Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sorban Hitam Meramaikan Pemilu

Afganistan menyelenggarakan pemilu pertama yang demokratis pada Sabtu pekan lalu. Kaum Taliban menggunakan momentum ini untuk kembali.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegelapan malam melindungi 400 orang yang menyusup ke Desa Khake tatkala warga dusun mulai terlelap dalam tidur. Mereka, para penyusup ini, berbekal peluncur roket, granat, dan Kalashnikov—senjata tem-pur buatan Rusia. Tapi rupanya tak semua penduduk desa di Provinsi Zabol itu terlena. Sebagian berjaga-jaga, termasuk Malik Ali Mohammad, sang kepala desa. Malik dan penduduk desa siap dengan senjata untuk menyambut kedatangan tamu istimewa mereka.

Tak lama, terdengar rentetan senjata menyalak dan granat berdebum menyisakan cahaya merah menyala. Penyusup dan penduduk terlibat baku tembak selama empat setengah jam hingga menjelang fajar. Malik mengaku berhasil membunuh komandan penyusup. Tapi ia kehilangan dua dari empat anak lelakinya. "Saya tak akan meninggalkan desa ini meski mereka membunuh saya dan anak saya," katanya. Diduga, Malik menjadi sasaran para penyerang karena dia terlibat dalam pembunuhan komandan Taliban, Mullah Roozi Khan.

Serangan Taliban itu hanya satu dari sekian banyak serangan dalam setahun belakangan ini yang menewaskan 1.000 orang lebih. Menjelang pemilihan umum yang berlangsung 9 Oktober lalu, Taliban meningkatkan serangan terhadap kepentingan pemerintah Afganistan dan Amerika Serikat. Petugas pemilu pun menjadi sasaran pembunuhan Taliban.

Apakah ini fenomena kebangkitan kaum Taliban? Ada pro dan kontra ten-tang hal ini. Tapi satu fakta: pembunuhan, serangan, dan ancaman dari kaum Taliban terus terjadi menjelang pemilu. Kita masih ingat bagaimana Amerika menumbangkan rezim Taliban pada 2001 dan mendudukkan Hamid Karzai selaku presiden sementara. Pasukan AS lalu mengais setiap inci tanah dan liang gua di pegunungan Afganistan yang kering dan berdebu untuk memburu pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Mohammad Omar. Tapi Omar lenyap bak ditelan bumi. Afganistan menjadi relatif aman di bawah pengawalan 17 ribu anggota pasukan AS dan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Kini, tiga tahun setelah jatuhnya Taliban, Afganistan menyelenggarakan pemilu demokratis untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu. Menghadapi perhelatan nasional itu, milisi Taliban pun keluar dari liang-liang rahasia mereka. Sorban hitam (topi khas lelaki Taliban) mereka copot dan mereka berbaur sembari mengantongi bom-bom di balik jubah. Di Kandahar, anggota Taliban meledakkan diri dua pekan lalu.

Kandahar lama dikenal sebagai basis Taliban. Tapi serangan berdarah tidak hanya meledak di sana. Mereka membidik pos-pos militer pemerintah serta iring-iringan pasukan AS. Merangsek ke Kabul, mereka meledakkan Dyncorps, perusahaan Amerika yang menyediakan jasa pengawalan Karzai. Roket menghajar bandar udara internasional Kabul yang dikawal pasukan AS dan NATO. "Insya Allah, kami akan membuat Afganistan menjadi ladang kuburan bagi orang Amerika," kata Mullah Dadullah Akhund, komandan militer Taliban.

Fakta ini menunjukkan Taliban sejatinya belum "putus nyawa". Mereka bahkan mampu meluncurkan serangan roket ke helikopter yang ditumpangi Presiden Hamid Karzai menuju Gardez di selatan Kabul, September lalu. Taliban juga berupaya membunuh Karzai saat dia akan berpidato di satu sekolah di Provinsi Paktia. "Dia beruntung, roket tak melumat tubuhnya," kata juru bicara Taliban, Abdul Latif Hakimi.

Selain Karzai, 17 kandidat presiden masuk daftar bidik. Kok, bisa? Rupanya, Taliban menganggap mereka hanya sebagai budak dalam pemilu buatan AS. "Pemilu ini hanya menghasilkan pemerintah yang memenuhi kepentingan Amerika," ujar Abdul Latif Hakimi. Ia berjanji akan membunuh semua kandidat presiden.

Tapi militer AS di Afganistan menganggap remeh sesumbar Abdul Latif. Menurut perwira militer AS, Mayor Scot Nelson, kekuatan milisi itu kian lemah. "Taliban tak punya kemampuan mengganggu keamanan dan stabilitas Afganistan," kata Nelson. Taliban boleh jadi tak setangguh yang diduga. Tapi, menurut analis Afganistan, Mohammad Raiz, serangan mereka yang konstan melawan AS dapat menumbuhkan keraguan rakyat Afganistan tentang kemampuan Amerika mengamankan negeri itu. Dengan lain kata, ini momentum yang pas untuk menggerogoti kredibilitas presiden pilihan Amerika: Hamid Karzai.

Raihul Fadjri (Christian Science Monitor, AFP, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus