Lima belas abad yang lalu, gara-gara mendengar Quran dibacakan, Umar bin Khattab meninggalkan agama nenek-moyangnya dan memeluk Islam. Umar, yang kemudian menjadi khalifah Islam kedua, terpesona oleh keindahannya. Quran dalam kehidupan sehari-hari memang muncul dalam bentuknya yang estetis. Membaca Quran dalam bahasa Arab sama dengan menyanyikan atau menyenandungkan kitab suci itu. Ada ritme, rima, musik, dan puisi yang diam-diam mengalir dalam sebuah ayat.
Demikianlah kurang-lebih bunyi salah satu petikan mukadimah buku berjudul Approaching The Qur'an: The Early Revelation, karya Michael Sells, dosen perbandingan agama di Haverford College. Menurut penulisnya, buku itu diterbitkan untuk menjawab pertanyaan penting: apa yang mendorong 1,2 miliar muslim begitu terpukau sekaligus patuh pada Quran?
Di Amerika Serikat setelah tragedi 11 September, yang tanggung jawabnya dinisbahkan kepada teroris muslim, banyak orang memang bertanya-tanya apa Islam itu sebenarnya. Islam dan Quran merupakan dua topik yang "seksi" belakangan ini: asing dan eksotis. Karena alasan yang sama pula, dewan pengajar di Universitas North Carolina memilih Approaching The Qur'an sebagai buku wajib bagi mahasiswa baru.
Dalam semester musim panas yang berakhir Agustus ini, sekitar 4.200 mahasiswa baru di Universitas North Carolina diwajibkan membahas buku berisi terjemahan 35 surat Quran yang diturunkan di Mekah (surat Makiyah), berikut tafsir, latar belakang sejarah, dan filsafat Islam yang mendasarinya. Kewajiban itu sebenarnya bukan harga mati. Asal menuliskan alasannya dalam sebuah esai, seorang mahasiswa bisa menghindari kewajiban mempelajari Islam.
Tapi kemudian muncul banyak protes. Para politisi, termasuk Presiden George W. Bush, memang berkali-kali menegaskan: perang melawan terorisme tidak sama dengan perang agama. Namun, di luar lingkaran itu masyarakat menafsirkan peristiwa di sekelilingnya dengan kesimpulan masing-masing. Tak lama setelah peristiwa 11 September, misalnya, sudah ada Pendeta Franklin Graham yang menggambarkan Islam sebagai "agama setan".
Pandangan stereotip seperti itu susah dihindari. Kebijakan luar negeri Amerika setelah Perang Dingin persis seperti yang digambarkan Samuel Huntington, memang menempatkan negara-negara Islam sebagai ancaman baru, menggantikan Uni Soviet sebagai "si jahat".
Pada 1986, pesawat-pesawat Amerika menggempur Tripoli, ibu kota Libia. Setelah itu, pada 1990-an, Irak dan Somalia menjadi sasaran operasi militer Amerika. Dan terakhir, di awal abad ini, giliran Afganistan menerima gempuran hebat pasukan Amerika. Pemerintahan Taliban yang tak diinginkan Amerika Serikat sudah dihabisi, tapi hingga saat ini pertempuran tak kunjung berakhir.
Apa boleh buat, di bawah atmosfer seperti itu, sepotong mukadimah buku bernada memuji Islam dan keputusan Universitas North Carolina mewajibkan mahasiswanya membaca buku itu terdengar seperti sebuah pengkhianatan. Akhir bulan lalu Jaringan Kebijakan Keluarga, sebuah kelompok konservatif Protestan, mengajukan universitas itu ke pengadilan. Mereka menuding universitas tersebut terlibat dalam propaganda pro-Islam dan tidak menempatkan agama-agama secara adil.
Tudingan lebih tajam datang dari media massa. Dalam perbincangan di televisi Fox News Network, seorang pembawa acara menyamakan keputusan Universitas North Carolina dengan langkah mewajibkan para mahasiswa membaca Mein Kampf, buku karya Adolf Hitler, pada 1941. Maksudnya, dalam keadaan perang, mempelajari agama atau ideologi musuh bukanlah tugas para mahasiswa baru. Bagaimana reaksi pemerintah sejauh ini?
Sebuah komisi kecil yang berurusan dengan anggaran di Majelis Perwakilan sempat menolak penggunaan dana federal untuk mata kuliah ini. Tapi larangan ini belum efektif karena tidak memenuhi kuorum yang ditetapkan. Sebelum diberlakukan, proposal itu harus mendapat persetujuan Senat dengan keanggotaan yang lebih luas. Sejauh ini, banyak yang merasa yakin proposal seperti ini tak akan pernah berhasil lolos dari meja Senat.
Perang Amerika melawan terorisme memang telah berdampak luas, termasuk merongrong kebebasan akademis di kampus-kampus Amerika sendiri.
Idrus F. Shahab (Washington Post, CS Monitor, The Guardian, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini