DEMONSTRASI orang-orang Marcos, yang sudah berlangsung tiga minggu, akhirnya meledak dalam satu bentrokan melawan pendukung Cory Aquino. Adu kekuatan tak mungkin lagi dihindarkan. Batu dan botol beterbangan di udara Kamis pekan lalu itu, dan pawai hari buruh berubah menjadi perkelahian seru. Dari ribuan loyalis Marcos - yang disindir Aquino sebagai orang-orang bayaran - satu orang dikabarkan tewas, beberapa cedera, 79 lainnya ditahan. Karena huru-hara itu, Aquino, yang semula lunak, tiba-tiba memperingatkan pihak lawan agar toleransinya jangan sekali-kali ditafsirkan sebagai kelemahan. Sejak itu warga Manila bisa melihat bagaimana para polisi bertindak tegas. Dan Ahad baru lalu, untuk kedua kalinya massa Marcos dipaksa bubar, di bawah ancaman pentungan serta gas air mata. Tidak cuma itu. Kepala polisi Manila, Brigjen Narciso Cabrera, dipecat, digantikan oleh Brigjen Alfredo Lim yang bersemboyan "keras lawan keras". Cabrera, yang ketika Marcos berkuasa terlatih menjinakkan pendukung Cory, kini menunggu giliran diinterogasi, karena dicurigai sebagai antek Marcos. Tidak seperti gerilyawan komunis, sampai kini kelompok Marcos belumlah bisa digolongkan sebagai ancaman serius. Tapi dalam menghadapi mereka kesabaran dan kebesaran jiwa Aquino ternyata ada batasnya. Terutama setelah 12.000 orang Marcos berkumpul di Taman Luneta dua pekan lalu, khusus untuk mendengarkan pidato bekas presiden itu yang diteleponkan langsung dari Honolulu. Penampilan mereka - dalam baju kaus merah putih biru - lama-kelamaan memancing kebencian dan amarah orang. Pada saat yang sama, pemerintahan Aquino yang usianya tak lebih dari dua bulan itu kian direpotkan oleh militansi gerilyawan komunis NPA (Tentara Rakyat Baru). Ini seirama dengan pernyataan berkala Bayan (Bangsa) - bulanan CPP (Partai Komunis Filipina) - yang isinya mencanangkan bahwa perlawanan bersenjata akan ditingkatkan. Alasan mereka: tentara berlaku kejam terhadap rakyat revolusioner, khususnya yang tinggal di pedalaman. Tidak heran jika kemudian aksi kekerasan meletus di banyak tempat. Selama dua pekan terakhir, korban-korban berjatuhan di Luzon, di Cagayan 50 orang, di Albay 21 orang. Dalam satu aksi serang-lari yang dilancarkan sparrow-unit NPA di Cagayan, juru potret terkenal Willifred "Willie" Vicoy dan rekannya, Pete Mabazza, terbunuh. Jip yang mereka tumpangi disergap kaum pemberontak dengan berondongan senapan otomatis dan ledakan granat. Mendengar ini Menhan Juan Ponce Enrile mengancam untuk balik menyerang secara besar-besaran. Ini berarti semboyan "keras lawan keras" juga berlaku terhadap gerilyawan komunis yang semula diimbau untuk turun gunung dan meletakkan senjata. Tak ayal lagi Kastaf Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) Jenderal Fidel Ramos segera mengirimkan satuan lapis baja berikut helikopter dan pesawat tempur untuk memperkuat operasi penumpasan. KEMATIAN Willie Vicoy agaknya merupakan pil pahit kesekian yang terpaksa ditelan Corazon Aquino. Ia bukan saja menghargai karya-karya Vicoy yang pernah dicalonkan untuk hadiah Pulitzer, tapi juga mengenal secara pribadi juru potret veteran Perang Vietnam itu. Sekarang ini tampaknya Aquino kehabisan alasan untuk berilusi bahwa komunis bisa dibujuk untuk rujuk. "Pudarlah harapan untuk berdamai dengan pemberontak," katanya prihatin. Tapi kalau komunis mesti dihadapi secara keras, bagaimana halnya dengan pemberontak Muslim yang tiba-tiba angkat senjata di Mindanao? Lewat iparnya Butz Aquino, presiden Filipina itu berpesan supaya mereka bersabar. Ini disampaikan pada kongres bangsa Moro, akhir bulan lalu di Zamboanga. "Kami mulai resah," kata pemimpin Moro, Syarif Azhar Sarahadil. "Kami khawatir akan jadi korban manipulasi, seperti dulu." Pemberontakan Moro-MNLF dapat dipadamkan Marcos lewat kesepakatan Tripoli, 1976, ketika Manila menjanjikan otonomi. Sampai ia digulingkan, janji itu tidak dipenuhi, sementara kekuatan MNLF tercerai-berai. Bentrok senjata yang terjadi pekan lalu di Mindanao tidak sekadar menunjukkan bahwa mereka masih berpotensi, tapi juga membuktikan bahwa gencatan senjata yang ditandatangani Macapantun Abbas atas nama MNLF sudah tidak berlaku lagi. Gencatan senjata itu ternyata hanya bertahan 17 hari. Dan ketika para pengambil keputusan di Manila masih harus membagi perhatian untuk banyak urusan yang lebih mendesak pemimpin Moro Sarahadil berkata, "Sebentar lagi bulan Ramadan, bulan yang baik sekali untuk melancarkan perang suci." Isma Sawitri Laporan Reuter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini