NADANYA sama, walau yang mengucapkannya berbeda. Terutama
Menhankam Jenderal M. Jusuf dan KSAD Jenderal Widodo, kedua
tokoh utama ABRI ini belakangan mempopulerkan lagi kata
"manunggalnya Rakyat dan ABRI."
KSAD Jenderal Widodo dalam sambutan tertulisnya pada peringatan
HUT ke-21 Kodam XIV/Hasanuddin 1 Juni yang lalu memerintahkan
semua anggota TNI-AD, terutama anggota pimpinannya, agar
meresapi doktrin-doktrin tentang sikap keprajuritan. "Hilangkan
anggapan bahwa prajurit itu harus selalu bersikap keras, kasar
dan angker terhadap rakyat untuk melaksanakan kewibawaannya."
Kemudian, dalam amanatnya pada upacara bendera 17 Juni di Markas
Besar TNI, Widodo mengatakan sebab musabab dari kerenggangan dan
ketegangan sikap antara sesama komponen dan eksponen Orde Baru
yang antara lain disebabkan oleh "sikap hidup beberapa gelintir
manusia yang hidup secara berlebih-lebihan, yang kadang-kadang
tidak disadari dan diinsyafi." Cara ini menurut Widodo, tidak
sesuai dengan lingkungan kita dan akan berpengaruh negatif
terhadap kemanunggalan rakyat termasuk ABRI-nya.
Tak kurang dari itu, dalam rapat kerjanya dengan Komisi I DPR 9
Juni lalu, Menhankam/Pangab Jenderal M. Jusuf menjelaskan, bahwa
masalah yang jadi titik perhatiannya ialah bagaimana
meningkatkan kemanunggalan Rakyat dan ABRI.
"Mendengung-dengungkan kembali masalah itu bukanlah karena
adanya kerenggangan, tapi kebenaran sejarah membuktikan bahwa
kemanunggalan Rakyat-ABRI merupakan kekuatan ampuh yang
menyelamatkan bangsa dari segala bentuk ancaman."
Menhankam M. Jusuf juga menegaskan adalah menjadi prinsipnya
bahwa setiap tindakan yang diambil harus bersifat mendidik dan
untuk memperkokoh persatuan bangsa. Karena itu dalalu
menghadapi masalah-masalah akibat ekses Pemilu lalu dan Sidang
Umum MPR 1978 penyelesaiannya jauh dari niatan mendiskreditkan
segolongan tertentu dalam masyarakat. "Tindakan mendiskreditkan
itu pada hakekatnya diri sendirilah yang didiskreditkan, karena
kita adalah satu ikatan dalam masyarakat ujarnya.
Dwi-fungsi
Sementara itu Pangdam XIV/Hasanuddin Brigjen TNI Kusnadi pekan
lalu mengemukakan, bahwa dalam masyarakat luas masih terdapat
kekaburan tentang pengertian Dwi-fungsi ABRI, yang pada umumnya
dihubungkan dengan ekses-ekses dari pelaksanaan tugas kekaryaan.
"Petunjuk dan bukti berhasilnya pelaksanaan Dwi-fungsi ABRI
adalah jika dalam jangka panjang makin sedikit anggota ABRI yang
ditugas-karyakan dan makin banyak tenaga sipil yang melayani
tugas pemerintah," katanya.
Berbagai ucapan ini mengundang banyak suratkabar mengulasnya
dalam tajuk rencana. Harian Merdeka malahan mengatakan bahwa
ucapan itu merupakan bagian dari "otokritik" yang dilancarkan
ABRI dalam tubuhnya sendiri.
Menarik perhatian adalah Rapat Pimpinan Kowilhan
II/Jawa-Madura-Nusa Tenggara di Surabaya 1-3 Juni yang juga
mempunyai tema manunggalnya Rakyat-ABRI. Salah satu fokus
perhatian Kowilhan II adalah pemantapan persatuan dan kesatuan
nasional yang telah tercapai, dengan menunjuk bahwa "semua
kekuatan sosial-politik sudah membuktikan sikapnya sebagai
penganut Pancasila yang baik."
Rapim menyimpulkan, agar terhadap berbagai keadaan tahun lalu,
yang menimbulkan "salah mengerti," perlu segera dilakukan
langkah-langkah rekonsiliasi -- atau pemulihan hubungan baik
kembali. Kesimpulan lain menyebutkan bahwa sesuai dengan dasar
negara Pancasila, maka tidak boleh ada satu unsur masyarakat pun
yang ditinggalkan dalam kehidupan bernegara. Karena secara
sosiologis, jika ada yang berada di luar sistim akan berarti
tidak berfungsinya sistim itu sendiri.
Untuk ini, Kowilhan II akan berusaha mengajak dan menjadi
mediator bagi keikutsertaan seluruh golongan masyarakat dalam
gerak nasional. Mungkin itu semua tanda bahwa ABRI sedang tampil
sebagai kekuatan nasional yang dengan keyakinan diri, berani
menerima hadirnya keaneka ragaman di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini