PERTAMA-TAMA, si terhukum akan diperiksa dokter. Dan kalau dokter sudah menyatakan sehat, dia tak punya pilihan selain bersiap menghadapi deraan rotan berdiameter tak lebih dari 3,5 sentimeter itu. Tangan dan kakinya diikat di kayu. Dengan dada telanjang dan celana yang dibolongi di bagian pantatnya, dia menjalani hukuman itu. Ada luka yang bertahan sampai mingguan di pantatnya. Kalau luka ini dinyatakan sembuh, barulah hukuman cambuk kedua dilaksanakan. Begitu seterusnya.
Itulah kesaksian seorang diplomat ASEAN tentang hukuman cambuk (sebat, istilah Malaysianya) kepada TEMPO. Dan Sudi Bebab, Idris Rukin, Junaidi Mustafa, serta beberapa rekannya, tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang telah divonis delapan bulan penjara plus enam kali cambuk oleh pengadilan Johor Baru pekan lalu, mungkin tak punya gambaran soal hukuman itu. Mereka merupakan orang Indonesia pertama yang diadili karena pelanggaran Akta Imigrasi yang baru saja diperbarui awal tahun ini.
Hukuman maksimal bagi pelanggarnya adalah penjara lima tahun, denda RM 10 ribu (sekitar Rp 23 juta), dan cambuk rotan enam kali. Menurut Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, ada 48 orang Indonesia yang telah diputus hukumannya di berbagai pengadilan di Malaysia. Tak semua terhukum dikenai hukum cambuk rotan, sebuah hukuman yang dipermasalahkan di dalam dan di luar negeri. Amnesti Internasional, sebuah organisasi nonpemerintah, melukiskannya sebagai hukuman kejam, sadis, dan tidak manusiawi. "Bisa membuat kulit terkelupas," kata Irene Fernandez, Direktur Tenaganita, LSM yang berurusan dengan soal buruh perempuan di negeri itu.
Namun cambuk dengan rotan yang notabene merupakan warisan kolonial itu bukanlah hal baru buat Malaysia. Setidaknya ada 40 jenis kejahatan yang diancam oleh hukuman tambahan cambuk dengan rotan, termasuk pemerkosaan dan kepemilikan obat-obatan terlarang. Menurut Suara Rakyat Malaysia (Suaram), LSM yang menangani masalah hak asasi manusia di Malaysia, sejak Januari hingga November tahun lalu tercatat 13 orang dijatuhi hukuman cambuk karena melakukan berbagai jenis kejahatan.
Tak ada yang baru kecuali satu hal: yang menjadi korban kali ini adalah warga Indonesia yang terpaksa datang ke Malaysia untuk mengumpulkan ringgit tapi tanpa dokumen legal. Semakin hari, posisi Sudi Bebab, Idris Rukin, dan kawan-kawannya semakin lemah. Sebab, kalau dalam 10 hari—sejak jatuh vonis—mereka tidak melakukan banding, hukuman akan segera dilaksanakan, kata Irene. "Kami sedang berusaha memobilisasi pengacara untuk membantu mereka." Bagaimana dengan perlindungan pemerintah Indonesia?
Pemerintah Indonesia hanya menyediakan Rp 1 miliar untuk advokasi warganya yang menjalani proses peradilan di Malaysia. Uang sebesar itu akan digunakan untuk biaya pengacara dari Malaysia. Wahyu Susilo, Sekretaris Eksekutif Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), mempertanyakan, dengan Rp 1 miliar, ada berapa pengacara yang bisa disewa. Padahal biaya pengacara sangat mahal di Malaysia. Biaya untuk kasus kecil seperti perceraian saja bisa mencapai RM 3.000. Apalagi jumlah TKI ilegal tak sedikit.
Seperti diketahui, saat ini masih terdapat sekitar 170 ribu TKI tak berdokumen di Malaysia. Hingga Agustus ini, ada 480 ribu TKI ilegal yang telah masuk di Malaysia. Dan baru sekitar 70 persen dari mereka yang telah meninggalkan Malaysia. Sementara itu, berdasarkan catatan Kopbumi, seperti dikatakan Wahyu Susilo, tercatat sekitar 600 orang Indonesia yang sudah tertangkap—termasuk yang sudah dan akan diadili.
Sejauh ini, Kedutaan Besar RI di Malaysia, yang tak memiliki dana cukup, tidak bisa menjanjikan banyak kepada mereka yang sedang diadili. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa, menyatakan kedutaan sudah melakukan tindakan proaktif untuk membantu para TKI ini. Tapi kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kedutaan lebih banyak menunggu laporan data dari kantor imigrasi Malaysia di berbagai kawasan. Sementara itu, misalnya, ada sejumlah kasus TKI yang diadili tanpa pengacara.
Ada saudara-saudara kita yang tersangkut di pengadilan dan penjara, ada juga yang dalam antrean panjang di pelabuhan-pelabuhan. Karena kelewat banyak orang, transportasi sulit. Bagi TKI ilegal yang bisa menunjukkan dokumen perjalanan pulang, pemerintah Malaysia akhirnya memberikan perpanjangan waktu tinggal hingga 31 Agustus. Tapi yang tak memiliki dokumen harus siap menghadapi hukuman penjara lima tahun, denda RM 10 ribu, dan cambukan rotan yang begitu menyakitkan. Jangan heran kalau menemukan saudara yang pulang dari Malaysia dengan tanda merah memanjang di pantatnya.
Purwani D. Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini