SETELAH menduduki Libanon Selatan selama 91 hari, peleton
terakhir Israel meninggalkan kawasan itu 13 Juni pekan silam.
Orang-orang Libanon tentu saja menyambut gembira penarikan
pasukan pendudukan itu, meski untuk sementara di sana masih
harus berjaga-jaga sejumlah 5000 pasukan pengawas PBB.
Tapi suasana gembira yang mestinya terasa pada hari pengosongan
tentara Israel itu kemudian ternyata dibatalkan oleh sebuah
insiden berdarah yang terjadi di sempadan utara Libanon.
Hatta, beberapa jam sebelum peleton terakhir Israel itu
menyeberangi perbatasan selatan Libanon, sebuah pertempuran
secara tiba-tiba melanda desa Zghorta, 110 kilometer di sebelah
utara Beirut. Di sana 2 kelompok Kristen Maronit saling
berbunuhan di pagi buta.
Desa Zghorta merupakan pangkalan turun temurun bagi keluarga
Franjieh. Dan yang melakukan penyerangan ke desa itu adalah
kelompok pimpinan Pierre Gemayel, yang merupakan musuh bebuyutan
keluarga Franjieh.
Dua kelompok yang saling bunuh-bunuhan itu adalah bagian dari
keluarga-keluarga Kristen Maronit yang sejak lama selalu
berebutan untuk memerintah Libanon, yang elit poliiknya memang
terdiri dari kalangan Kristen Maronit.
Maka ketika asap mesiu mulai menghilang dari udara dan
penghitungan korban dilakukan, ternyata pihak keluarga Franjieh
menderita korban 42 orang tewas Keadaan menjadi amat gawat
ketika diketahui bahwa Tony Franjieh, putera bekas Presiden
Franieh, juga ikut terbunuh dalam serangan itu.
Tony, 37 tahun, anggota parlemen dan bekas menteri PTT Libanon,
ternyata bukan satu-satunya keluarga Suleiman Franjieh yang
tewas pagi itu. Isteri Tony, seorang wanita Mesir, serta seorang
bayi mereka juga tewas bersama para pembantu dan pengawal. Dan
Suleiman -- yang segera datang ke tempat pembantaian itu. Dengan
emosi tak tertahankan, Presiden itu bersumpah akan menuntut
balas bagi kematian anak, mantu, cucu serta para pengikutnya.
Meski jumlah pengikut dan kekuatan persenjataan keluarga
Franjieh tidak sehebat yang dimiliki oleh kelompok Phalangist,
tapi sumpah yang dlucapkan oleh Suleiman, 67 tahun, itu dinilai
amat serius oleh para diplomat di Beirut.
Di tengah-tengah berbagai kelompok Kristen Maronit yang saling
tak akur itu, Suleiman dikenal sebagai salah satu pemimpin
keluarga -- semacam Godfather -- yang berwatak keras. Salah satu
tindakan Suleiman yang terkenal adalah menembak mati 12 orang
dari keluarga yang bermusuhan dengan keluarga Franjieh. Yang
menarik dari pembunuhan di tahun 1960 itu adalah ini: penembakan
itu terjadi di dalam gereja yang sedang melangsungkan suatu
upacara perdamaian antara dua keluarga yang saling bertentangan.
Di tengah-tengah upacara itulah Suleiman mengambil kesempatan
untuk membereskan musuhnya.
Para pengamat politik serta diplomat di Beirut juga tidak pernah
lupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Suleiman ketika
berlangsung pemilihan presiden pada tahun 1970. Hasil pemungutan
suara kemudian memang dimenangkan oleh Suleiman, tapi salah satu
cara yang dilakukannya adalah menodongkan pistol kepada sejumlah
orang yang akan menentukan pilihan.
Kejadian kasar seperti ini amat tidak menyenangkan golongan
Phalangist. Tapi karena tidak menginginkan golongan Islam dan
sayap kiri berkuasa, maka keluarga Gemayel serta penganut
Kristen Maronit lainnya terpaksa juga mendukung Suleiman
Franjieh.
Pintu-Pintu
Meski demikian, tidak berarti bahwa keluarga Gemayel berdiam
diri terhadap tingkah laku Suleiman dan puteranya, Tony. Pihak
Phalangist ini kabarnya sejak lama mencurigai keluarga Franjieh
memanfaatkan kedudukan politik mereka di pemerintahan Libanon
untuk memperkaya diri.
Tuduhan-tuduhan seperti itu sudah jelas amat memarahkan keluarga
Franjieh. Nampaknya kemarahan inilah yang menjadi alasan bagi
penyerbuan yang mereka lakukan terhadap kubu kaum Phalangist
tiga minggu sebelum pembantaian 13 Juni yang lalu. Pada hari
itu, para pengikut Franjieh berhasil menewaskan 5 orang pengikut
Gemayel. Tapi -- seperti diketahui -- 3 minggu kemudian, 42
pengikut Franjieh, terbantai di pagi buta.
Sampai awal pekan ini belum lagi terdengar kabar mengenai
pertempuran baru antara keluarga Franjieh dengan golongan
Phalangist. Mungkin karenl Suleiman masih berkabung serta
dengan urusan pemakaman anak, mantu, cucu dan para pengikutnya.
Kendati demikian, pertumpahan darah itu tentulah soal waktu
saja. Karena itulah maka pasukan penengah Suria -- berada di
Libanon sejak terjadi perang saudara di Libanon beberapa tahun
silam -- dengan segera turun tangan.
Sehari setelah pembantaian di Zghorta, pasukan-pasukan tank dan
infantri Suria mengepung desa Deir El Ahmar -- 25 kilometer dari
Zghorta -- yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian
pasukan-pasukan yang membunuh keluarga Franjieh itu. Tank-tank
mengepung desa dari pagi buta ketika ultimatum untuk menyerahkan
pembunuh Tony disiarkan oleh komandan pasukan Suria tersebut.
Karena tidak ada jawaban, pasukan menyerbu ke desa, melucuti
polisi dan melakukan penggeledahan dari pintu ke pintu.
Di tengah-tengah kecemasan akan berkobarnya kembali perang
saudara di Libanon, para pengamat politik di Beirut pekan silam
melihat tragedi Zghorta itu sebagai suatu yang memberi
kesempatan politik bagi Presiden Elias Sarkis yang dekat dan
didukung oleh Suria itu.
Seperti diketahui, di kalangan Kristen Maronit di Libanon
dikenal 4 golongan dengan pengikut masing-masing. Mereka itu
adalah golongan Phalangist, keluarga Franjieh, pengikut Chamil
Chammoun dan pengikut Sarkis. Berita tentang Chammoun -- juga
bekas presiden -- sudah lama tidak terdengar, sedang Sarkis bisa
menjadi presiden dengan dukungan 30 ribu pasukan Suria di
Libanon. Dengan makin berkobarnya pertikaian di antara dua
kelompok penting Kristen Maronit di Libanon, nampaknya peranan
Suria juga akan makin menjadi penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini