Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dendam Berdarah Di Desa Zghorta

Penyerbuan golongan Phalangist ke desa Zghorta, pangkalan keluarga Franjich, menewaskan anak, menantu & cucu presiden suleiman Franjich. Tragedi ini dikhawatirkan menimbulkan perang saudara lagi.(ln)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menduduki Libanon Selatan selama 91 hari, peleton terakhir Israel meninggalkan kawasan itu 13 Juni pekan silam. Orang-orang Libanon tentu saja menyambut gembira penarikan pasukan pendudukan itu, meski untuk sementara di sana masih harus berjaga-jaga sejumlah 5000 pasukan pengawas PBB. Tapi suasana gembira yang mestinya terasa pada hari pengosongan tentara Israel itu kemudian ternyata dibatalkan oleh sebuah insiden berdarah yang terjadi di sempadan utara Libanon. Hatta, beberapa jam sebelum peleton terakhir Israel itu menyeberangi perbatasan selatan Libanon, sebuah pertempuran secara tiba-tiba melanda desa Zghorta, 110 kilometer di sebelah utara Beirut. Di sana 2 kelompok Kristen Maronit saling berbunuhan di pagi buta. Desa Zghorta merupakan pangkalan turun temurun bagi keluarga Franjieh. Dan yang melakukan penyerangan ke desa itu adalah kelompok pimpinan Pierre Gemayel, yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Franjieh. Dua kelompok yang saling bunuh-bunuhan itu adalah bagian dari keluarga-keluarga Kristen Maronit yang sejak lama selalu berebutan untuk memerintah Libanon, yang elit poliiknya memang terdiri dari kalangan Kristen Maronit. Maka ketika asap mesiu mulai menghilang dari udara dan penghitungan korban dilakukan, ternyata pihak keluarga Franjieh menderita korban 42 orang tewas Keadaan menjadi amat gawat ketika diketahui bahwa Tony Franjieh, putera bekas Presiden Franieh, juga ikut terbunuh dalam serangan itu. Tony, 37 tahun, anggota parlemen dan bekas menteri PTT Libanon, ternyata bukan satu-satunya keluarga Suleiman Franjieh yang tewas pagi itu. Isteri Tony, seorang wanita Mesir, serta seorang bayi mereka juga tewas bersama para pembantu dan pengawal. Dan Suleiman -- yang segera datang ke tempat pembantaian itu. Dengan emosi tak tertahankan, Presiden itu bersumpah akan menuntut balas bagi kematian anak, mantu, cucu serta para pengikutnya. Meski jumlah pengikut dan kekuatan persenjataan keluarga Franjieh tidak sehebat yang dimiliki oleh kelompok Phalangist, tapi sumpah yang dlucapkan oleh Suleiman, 67 tahun, itu dinilai amat serius oleh para diplomat di Beirut. Di tengah-tengah berbagai kelompok Kristen Maronit yang saling tak akur itu, Suleiman dikenal sebagai salah satu pemimpin keluarga -- semacam Godfather -- yang berwatak keras. Salah satu tindakan Suleiman yang terkenal adalah menembak mati 12 orang dari keluarga yang bermusuhan dengan keluarga Franjieh. Yang menarik dari pembunuhan di tahun 1960 itu adalah ini: penembakan itu terjadi di dalam gereja yang sedang melangsungkan suatu upacara perdamaian antara dua keluarga yang saling bertentangan. Di tengah-tengah upacara itulah Suleiman mengambil kesempatan untuk membereskan musuhnya. Para pengamat politik serta diplomat di Beirut juga tidak pernah lupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Suleiman ketika berlangsung pemilihan presiden pada tahun 1970. Hasil pemungutan suara kemudian memang dimenangkan oleh Suleiman, tapi salah satu cara yang dilakukannya adalah menodongkan pistol kepada sejumlah orang yang akan menentukan pilihan. Kejadian kasar seperti ini amat tidak menyenangkan golongan Phalangist. Tapi karena tidak menginginkan golongan Islam dan sayap kiri berkuasa, maka keluarga Gemayel serta penganut Kristen Maronit lainnya terpaksa juga mendukung Suleiman Franjieh. Pintu-Pintu Meski demikian, tidak berarti bahwa keluarga Gemayel berdiam diri terhadap tingkah laku Suleiman dan puteranya, Tony. Pihak Phalangist ini kabarnya sejak lama mencurigai keluarga Franjieh memanfaatkan kedudukan politik mereka di pemerintahan Libanon untuk memperkaya diri. Tuduhan-tuduhan seperti itu sudah jelas amat memarahkan keluarga Franjieh. Nampaknya kemarahan inilah yang menjadi alasan bagi penyerbuan yang mereka lakukan terhadap kubu kaum Phalangist tiga minggu sebelum pembantaian 13 Juni yang lalu. Pada hari itu, para pengikut Franjieh berhasil menewaskan 5 orang pengikut Gemayel. Tapi -- seperti diketahui -- 3 minggu kemudian, 42 pengikut Franjieh, terbantai di pagi buta. Sampai awal pekan ini belum lagi terdengar kabar mengenai pertempuran baru antara keluarga Franjieh dengan golongan Phalangist. Mungkin karenl Suleiman masih berkabung serta dengan urusan pemakaman anak, mantu, cucu dan para pengikutnya. Kendati demikian, pertumpahan darah itu tentulah soal waktu saja. Karena itulah maka pasukan penengah Suria -- berada di Libanon sejak terjadi perang saudara di Libanon beberapa tahun silam -- dengan segera turun tangan. Sehari setelah pembantaian di Zghorta, pasukan-pasukan tank dan infantri Suria mengepung desa Deir El Ahmar -- 25 kilometer dari Zghorta -- yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian pasukan-pasukan yang membunuh keluarga Franjieh itu. Tank-tank mengepung desa dari pagi buta ketika ultimatum untuk menyerahkan pembunuh Tony disiarkan oleh komandan pasukan Suria tersebut. Karena tidak ada jawaban, pasukan menyerbu ke desa, melucuti polisi dan melakukan penggeledahan dari pintu ke pintu. Di tengah-tengah kecemasan akan berkobarnya kembali perang saudara di Libanon, para pengamat politik di Beirut pekan silam melihat tragedi Zghorta itu sebagai suatu yang memberi kesempatan politik bagi Presiden Elias Sarkis yang dekat dan didukung oleh Suria itu. Seperti diketahui, di kalangan Kristen Maronit di Libanon dikenal 4 golongan dengan pengikut masing-masing. Mereka itu adalah golongan Phalangist, keluarga Franjieh, pengikut Chamil Chammoun dan pengikut Sarkis. Berita tentang Chammoun -- juga bekas presiden -- sudah lama tidak terdengar, sedang Sarkis bisa menjadi presiden dengan dukungan 30 ribu pasukan Suria di Libanon. Dengan makin berkobarnya pertikaian di antara dua kelompok penting Kristen Maronit di Libanon, nampaknya peranan Suria juga akan makin menjadi penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus