SIARAN radio Muangthai Kamis malam itu mengejutkan banyak orang. Tapi kali ini bukan kudeta atau devaluasi mata uang baht. Hanya pembubaran parlemen, satu langkah yang terpaksa diambil PM Prem Tinsulanonda, setelah badan legislatif itu "gagal" memberi dukungan mayoritas pada kabinet. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Prem selanjutnya akan memimpin sebuah "caretaker government" sampai kabinet baru terbentuk, sesuai dengan hasil pemilu yang dijadwalkan 27 Juli mendatang. Mengapa Prem kehilangan dukungan parlemen? Menurut Jenderal Kriangsak Chomanan, karena penyogokan. Tokoh oposisi Ponpol Adireksan menyebut adanya perlawanan terhadap kebijaksanaan pemerintah, sedangkan Prem samar-samar mengatakan adanya konflik antarpartai. Ia tidak mau mengungkapkan usaha kalangan tertentu yang sengaja membeli suara lalu digunakan untuk menjatuhkan kabinetnya. Satu hal sudah pasti, Prem tidak mungkin lagi menjadi PM pertama di Muangthai yang bertahan selama empat tahun masa jabatan. Sebagian penyebabnya terletak pada diri Prem sendiri, yang, walaupun terbukti cukup tangguh menghadapi berbagai krisis, ternyata kurang bisa membaca situasi. Ia kurang memperhitungkan pihak oposisi dan orang-orang sekubu seperti Boontheng Thongsawadi dan Kosol Krairikhs yang kemudian menjadi pembangkang. Kedua orang ini terpental dari kabinet sesudah penyusunan baru Januari silam, keduanya juga terang-terangan berniat menjatuhkan Prem dan Siddhi Savetsila. Peluang tiba pekan lalu, ketika kabinet Prem mengajukan 9 RUU ke parlemen . Mencakup berbagai ketentuan di bidang perbankan dan perpajakan, proses di parlemen semula tampak lancar dan kubu Prem optimistis. Tapi ketika sampai pada RUU Angkutan Darat yang pada intinya menetapkan kenaikan pajak untuk kendaraan bermotor diesel dan LPG, maka suasana mulai tersendat-sendat. Debat sekitar RUU itu saja menghabiskan waktu tujuh jam ditambah lagi tiga kali pemungutan suara. Dan di antara voting terjadilah apa yang disebut Menteri Perhubungan Samak Sundaravej sebagai "politik main kotor". Bagi Samak hal itu benar-benar memalukan. "RUU yang sepotong itu tidaklah penting betul," ujar Samak geram. "Tapi kredibilitas pemerintah justru dipertaruhkan untuk itu." Tokoh oposisi dari Chart Thai, Ponpol Adireksan, mengakui: ia melihat sendiri praktek politik yang tidak terpuji itu. Tapi, "uang sogok 'kan cuma satu risiko politik," kata Ponpol. "Dan kecurangan itu tidak terbatas pada satu pihak saja." Menurut Ponpol, dengan atau tanpa kecurangan, kebijaksanaan pemerintahan Prem memang dikecam beramai-ramai. Satu contoh saja, rakyat pasti tidak suka kalau pajak naik, karena itu berarti harga-harga ikut naik. Surin Pitsuwan, seorang ahli politik dari Universitas Thammasat, berpendapat begitu pula. "Beberapa kebijaksanaan Prem bikin banyak musuh, seperti devaluasi, reshuffle kabinet, penolakan perpanjangan masa jabatan Arthit . . .," tutur Surin memberi contoh. "Dan usul-usul pemerintah dalam sidang parlemen tahun ini saja telah menimbulkan amarah para bankir yang berkuasa," katanya lagi. Dan bukan tidak mungkin para bankir itu bekerja diam-diam, sementara partai oposisi Chart Thai terang-terangan mendalangi gerakan menjatuhkan Prem, seraya memanfaatkan keretakan di tubuh SAP (Social Action Party), partai Prem dan Siddhi. Dengan sejumlah besar uang dan dua tokoh kaliber Brutus seperti Boontheng dan Kosol, maka lengkaplah permainan tingkat tinggi itu. "Saya betul-betul melihat uang tunai," ujar Kriangsak Chomanan. "Saya bersedia menjadi saksi." Seorang tokoh oposisi bernama Songtham Panyadee melihat banyak amplop dibagi-bagikan ke hampir semua anggota parlemen. Ada juga yang melihat daftar nama orang-orang yang menerima sogok. Klaew Norapati dari Partai Sosial Demokrat bahkan mengaku ditawari 100.000 baht, oleh "seorang tokoh berpengaruh" yang dirahasiakan identitasnya. Walaupun pemungutan suara dilakukan sampai tiga kali, Prem akhirnya tetap saja kalah. Pada pungutan suara putaran pertama Prem kalah 137 lawan 140 suara tidak setuju. Putaran kedua, ia kalah tipis 142-143. Sebenarnya voting tidak akan dilakukan lagi tapi karena protes keras Menteri Samak, akhirnya putaran ketiga dilakukan juga. Pada kesempatan ini 30 dari 40 anggota SAP serentak mengkhianati Prem. Tapi sebelumnya sudah terjadi kekacauan karena ada seorang menteri yang dituduh menyerahkan 200.000 baht (US$ 7.700), sedangkan Letkol Chaovarin Latthasaksiri ribut-ribut tentang adanya uang ganti tangan di lantai III. Prem Tinsulanonda, jenderal yang sempat tiga tahun menjadi PM - rata-rata PM berkuasa paling lama satu tahun - akhirnya dikalahkan di parlemen dengan perbandingan suara 143-147. Lawannya, Ponpol Adireksan, bersorak, "Rencana kami berhasil, kami puas." Ia tampaknya tidak peduli kalau kemenangan itu bisa diraih karena uang sogok. Politikus lain juga begitu. Hanya Prem yang prihatin. Ia lalu memilih alternatif membubarkan parlemen. Alasannya sederhana: kalau parlemen sebobrok itu dibiarka bertindak sesuka mereka, maka kelancaran administrasi negara bisa terhambat dan pasti merugikan rakyat. Dalam tempo dua bulan rakyat Muangthai akan menghadapi pemilu yang biayanya diperkirakan 300 juta baht (US$ 11,5 juta). Sementara itu, banyak hal bisa terjadi. Kemungkinan adanya kudeta militer dibantah keras. Tapi bagaimana dengan Arthit? Panglima Angkatan Bersenjata itu yang September nanti akan pensiun tampaknya masih ragu-ragu. Isma Sawitri Laporan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini