pembangunan.
Agaknya tugas itu kini dibebankan pada Sukarton, yang
sehari-hari memang men1abat Asisten Menteri/Sekretaris Negara
Urusan Hubungan dengan Lembaga Tertinggi/Lembaga-lembaga Tinggi
Negara. Sukarton sendiri, karena masih anggota ABRI aktif
(TNI-AL) tidak duduk dalam kepengurusan Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini